Auto Bio

Anak Kebon

Hery Azwan, demikianlah orangtuaku menamakanku. Konon, nama Hery diberikan oleh seorang tetua yang tinggal di sebelah rumah kami. Adapun Azwan adalah singkatan dari nama ayahku AZis WAhyu dan murNi. Jadi, bukan dari nama bendungan di Mesir.

Aku dilahirkan di Kebun Tanjung Keliling, salah satu binaan PTPN II, sebuah BUMN yang bergerak di bidang perkebunan sawit, karet dan coklat. Kebun ini terletak sekitar 40 km dari Binjai. Kalau kita ingin berpelesir ke Bukit Lawang, Tanjung Keliling akan lebih dulu kita lewati. Dari sini tinggal satu jam lagi menuju Bukit Lawang.

Masa prasekolah aku habiskan di sini. Tidak banyak ingatan yang masih tersimpan di benakku. Yang ku ingat hanyalah beberapa fragmen ketika aku yang masih berumur sekitar 5 tahun diajak menonton tv umum. Saat itu, tv hitam putih berukuran 14 inchi dipasang di atas kayu setinggi 2 meter sehingga banyak orang bisa melihatnya. Acaranya tentu saja masih didominasi oleh TVRI. Berhubung dulu ada tetangga kami yang bernama Turi, orang-orang banyak yang memplesetkan TVRI menjadi TURI. Jadi, kalau ngajak nonton tv, mereka sering berteriak. Yuk nonton TURI yuk…

Salah satu fragmen yang kuingat adalah bahwa air sangat sulit di sini. Tidak ada PAM. Sumur juga harus digali dalam sekali karena daerah ini terletak di atas bukit. Untuk mandi, setiap karyawan perkebunan harus pergi ke sumur umum yang terletak di dasar bukit. Di sini setiap orang bisa menimba air dan memikulnya ke rumah atau mandi di tempat. Jasa pemikulan air sangat laris. Bagi yang ingin mandi di tempat kayaknya dulu tidak ada halangan atau malu. Memang dipisah antara tempat mandi laki-laki dan perempan, tetapi sumurnya tetap satu.

Jalan menuju sumur dipenuhi pohon karet, rumput dan pakis. Tak jarang ibu-ibu sambil pulang ke rumah meramban daun pakis yang enak digulai ini.

Pindah Ke Gohor Lama

Ayahku sering berpindah tugas sesuai penempatan. Baru sebulan aku masuk kelas 1 SD di Kebun Tanjung Keliling kami harus pindah ke Kebun Gohor Lama. Memang masih di kabupaten Langkat juga, tetapi jaraknya sekitar 2 jam perjalanan, melewati kota Binjai. Tanjung Keliling adalah jalan ke Bukit Lawang, sementara Gohor Lama adalah jalan ke Tanjung Pura dan jalus lintas Sumatera menuju Aceh.

Tinggal di perkebunan memang jauh dari peradaban. Sekolahku jaraknya sekitar 2-3 km dari rumah. Sebelum punya sepeda, aku sering berjalan kaki ke sekolah.

Waktu duduk di kelas satu SD aku sering diantar oleh salah seorang kerabat kami atau nebeng dengan anak-anak asisten kebun. Tetapi ketika kerabat tersebut sudah tidak ada lagi, atau fasilitas antar jemput anak asisten sedang tidak beroperasi, aku lebih sering jalan kaki.

Pernah saat berjalan melintas rel aku terlindas lori (pengangkut sawit) yang kami dorong bersama. Waktu itu, aku terlambat melompat ke lori yang sedang mendaki. Eh, lori malah berbalik arah, sehingga aku terjatuh dan terlindas. Untunglah tidak ada cedera yang serius. Roda lori hanya mengenai celanaku.

Di kebon, lapangan bola yang besar masih terawat dengan baik karena sering diadakan pertandingan. Waktu SD, kami memang belum mengenal rasa capek. Saat berpuasa sekalipun, kami sanggup bermain bola pukul 09.00 pagi. Bukan 11 lawan 11, tapi cuma 6 lawan 6, karena orangnya kurang.

Kalau sekarang, main bola di lapangan besar merupakan sebuah kemewahan. Di samping susah mencari lapangan yang bagus dan murah, stamina juga sudah loyo. Ah, ternyata aku semakin tua.

Aku bersekolah di SD Negeri yang kami sebut SD Satu, padahal resminya SDN 050671. Kepala Sekolahnya Pak Hasan. Guru pelajaran agama kami adalah istri Pak Hasan. Kebetulan anaknya sekelas denganku.

Untuk menambah penghasilan sebagai guru Bu Hasan juga berjualan sarapan pagi di sekolah. Menunya, ada lontong sayur, bihun, es dan permen. Selain itu, Pak Hasan juga berbisnis foto. Setiap tahun ada sesi pemotretan untuk siswa.

Guru kelas satuku Pak Subarman. Beliaulah yang pertama kali mengajariku membaca. Terima kasih Pak Barman. Semoga Allah memberi pahala berlipat ganda kepada Bapak. Sayang sampai kini aku belum sempat ke rumah beliau.

Guru kelas duaku pak Nazi. Namanya seram ya? Dia punya anak yang sekelas denganku, namanya Tobroni. Kasihan juga melihat Tobroni yang sering dicubit oleh bapaknya sendiri di depan anak lainnya.

Guru kelas tigaku Ibu Sawiyah. Ibu yang cantik ini (menurutku saat itu) masih gadis dan sangat baik. Terakhir beliau diterima sebagai pegawai negeri dan bertugas di Binjai.

Guru ngajiku Pak Isriyadi. Beliau saat itu mengajar kami sore hari pukul 15.00 s/d 17.00. Perjuangan beliau sangat luar biasa. Paginya beliau bersekolah di Madrasah Aliyah di Stabat dan harus menempuhnya dengan bersepeda. Padahal jaraknya sekitar 14 km. Aku tak tahu di mana beliau makan siang. Keikhlasan beliau mudah-mudahan bisa menjadi amal jariyah.

Hijrah ke Medan

Kelas IV SD aku pindah ke Medan. Masih di SD Negeri juga, tepatnya di depan kuburan Simpang Mariendal. Nama SD kami 060925 atau SD 3 karena di kompleks tersebut ada 3 SDN ditambah satu SD Inpres.

Di Medan aku tinggal bersama kakek dan nenek (ibu tiri ayahku). Nenek sangat disiplin. Di rumah aku kebagian tugas mencuci piring setelah makan.

Saat itu, sumur kami masih memakai sistem menimba atau sistem dikerek. Prosesi menimba adalah salah satu favoritku. Aku membayangkannya seperti fitness sehingga secara tidak disadari otot-otot trisepku ikut terbentuk.

Pagi hari aku sekolah SD, sementara sorenya aku sekolah di madrasah ibtidaiyah Al Washliyah. Selepas magrib, aku mengaji Al Quran di rumah Pak Hilaluddin Hasibuan. Dari beliau aku belajar mengaji dengan “lagu”.

Dari ilmu mengaji inilah aku sering mengikuti MTQ hingga tingkat kotamadya Medan. Levelku dalam hal mengaji cuma sampai tingkat kecamatan. Lebih dari itu aku tidak pernah menang. Nafasku memang pendek dan sulit ditingkatkan lagi (ngeles nih ye?).

Selepas SD aku lulus SMP Negeri 20, Mariendal dalam, bahkan aku berhasil bertengger di urutan pertama waktu test penerimaan. Memasuki semester II, aku memutuskan pindah ke MTs Univa yang letaknya sangat dekat dari rumah nenekku.

Banyak pihak yang menyesalkan hal ini. Namun aku tak peduli. Jarak ke SMPN 20 sangat jauh, sekitar 5 km dan guru-gurunya kuanggap kurang berkualitas sehingga aku merasa tidak rugi meninggalkannya.

Selama di MTs aku selalu memperoleh beasiswa karena menjadi juara umum. Lumayan, uang sekolah di semester ganjil gratis. Saat di MTs ini aku berhasil menjadi juara Cerdas Cermat Isi Kandungan Alquran tingkat Provinsi Sumatera Utara yang diadakan di Asrama Haji Pangkalan Masyhur. Wah, senang sekali saat itu memperoleh medali emas. Entah di mana medali tersebut kusimpan saat ini.

Mondok

Ide masuk pesantren atau pondok ini lewat di benakku saat dua orang temanku sewaktu di ibtidaiyah (setingkat SD, tapi khusus belajar agama di sore hari), pulang liburan kenaikan kelas. Selesai shalat tarawih mereka didaulat untuk ceramah. Temanku yang satu berceramah dalam bahasa Inggris, sementara satunya lagi berceramah dalam bahasa Arab. Meskipun aku dan hadirin tidak ada yang paham apa yang mereka ucapkan, tapi dalam hati aku sangat terkesan. Bayangkan, mereka yang dulu rangkingnya ada di bawahku sekarang sudah bisa ceramah. Dalam bahasa Arab dan Inggris lagi. Ccckkkk….

Saat itu aku duduk di kelas 2 MTs (setingkat SMP). Temanku tadi meneruskan ke pesantren setamat SD, sedangkan aku masuk SMP dan MTs. Saat itu, aku bisa dibilang sangat iri dengan mereka (dalam arti positif). Aku yang saat itu kursus bahasa Inggris dan menjadi juara di sana, tidak memahami apa yang mereka ucapkan, apalagi jika aku disuruh ceramah seperti itu. Akhirnya dari mereka kucari-cari informasi bagaimana bisa berangkat ke Jawa untuk mengikuti jejak mereka.

Masuk Pesantren

Terdampar di Ciputat

Bli bli bli…

Ngadem di Bandung

Blu blu blu…

Back to Jakarta


Back to Bandung

16 tanggapan untuk “Auto Bio

  1. Assalamu’alaikum Hery,
    Ana tunggu kisah yg under construction

    Terima kasih sudah berkunjung.
    Kisahnya, ehmmmmmmm…boleh juga diterusin kalau banyak permintaan.
    He he….

  2. Cerita masa kecilnya seru juga ya … Yg lucu nama SD di Sumatra Utara memang pakai angka gede-gede begitu ya ?

    *ikutan nunggu cerita selanjutnya*

    Alhamdulillah kalau ada yang bilang seru. Saya juga baru ngeh kalau di Jawa nama SD ternyata nggak panjang2 seperti Sumut. Kok bisa beda ya? Kan masih sama2 di Indonesia. Apalagi dulu di zaman Soeharto kan sangat sentralistik. Apa orang2 di Sumut terlalu kreatif? Tak tahulah awak.

  3. Pas baca mini biograpi anda, saya terhanyut, ternyata anda memang salah satu anak bangsa muslim yang cemerlang, pantes blognya lengkap abis, tapi pas nyampe di bagian under construction saya baru sadar juga ternyata anda kecapaian juga nulis ya (hehe, padahal bagus bgt kisahnya), ditungguloh kisah selanjutnya….

    Sabar ya kelanjutannya…Kalau sudah ada stamina lagi. He he…

  4. maksudnya nazi itu mungkin bukan nazi hiltler her. mungkin dari bahasa arab najaa fahuwa najin atau naji atau ditulis nazi artinya kali orang yang selamat, bahagia, dll iyakan her

    mungkin begitu. saya juga kurang begitu ingat. pake huruf J atau Z. mudah2an yang pake J, sehingga artinya selamat atau bahagia.

  5. Bang …
    Kalo aku … sumpah … aku nunggu yang Episode
    Terdampar di Ciputat …
    Bli-bli-bli …

    Hehehe

    Masih belum mood nulisnya, Bos.

  6. Assalamualaikum bang Heri…masih ingat saya..?

    Tak sengaja ketika saya iseng baca halaman ini, membuat saya fashback ke masa kecil… kampoeng halaman abang ternyata sama dengan kampoeng saya .
    Saya lahir di Basilam kec. Stabat, Sama dengan abang, saya juga juga ikut ayah berpindah2 tempat tingal sampai akhirnya ia pensiun dan tinggal di Selesai.
    SD saya dulu pernah di Basilam kemudian pindah ke Padang Brahrang, SMP di Taman Siswa Binjai, lalu SMA1N Binjai.
    Kalau abang pernah tinggal di Gohor Lama maka ayah saya pernah tugas di Batang Sarangan.

    Lebaran tidak pulang kampoeng bang Heri ?

  7. assalamualaikum wr.wb?
    bang heri pa kabar salam kenak?
    ane hari orang binjai-stabat juga!
    waduh bang tulisan antum mantep banget!
    ane lg di jakarta ni! tetapnya deket kampus STAN. jd pengen ketemu sesama orang sumut nih..

    salam kenal kembali bung hari.

  8. halo bung Hery, hebat juga riwayat hidup anda.Aku juga anak Tanjung Keliling . Ingin rasanya berbagi kisah .Aku di Tanjung keliling sejak thn 1952 sampai tahun 1966.Mulai Bohorok,Mariyke,Tanjung Langkat,Binjai,Stabat,Gohor Lama,tempat mainan masa kecilku.Aku sendiri dilahirkan di Perkebunan Sawit Seberang.Tahun Berapa anda di Tanjung Keliling itu?Apakah anda sekolah SDnya masih dibawah PabrikLatex dekat sungai gerojogan itu atau sudah pindah dekat lapangan sepak bola ?Tahun 1966 aku mengucapkan selamat tinggal kpd Tanjung Keliling karena ayahku pensiun.Mulailah aku melanglang dari Mulai dari Medan keseantero penjuru Tanah Air bahkan sampai ke benua Amerika ,Eropa, dan negeri China dibawa oleh suratan hidup. segitu dulu,kalau boleh dapat saling bertemu sesama anak Tanjung Keliling .
    Wassalam.mora

    Halo Pak Mora, senang bertemu Anda di blog ini. Kapan2 kalau lagi main ke Jakarta kita ketemuan ya?

Tinggalkan komentar