Kecopetan di Paris

Kecopetan di Paris

Sebagai anak Medan, saya cukup shock ketika dompet saya hilang di Paris. Betapa tidak, saya yang selama ini tidak pernah kecopetan di manapun, termasuk di kota-kota yang rawan copet (seperti Medan dan Jakarta), akhirnya harus pasrah mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan ini. Saat tumbuh di Medan, saya pernah dikompas atau dipalak preman tanggung, tetapi selalu lolos.


Memang Paris sudah terkenal sebagai kota di Eropa yang banyak copetnya, bersama dengan Roma dan Barcelona. Tapi kok harus saya yang kena. Padahal saya orangnya sangat fokus dan waspada.

Peristiwa ini terjadi pada bulan Maret 2019 di stasiun Gare du Nord. Sekitar pukul 08.40 kami bertolak dari hotel yang terletak dekat stasiun Gare du Nord menuju La Valle Village, designer outlet yang terletak di pinggir kota Paris. Jaraknya sekitar satu jam perjalanan dengan kereta.

Kereta yang menuju La Valle Village agak berbeda dengan kereta komuter dalam kota. Di samping frekuensinya agak jarang, berhentinya juga agak lama. Nah, pas kereta berhenti inilah, penumpang yang sudah menumpuk berdesakan untuk masuk kereta. Tas sandangku yang biasanya berisi iPad kali ini tidak sehingga ruang di tas lebih lega. Di sinilah mungkin yang membuat copet leluasa membuka resleting tas dan mengambil dompetku.

Aku menyadari dompetku hilang setelah duduk di dalam kereta. Setelah duduk aku membuka tas dan terkejut melihat dompetku sudah tidak di tempatnya. Aku panik dan mengkomunikasikannya kepada istri dan iparku yang ikut serta. Kami memutuskan turun dan melaporkan kejadian ini ke polisi stasiun. Untunglah ada seorang polisi yang bisa berbahasa Inggris. Aku dibawa masuk ke dalam ruangan.


Sejalan dengan itu, istriku kembali ke hotel untuk mengecek jangan-jangan dompet masih ada di hotel. Mungkin aku lupa membawa dompet. Setelah dicek, ternyata dompetku tidak ditemukan di kamar hotel. Berarti fixed, dompetku hilang.


Polisi menanyakan kepadaku detil kejadian sambil membuat laporan. Isi dompetku antara lain kartu kredit CIMB, kartu debit Mandiri, kartu Jenius dan uang kertas Euro serta Poundsterling. Nilainya setara dengan 40 juta rupiah. Sebagai bendahara perjalanan, semua uang makan peserta disimpan di aku. Kebayang khan paniknya.


Polisi yang menerima laporanku bercerita bahwa banyak sekali kejadian pencopetan yang telah terjadi. Polisi tidak berdaya karena pelakunya sebagian besar masih di bawah umur. Mereka kebanyakan berasal dari Eropa Timur. Setelah tertangkap biasanya mereka dibebaskan lagi karena masih di bawah umur. Aneh juga, ya. Di negara maju kok tidak bisa memberantas copet.


Nah, laporan BAP ini ternyata kelak tidak bermanfaat sama sekali di Indonesia. Saat aku kembali ke Indonesia dan mengajukan pembuatan KTP dan SIM baru tetap saja aku diminta membuat laporan dari polisi Indonesia.
Setelah selesai membuat BAP aku menemui anggota tour yang berjumlah 4 orang (di luar aku) di sebuah coffee shop. Aku menghubungi bank penerbit agar memblokir kartu kreditku. Untuk Jenius bisa langsung diblokir via aplikasi di HP.


Setelah urusan blokir selesai, kami melanjutkan tujuan ke La Valle Village. Semangat belanjaku sudah hilang. Sementara semangat belanja emak-emak tetap bergelora.


Next time, jangan bawa uang tunai dalam jumlah besar. Cukup bawa kartu ATM dan kartu kredit karena hampir semua pembayaran bisa dilakukan dengan ATM atau kartu kredit. Jika butuh uang tunai, tinggal ambil di ATM dalam jumlah secukupnya, sekadar mencukupi kebutuhan 2-3 hari. Selain itu, perlu juga memiliki baju kaos dalam yang berkantung sehingga uang bisa disimpan di sini. Selain itu, sling bag yang berlapis juga sangat penting. Sling bag berlapis akan membuat copet kesulitan mengambil dompet. Selain itu, sling bag bisa diletakkan di depan sehingga relatif bisa dimonitor dibanding menggunakan tas sandang yang terkadang tasnya terletak di belakang.

Akhirulkalam, waspadalah di manapun Anda berada. Di negara maju sekalipun, tidak jaminan Anda akan selalu aman. Lalu, jika Anda akhirnya kecopetan, jangan panik. Cepat blokir kartu Anda. tidak perlu lapor ke polisi lokal karena nanti Anda toh harus lapor lagi ke polisi Indonesia agar bisa memperoleh surat kehilangan.

Setelah kecopetan, saya mengevaluasi diri, mungkin Ada kewajiban yang belum ditunaikan. Saya baru ingat. Saya masih punya kewajiban zakat mal yang sengaja saya tunda pembayarannya hingga Ramadan. Dengan kejadian ini langsung saya mentransfer ke lembaga zakat. Peristiwa yang tidak mengenakkan akhirnya akan dilupakan seiring dengan berjalannya waktu. Tragedi+ Waktu= Komedi.

Uji Nyali Bali-Gili


Tujuan utama liburan kali ini sebenarnya hanya ke Lombok. Setelah mengunjungi mancanegara masa ke Lombok aja belum pernah. Sungguh terrrr laaaa luuuu…

Di atas speed boat Gili-Teluk Nare (hanya 10 menit)

Setelah Covid perlahan hilang ternyata belum semua jurusan aktif lagi di Bandara Husein, Bandung. Dulu pernah ada penerbangan langsung Bandung-Lombok yang dilayani Citilink. Sementara kini hanya ada penerbangan dengan transit dulu di Bali atau Surabaya. Transitnya bisa 3 jam bahkan 1 hari, dengan tarif tiket yang luar biasa “disesuaikan”.

Kalau mau penerbangan langsung kudu ke Jakarta dulu. Tapi udah kebayang capeknya ke Jakarta. Apalagi ada Arka yang belum genap 2 tahun. Kalau kelamaan di mobil nggak betah dia. Belum lagi harus mengantisipasi kemacetan yang tidak bisa diduga.

Akhirnya kita memilih pesawat ke Bali dari Bandung. Di Bali kita menginap sehari di daerah Candidasa yang dekat dengan Padangbai, titik awal penyeberangan ke Gili Trawangan, Lombok.

Setelah sarapan pagi, pukul 08 kurang kita bergerak dari Candi Beach Resort dengan mobil carteran yang difasilitasi pihak travel fast boat. Perjalanan ke Padangbai lancar sekali. Tak sampai setengah jam kita tiba di Padangbai. Kita dikasih name tag oleh pihak travel dan dipersilakan menunggu di kantor travel. Sudah menunggu juga calon penumpang lain yang sebagian besar wisatawan mancanegara.

Sekilas penampakan air laut di pantai Padangbai cukup tenang. Calon penumpang sudah menumpuk di dermaga, tapi masih menyisakan ruang untuk kami berdiri menunggu kedatangan kapal. Pedagang jajanan masih bebas beroperasi di dermaga.

Mobil bak terbuka yang penuh dengan bagasi tiba2 nyelonong ke dermaga. Rupanya rombongan kapal tertentu. Sempat2nya mobil berputar arah di ujung dermaga. Salut dengan sopirnya.

Menjelang pukul 09 kapal kami tiba. Pintu kapal sangat kecil. Hanya cukup untuk satu orang. Jadi penumpang antri masuk satu per satu. Bubu yang menggendong Arka kudu ekstra hati2 agar tidak terpeleset di tangga. Baba mengurus 4 koper yang masuk ke dalam perut kapal.

Sudah hampir 15 menit kapal tak kunjung berangkat. Rupanya masih ada penumpang yang ditunggu. Mulai gerah. AC tidak berfungsi. Kaca jendela digeser untuk memberi jalan udara masuk. Akhirnya kapal berangkat sekitar pukul 09.30.

Setelah berputar arah, dari mundur ke maju, fast boat langsung tancap gas. Kapal seperti terbang. Sensasinya mirip pesawat yang sedang menabrak awan atau bus yang menabrak jalan berlubang. Kalau di pesawat kejadian seperti ini tidak berlangsung lama, sekitar 1-3 menit, yakni pas pesawat mau landing dan harus menurunkan ketingggian. Nah, di fast boat ini berlangsung terus menerus tanpa henti. Rencananya perjalanan Padangbai ke Gili Trawangan berlangsung 1,5 jam. Kebayangkan rasanya….

Ombak yang tercipta dari gesekan fast boat dengan air menciprat ke jendela sebelah kanan. Kebetulan kami duduk di sisi kanan bagian depan sehingga terkena cipratan. Akhirnya jendela kita tutup. Uniknya jendela kiri tidak kena cipratan air.

Sesekali kapal menurunkan gasnya sehingga tidak terlalu goncang. Kalau sudah begini kami merasa lega. Tapi seringnya kapal terus tancap gas tanpa mempedulikan penumpang yang terhempas terkaing-kaing. Sebagai orang dewasa saja aku merasakan betapa dahsyatnya goncangan ini. Apalagi bagi Arka yang masih kecil.

Sebelum kapal jalan Bubu sudah memberi Arka antimo sirup sehingga diharapkan Arka bisa tidur selama perjalanan dan tidak akan mabuk laut. Ini terbukti di 1,5 jam pertama. Di dalam gendongan Bubu, Arka tampak lelap di tengah goncangan kapal.

Setelah 1,5 jam rupanya goncangan masih dahsyat. Aku membaca surat-surat pendek untuk mengalihkan pikiran dari ketakutan. Lumayan berhasil. Fokusku tidak lagi ke goncangan, tapi ke hafalan surat. Seorang penumpang WNA yang duduk di belakang tampak memvideokan kelakuanku yang tampat komat-kamit dan beristifghfar setiap kali aku terhempas. Mudah-mudahan tidak viral di Tiktok.

Dela tiba-tiba mengambil plastik dan …. owekkkk. Dela tak sanggup lagi menahan mual. Dua plastik akhirnya penuh dengan isi perutnya.

Bubu semakin gelisah, bertanya kapan kapal tiba. Harusnya sih sudah tiba di Gili karena sudah 1,5 jam perjalanan. Arka akhirnya terbangun. Tak lama kemudian Arka muntah juga. Semua isi perut keluar. Termasuk biskuit coklat yang dimakan sebelum kapal jalan. Baju Bubu terkena. Arka berkeringat hebat. Bajunya basah kuyup. Arka berkali-kali muntah hingga muntah terakhir berisi cairan putih yang menandakan makanan di perutnya sudah habis. Wajah Arka celong sekali. Kasihan melihatnya. Hebatnya Arka tidak menangis.

Untuk memberikan rasa optimisme kami bertanya kepada kru kapal yang sedang inspeksi penumpang. Dia membawa plastik untuk berjaga-jaga jika ada penumpang yang mabuk laut.

Kami bertanya mengapa kapal begitu terguncang. Menurutnya saat ini ombak laut cukup tinggi sehingga guncangan kapal juga sangat terasa. Kapal yang kami naiki ini hanya berisi sekitar 200 orang penumpang, berbeda dengan kapal ferry yang berukuran besar dan bisa memuat banyak kendaraan dan penumpang — yang lebih stabil mengarungi ombak.

Kru tadi menjelaskan jika ombak tinggi maka jarak tempuh bertambah sekitar 30 menit. Masya Allah. Kami harus lebih lama lagi merasakan cobaan ini. Kru akhirnya kontak dengan kapten kapal via radio HT. Dapatlah jawaban kalau kami tiba 10 menit lagi. Alhamdulillah. Kami pun sangat senang. Rasa bahagia tiba-tiba muncul kembali.

Betul saja, tak lama daratan sudah tampak dari kejauhan. Pastilah itu Gili Trawangan. Kami mengucap alhamdulillah karena penderitaan ini telah berakhir. Tapi kapal ternyata tidak bisa langsung berlabuh karena harus antre menunggu kapal lain keluar. Di dermaga tampak ratusan penumpang sudah berbaris menunggu dengan bawaan koper atau ransel masing-masing. Antrian bahkan sudah sampai keluar pelabuhan.

Mesin kapal masih menyala, tapi jangkar belum dilempar. Kapal bergoyang kecil. Arka masih memeluk Bubu mencari perlindungan. Setelah hampir 20 menit menunggu antrian, akhirnya kapal berlabuh.

Pengaturan di dermaga Gili Trawangan ini memang belum rapi. Saat kami turun dari kapal, di dermaga sudah banyak calon penumpang menuju Bali yang memenuhi. Bagasi dari kapal harus diturunkan pelan-pelan. Petugas yang menurunkan bagasi harus berteriak untuk menyuruh calon penumpang bergeser.

Akhirnya, kami bisa turun dari kapal dengan selamat. Kami lalu memesan Cidomo menuju hotel. Baju Arka yang kena muntah sudah dibuka. Hanya saja baju gantinya ada di koper. Untunglah ada baju Dela yang ada di ransel sehingga bisa dipakai sementara oleh Arka untuk sekadar menahan tubuh dari angin laut.

Dalam hal ini Baba mengaku salah karena kurang memperhitungkan risiko naik kapal dalam waktu lama dengan kondisi membawa anak kecil. Baba merasa aman karena mengacu pada speed boat di Labuan Bajo yang pernah membawa kami ke Pulau Padar selama 2 jam tanpa goncangan berarti. Juga pengalaman naik kapal dari Phuket ke Phi Phi Island selama 2 jam yang sangat ‘smooth’. Apalagi dari riset di youtube tak satupun ada berita tentang penumpang yang kapok naik fast boat dari Bali ke Gili.

Setiba di hotel kami langsung mandi, ganti baju, makan siang dan beristirahat. Setelah itu menikmati sunset yang indah. Malamnya kuliner di Night Market dengan menu ikan bakar yang benar-benar segar dan maknyus. Besoknya kami menikmati sunrise di pantai timur dengan latar belakang Gili Meno.

Kami hanya semalam di Gili. Esoknya kami harus menyeberang dengan speed boat. Bubu sudah wanti-wanti agar memilih speed boat terbaik agar nyaman menuju Lombok. Speed boat kami dipesan dengan bantuan karyawan hotel Santorini tempat kami menginap.

Alhamdulillah menyeberang dari Gili ke Teluk Nare di Lombok hanya 10 menit. Ombak tidak terlalu tinggi. Meskipun demikian Arka masih trauma. Arka memeluk Bubu dengan erat seakan tak mau lepas saat speed boat mulai meninggalkan pantai Gili.

Ketinggalan Kereta Eurostar di Gare du Nord

Kejadian ini terjadi di bulan April 2019, setahun sebelum pandemi Covid19. Menurut jadwal tiket yang kami beli, kereta Eurostar berangkat pukul 07.04 dari Gare du Nord Paris menuju St Pancras, London. Di tiket sudah diberi warning agar penumpang datang 45-60 menit sebelumnya.

Dari hotel kami bergerak pukul 06.05. Tak sampai 10 menit dengan berjalan kaki sambil menggeret koper yang sudah mulai “bunting”, kami tiba di stasiun. Cuaca pagi ini sangat menusuk kulit. Sepertinya di kisaran 4-6 derajat Celcius.

Di stasiun antrian sudah panjang. Kami berlima cukup mengisi satu form imigrasi saja.

Proses clearing perlahan sekali. Mulai dari check in tiket. Tiket yang sudah saya kirim ke anggota tim dengan file foto ternyata tidak berespons di mesin. Untunglah saya juga menyimpan e-ticket dalam aplikasi Wallet. Akhirnya satu persatu saya bantu check in.

Setelah itu, kita harus melewati imigrasi Perancis. Lalu, melewati imigrasi Inggris. Di sini kita diambil sidik jari jempol dan telunjuk. Barulah terakhir kita harus melewati xray bea cukai. Terpaksa koper segede gaban diangkat satu persatu. Tak lupa juga tali pinggang dilepas.

Waktu hampir menunjukkan pukul 07.00. Istriku yang sudah duluan berteriak agar kami mempercepat langkah. Aku dan adik iparku Temy yang ketinggalan berlari sekuat tenaga. Akhirnya kami berdua tidak boleh masuk. Pintu sudah ditutup. Alamaaak. Padahal cuma telat sedikit dan kereta belum berangkat. Perasaan berkecamuk tak menentu antara khawatir jika harus beli tiket baru dan khawatir dengan 3 orang anggota yang sudah selamat di kereta.

Alhamdulillah, ternyata kami berdua bisa berangkat dengan kereta berikutnya: 07.39 tanpa membayar lagi. Lega hatiku.

Setelah dapat boarding pass baru, aku mengirim pesan ke WA agar istriku jalan duluan dan menunggu di stasiun St Pancras jika sudah tiba di London.

Eh, tak berapa lama kemudian, tiba2 istriku muncul dan bercerita kalau mereka memutuskan kembali ke ruang tinggi dan tidak jadi berangkat. Padahal koper gede sudah masuk kereta. Di saat genting begini entah tenaga dari mana yang membuat istriku dan kakaknya, Teh Evy, kuat mengangkat koper dan menurunkannya kembali. Sebagai info, jarak antara lantai ke kereta cukup terjal, lho. Tidak rata.

Akhirnya aku kembali meminta boarding pass untuk 3 orang yang tidak jadi berangkat. Eh untungnya petugas bisa menerima. Malahan, tempat duduk kami bisa tetap berdekatan. Boarding pass sebelumnya dengan nomor kereta berbeda tidak jadi dipakai.

Lima menit kemudian pengumuman boarding ke kereta berkumandang. Akhirnya kami bisa naik kereta Eurostar bersama lagi.

Sejak bulan Maret 2019 kereta Eurostar memang sering trouble karena petugas bea cukai demo naik gaji. Dengan demo ini, antrian memanjang. Waktu 45-60 menit tidak cukup untuk clearing imigrasi dan security check.

Bahkan sampai tanggal 31 Maret 2019 lalu Eurostar membuat pengumuman agar penumpang menunda keberangkatan jika tidak penting2 amat. Tidak tahu apakah ini juga imbas dari Brexit yang belum jelas ujungnya.

Selama pandemi 2020-2021 keberangkatan Eurostar dikurangi karena memang tidak banyak penumpang yang bepergian dan juga akibat pembatasan mobilitas. Akibatnya Eurostar terancam bangkrut. Pemerintah Perancis dan Inggris tidak mau mem-bail out atau menolong Eurostar dari kebangkrutan. Kita tunggu nasib Eurostar. Semoga masih diberi umur untuk menikmati Eurostar di jurusan yang berbeda.

Di atas kereta Eurostar (April 2019)

Berhenti Sebelum Kenyang

Jika Anda ingin melihat kematangan seseorang (kamuflase dari TUA), perhatikanlah saat orang tersebut makan di restoran all you can eat atau sarapan pagi di restoran hotel. Jika orang tersebut masih mengambil makanan sebanyak mungkin, bahkan menyisakan banyak makanan di mejanya, dapat dipastikan dia masih muda. Sebaliknya, jika dia mengambil makanan secukupnya, apalagi sedikit, dapat dipastikan dia sudah tua. Tapi, kalau ada orang yang tampaknya tua tetap mengambil makanan sebanyak mungkin, disebut apa ya?

Pengalaman menikmati All You Can Eat pertama kali seingat saya di restoran Hartz Chicken sekitar tahun 1996 di Lippo Karawaci. Saat itu harganya Rp11.000, bandingkan dengan harga sebungkus nasi padang (nasi ayam) yang harganya sekitar Rp1.000. Saya lupa, kita ditraktir oleh teman yang ulang tahun atau bayar sendiri-sendiri.

Saya bersama teman sekelas di sebuah sekolah bisnis baru pulang dari survei ke Walmart yang saat itu ada di Lippo Karawaci. Pada Mei 1998 Lippo Karawaci termasuk Walmart ikut menjadi korban kerusuhan sehingga Walmart memutuskan tidak meneruskan bisnisnya di Indonesia.

Saat makan di Hartz Chicken kami yang masih imut, polos, berusia di atas 24 tahunan berupaya memaksimalkan kapasitas perut kami. Segala jenis olahan ayam: ayam goreng, ayam bakar, bahkan dulu ada kalkun, kami cicipi semua. Kalau biasanya kami hanya makan sepotong ayam, di sini ada teman yang habis 5 bahkan 7 potong ayam. Belum lagi ditambah kentang goreng, nasi, salad dan pelbagai minuman. Pokoknya setelah kenyang, kami berupaya mengosongkan perut lagi dengan jurus injak-injak bumi agar ada ruang buat makan baru. Halah….

Pengalaman berikutnya yang masih saya ingat saat makan malam di sebuah hotel di Surabaya (kalau nggak salah The Westin) ditraktir bos saya bersama teman kerja di PT Grafindo sekitar tahun 2000. Dengan konsep all you can eat di restoran hotel tersebut saya menikmati betul menu udang dan menyantap beberapa ekor. Akibatnya perut benar-benar penuh, seakan mau meletus seperti anak Krakatau.

Pagi ini saya sarapan pagi di sebuah hotel di Bandung, milik seorang petinggi partai dan pemilik stasiun TV. Menunya sangat beragam dan mengundang selera, tapi saya hanya mengambil 3 potong kecil dim sum, 3 potong jajanan pasar, ditutup buah potong. Selesai. Usia tidak bisa dibohongi.

Hadis Nabi menganjurkan agar kita makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang. Kalau kita makan di resto all you can eat, rasanya kok sayang jika kita tidak memaksimalkan kapasitas perut kita. Padahal perut kita punya hak: sepertiga buat makan, sepertiga buat minuman, sepertiga buat udara.

Di tengah zaman yang kini lebih banyak orang meninggal karena kelebihan makanan, bukan karena kelaparan, penerapan hadis di atas sangat relevan.

Apalagi, sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadan. Yuk kita kendalikan nafsu makan kita, tidak hanya di siang hari, tapi juga malam hari. Jadikan korma dan buah-buahan lokal sebagai menu pembuka. Jangan jadikan gorengan plus cengek, serta kolak sebagai menu wajib.

Menu sahur juga harus diperbanyak dengan sayuran dan buah, jangan memperbanyak karbohidrat. Semoga setelah Ramadan kita menjadi manusia baru yang terlatih menahan hawa nafsu dan bertambah ketakwaan. Menjadi manusia yang lebih sabar dan tidak tergesa-gesa bereaksi. Juga tidak ada salahnya, kalau bisa dapat bonus menjadi manusia baru yang berat badannya berkurang 4-5 kg. Setuju ya?