Sewaktu kecil, saya melihat sosok Pak Harto sebagai seorang manusia nyaris sempurna, mulia adanya. Mungkin demikian pula yang dirasakan oleh teman-teman saya atau bahkan seluruh siswa SD yang seangkatan dengan saya.
Saat itu, bahkan saya yang tidak berbakat dalam seni rupa, mencoba menuangkan sosok Pak Harto dalam sebuah gambar. Pak Harto yang berjas dan berkopiah merupakan gambar yang suka saya tiru.
Caranya, gambar beliau di buku pelajaran saya beri garis panduan yang menyerupai garis skala di peta. Lalu saya meniru gambar tersebut dalam bentuk lebih besar seukuran kertas karton satu “kajang”.
Setelah selesai, gambar yang menggunakan media cat air tersebut saya pajang dengan bangganya di tembok rumah. Letaknya, di dekat meja makan. Setiap kali berada di ruang makan, seolah beliau selalu tersenyum kepada saya.
Sampai saya SMP praktis imej saya tidak berubah terhadap Pak Harto. Apalagi, saat itu tidak ada pihak yang berani mengkritik secara terbuka. Media juga memberitakan yang baik-baik saja. Secara tidak langsung Pak Harto sudah mengkondiskan the Law of Attraction. Semua yang kita lihat dan dengar saat itu, terlihat baik-baik saja.
Acara temu wicara Pak Harto yang disiarkan khusus oleh TVRI sering saya tonton karena terpaksa. Maklum, saat itu belum ada tv swasta. Sering juga tv saya matikan jika ada Laporan Khusus kunjungan Pak Harto ke luar negeri atau peresmian pabrik tertentu. Tetapi, sering juga saya menontonnya secara tidak sengaja.
Di salah satu pertemuan dengan petani, Pak Harto menjawab pertanyaan para penanya dengan baik. Meskipun banyak menggunakan kata “daripada” tetapi penguasaannya terhadap masalah sungguh mengagumkan. Rasanya sampai sekarang belum ada presiden kita yang bisa menandingi Pak Harto dalam masalah pertanian.
Karena begitu lancarnya Pak Harto menjawab pertanyaan, ada anekdot kalau pertanyaan warga sudah dikondisikan sehingga Pak Harto sudah mempersiapkan jawabannya. Berita miring juga marak saat Pak Harto mancing.
Menurt rumor, saat mancing di laut, di bawah perahu sudah siap para penyelam yang mengkaitkan ikan-ikan besar ke kail Pak Harto. Tentu saja kabar angin tadi tidak pernah bisa dikonfirmasikan kebenarannya.
Setelah kuliah, dan berdiam di Jakarta, barulah aku mulai banyak melihat “sisi lain” Pak Harto. Pembredelan beberapa koran seperti Prioritas dan terakhir Tempo, Detik dan Editor semakin menguatkan hal ini. Belum lagi peristiwa lain yang belum terungkap.
Sebagai ahli strategi mungkin saja Pak Harto terpengaruh oleh Tzun Su. Alkisah, raja memerintahkan Tzun Su untuk melatih selir raja program baris-berbaris. Saat Tzun Su memberi aba-aba, dua orang selir raja tertawa cekikian sehingga mempengaruhi anggotanya.
Melihat hal ini Tzun Su memberi peringatan agar kedua selir tadi memperbaiki tingkah lakunya. Ternyata kedua selir tetap tertawa saat aba-aba dimulai. Dengan serta merta Tzun Su memenggal kepala dua selir tadi.
Melihat kejadian ini, semua selir ketakutan. Mereka akhirnya dapat berbaris dengan rapi.
Tzun Su melaporkan hal ini kepada raja. Mulanya raja marah karena dua orang selirnya dibunuh. Tetapi akhirnya raja bisa memahami keputusan Tzun Su.
Barangkali Pak Harto melihat para pengkritiknya seperti kedua selir yang harus disingkirkan. Kalau tidak, selir ini dapat mengganggu ketertiban.
Saya jadi teringat kisah Yesus (maaf kalau ceritanya kurang pas!) dalam memutuskan perkara pasangan yang ketahuan berhubungan ilegal. Warga yang murka mengarak kedua pasangan ini dan mengadukannya ke hadapan Yesus. Mereka berharap pasangan ini dapat dirajam sampai mati.
Namun, sungguh di luar dugaan Yesus berkata kepada mereka dengan khidmat,”Siapa yang merasa tidak pernah berbuat berdosa, dia berhak merajam kedua orang ini sampai mati”. Mendengar ini semua warga terdiam. Siapa pula dari mereka yang tidak pernah berbuat dosa?. Lamat-lamat mereka meninggalkan pasangan tadi dengan tertunduk malu.
Pak Harto pun hanya manusia biasa, bukan nabi. Pak Harto punya sisi baik dan sisi jahat sekaligus. Sama halnya dengan kita semua. Dalam kondisinya yang sepuh dan kritis seperti ini sudah selayaknya kita melihat sisi baiknya saja.
Sebagai pemimpin Pak Harto telah berani mengambil risiko dengan semua keputusan yang telah diambilnya. Dia, sama halnya kita, akan mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya kepada Sang Khalik. Waktulah yang akan menentukan posisi Pak Harto dalam sejarah Indonesia. Tabik. (Hery Azwan, Jakarta, 16/1/2008)
Saya setuju. Sebagian besar dari kita, dalam menilai Suharto, tidaklah “hitam-putih”, tapi “abu-abu” atau penuh nuansa. Dan itulah juga “wisdom” orang Indonesia yang penuh keragaman etnis, budaya, agama, ideologi dsb itu.
Karena itu dalam melepas kepergian Suharto, saya lebih suka kalau kita melihatnya dari aspek sejarah, budaya dan relijiusitas. Bukan dari aspek hukum, politik atau–apalagi–duit.
Biarlah sejarah Suharto–sebagaimana juga halnya sejarah yang baik–ditulis oleh setiap orang Indonesia yang pernah mengalami masa kepemimpinannya. Dan resultante dari sejarah yang ditulis oleh setiap rakyat itu, itulah sejarah yang benar.
Tapi untuk itu tentu saja dibutuhkan sebuah waktu yang panjang. Jangan terburu-buru seperti yang diinginkan oleh orang-orang Golkar itu. Ini bukan urusan mengejar setoran. Ini urusan perjalanan bangsa.
iyah.. kadang sayah kasian..
eh, kemaren tu waktu mampir ke RS pertamina, ada yang ngedemo pak harto..
orang dah kritis gitu masih didemo. lha ngefek apa..
wah wah wah… eyang saya kok di bahas sih….
yang tenang dan sabar nggih yang Suharto
Kalau orang nyuri ayam kok nggak dimaafin ya? Aneh.
Apa mungkin perlu mencuri 1 trilyun ayam, supaya dimaafkan ya? Hehehe 😛
kalo aku…
lupakan saja…
pak harto dah tua..
ga perlu didemo…
masa pengadilan tuhan kan udah dekat untuk dia..