Ahad 1 Juni 2008 istriku mau melihat temannya yang buka stan bazar di Hotel Grand Alia. Setelah kuturunkan di lobi hotel, aku bergegas menuju Taman Ismail Marzuki. Sudah lama aku nggak ke planetarium, sementara selalu ada rasa kangen ke sana.
Suasana di planetarium dapat meruntuhkan segala kesombongan manusia. Betapa kecilnya bumi, planet yang kita tinggali, dibandingkan planet lain. Hanya seperti noktah. Apalagi jika dibandingkan galaksi dan seluruh alam semesta yang tak bertepi. Bumi saja hanya sebesar titik kecil, apalagi kita manusia yang tinggal di atasnya.
Ada sedikit kemajuan pada planetarium, terutama di depannya sudah ada banner elektronik yang berisi jam pertunjukan. Saat itu pukul 12.10. Pertunjukan berikutnya pukul 13.00. Antrian di loket sudah cukup panjang, begitu juga di pintu masuk. Kebanyakan anak SD. Aku kurang paham, apakah anak sekolah sudah pada libur atau memang sengaja mereka
ke tempat ini sebagai bagian dari kegiatan sekolah.
Terkadang aku iri dengan mereka, anak2 SD yang tinggal di Jakarta. Dulu, waktu aku SD di kampung, boro-boro kenal itu yang namanya planetarium. Pengetahuan tentang benda langit hanya kuketahui dari buku pelajaran yang gambarnya sangat irit. Salah satu rasi bintang yang sangat kukenal adalah rasi bintang yang mirip layang-layang. Dulu, aku sering mencari rasi bintang ini di langit dan mencocokkannya dengan apa yang ada di buku.
Harga tiket saat ini Rp 7.000 untuk dewasa dan Rp 3.500 untuk anak-anak. Kebersihan lingkungan masih jauh dibandingkan bioskop 21, apalagi lingkungan di depan TIM yang malamnya dipenuhi oleh pedagang makanan. Siangnya, sampah sisa malam hari seringkali tidak dibuang sebagaimana mestinya sehingga aroma yang khas sering menteror hidung kita.
Pedagang buku menghiasi pintu masuk dan ruang tunggu. Dulu belum ada pedagang seperti ini. Seiring dengan meningkatnya minat baca, buku dapat ditemukan tidak hanya di toko buku, tetapi di tempat keramaian seperti
di sini. Di antara buku yang dijajakan adalah trilogi Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, The Kite Runner, dan beberapa buku anak-anak dan buku Islam.
Pertunjukan dimulai tepat pukul 13.00 diiringi oleh suara tepuk tangan penonton dan suara tangisan bayi yang takut gelap. Pemandu acara membuka pertunjukan dengan salam sambil menerangkan suasana langit di waktu malam, pukul 20.00 tanggal 1 Juni 2008.
Tampaknya pemandu acara sudah hapal benar dengan materi pertunjukan sehingga materi yang dibawakannya cukup komunikatif, tidak terdengar seperti orang yang hanya membaca saja. Sesekali dia menghimbau penonton untuk tidak bertepuk tangan. Terkadang dia berempati dengan ibu yang bayinya menangis untuk membawanya ke tempat terang di luar.
Planet Pluto yang tidak lagi dianggap sebagai planet sudah diakomodasi dalam penjelasan ini. Begitu juga dengan tambahan 1 rasi bintang baru dari 12 zodiak yang sudah ada sehinga total zodiak ada 13.
Setiap ke sini, saya selalu kagum dengan kreativitas penemu zodiak. Bagaimana tidak? Betapa bintang2 yang sekilas kelihatannya sama, bisa dipetakan menjadi bentuk tertentu sesuai lambang zodiak yang kita kenal saat ini. Tidak dijelaskan siapa yang menemukan ini (Jangan khawatir di Google pasti bisa dicari kok. Ada yang mau membantu?).
Yang membuat saya tersentuh adalah betapa bumi ini memang diciptakan sebagai tempat yang nyaman sekali. Perubahan siang dan malam berlangsung secara proporsional. Bayangkan jika kita tinggal di planet Uranus (atau Neptunus ya?).
Di sana, satu hari satu malam (satu kali planet berotasi) berlangsung selama 40 tahun waktu bumi (20 tahun siang dan 20 tahun malam). Dapat dibayangkan jika kita merasakan siang terus menerus selama 20 tahun. Kapan kita bisa tidur?
Intinya, pengalaman di planetarium menjadi pembelajaran yang bermanfaat bagi siswa. Layar yang mirip bentuk langit dan proyektor seperti bola yang mempunyai banyak lampu sorot, membuat pertunjukan selama 45 menit ini terasa singkat. Kapan-kapan kalau ada waktu main lagi ke sana ah…
Ya ya setuju, Allah SWT ada dimana-mana. Pada tingkatan paling tinggi, ia ada di kita, pada pikiran kita.
waaa…dapat pengalaman baru lagi dari pak hery. makasi ya pak, udah cerita2 😀
wahhh 24 tahun tinggal di jakarta belum pernah ke sana tuh bang.
Nanti mau ajak Riku deh ke sana kalau ke jakarta.
“Yang membuat saya tersentuh adalah betapa bumi ini memang diciptakan sebagai tempat yang nyaman sekali. Perubahan siang dan malam berlangsung secara proporsional. Bayangkan jika kita tinggal di planet Uranus (atau Neptunus ya?).”
Betul, tempat yang nyaman bagi mahluk seperti manusia 🙂 Siang malam yang berlangsung proporsional pun ‘proporsional’ dalam ukuran manusia seperti kita. Kita jelas akan kesulitan tinggal di Uranus kecuali kita bisa mimicking earth environment di Uranus. Tapi bagaimana dengan mahluk Uranus? 🙂
“I’ll tell you one thing about the universe, though. The universe is a pretty big place. It’s bigger than anything anyone has ever dreamed of before. So if it’s just us… seems like an awful waste of space. Right?” (Dr Arroway in Contact)
salam kenal mas hery
makasih bagi-bagi pengalamannya
jadi pengen kesana 🙂
kok gak ngajak2 sih om??? 😆
Pernah ke Planetarium, pas SD dulu, berapa belas tahun yang lalu, ya?
Eniwei.. dulu kagumnya karena efek pencahayaan yang apik dan rupanya bintang-bintang itu nggak terletak sembarangan toh.. (kayak yang ditulis Mas Hery nih)
Kalau sekarang liat lagi, mungkin akan lebih ‘religius’ nangkepnya.. how small we are.. tapi tingkahnya dah ngesok gituh.. *ini pengalaman pribadi.. 😦 *
Eniwei…
Terinspirasi untuk tengokin planetarium lagi nih… thank you Mas!
Mahas Besar Allah dengan segala ciptaan-Nya. Planetarium yang bikinan manusia saja sudah mampu membimbing kita untuk senantiasa mengagungkan asma-Nya, apalagi kalau menyaksikan ayat2 Allah yang tergelar di alam semesta.