Selama liburan kemarin saya mencoba sedikit menyimpulkan bahwa rasa-rasanya krisis masih jauh dan tidak akan mampir ke Indonesia. Kok begitu yakinnya? Habis, semua tempat wisata dan hiburan penuh sepenuh-penuhnya oleh pengunjung. Di Ancol, saat perayaan tahun baru, pengunjung yang datang melampaui target. Demikian juga di Ragunan dan Taman Safari. Hanya Taman Mini yang gigit jari.
Pas tanggal 25 Desember, bertepatan dengan hari Natal, pagi-pagi sekali saya meluncur ke Cianjur melewati Puncak. Memasuki tol Jagorawi, kepadatan lalu lintas mulai terasa. Menjelang keluar Ciawi, kemacetan sudah menghadang sejauh lebih dari 1 km. Kemacetan di Puncak merupakan salah satu indikator ekonomi masyarakat Jakarta sekitarnya yang masih bergulir dan tidak terpengaruh krisis. Justru kalau Puncak lancar di hari libur, kita harus curiga.
Tampak di depan mobil, guide swasta yang menawarkan jalan alternatif. Tapi, tampaknya upaya mereka gagal. Tidak satupun pengendara yang sudi menggunakan jasa mereka. Pengendara sudah hapal kalau jalur alternatif hanya akan membawa kesulitan. Udah jalannya jelek, becek, nggak ada ojek, eh banyak peminta-pemintanya pula. Terkadang mereka meminta dengan paksa.
Beruntunglah saya, setelah 15 menit menunggu, jalur dibuka menjadi satu arah ke atas. Maka, terurailah semua kemacetan tadi. Semua kendaraan dari bawah berpacu menuju Puncak dengan kecepatan maksimal. Begitupun, dari atas masih terlihat satu dua pengendara motor yang nekad melawan arah. Mereka kok tidak takut mati ya?
Setelah Taman Safari, jalan sudah dibuka menjadi dua jalur. Gantian, yang macet dari arah atas yang distop persis di depan persimpangan Taman Safari. Kemacetan mencapai sekitar 2 km.
Karena belum sarapan, saya berhenti sejenak di Mesjid At Taawun untuk mencari penganan. Setelah itu, kami berfoto-foto di sekitar mesjid. Rupanya, di situ ada riam mini yang sengaja dibuat untuk pelancong. Air yang jernih mengalir di atas batu. Banyak keluarga yang juga berfoto-foto di sini. Seperti biasanya, saya agak malas mengupload foto. Nanti kalau sempat akan saya tampilkan.
Pangandaran
Tanggal 26 Desember saya dan keluarga berangkat sekitar pukul 06.30 dari Bandung menuju Pangandaran. Nagrek yang saya curigai bakal macet, ternyata lancar. Begitu juga dengan tol Cilenyi. Lancar sekali.
Sepanjang jalan, pemandangan didominasi oleh gambar caleg dari berbagai partai. Sebuah tanda bergeraknya ekonomi kan? Saya baru tahu kalau Gita KDI ternyata menjadi caleg sebuah partai untuk dapil Garut. Halah….
Tiba di Pangandaran sekitar pukul 12.00 dan langsung pergi jumatan. Di dalam mesjid terlihat tampang para turis yang berbaur dengan penduduk setempat. Ah, sudah banyak juga rupanya yang datang.
Selama masa liburan, tarif hotel di Pangandaran meningkat dua kali lipat. Tidak hanya hotel, bahkan rumah penduduk pun disewakan laksana hotel. Sebuah rumah yang berisi tiga kamar (dengan satu kamar ber-AC) disewakan seharga satu setengah juta per malam. Kamar-kamar yang mirip kos-kosan juga tumbuh menjamur di sekitar jalan Pramuka. Untuk menunjukkan bahwa kamar masih available, mereka mencantumkan tulisan “KAMAR DISEWAKAN” atau ‘KAMAR ADA’.
Rasanya, semua kamar sudah penuh disewa oleh pendatang. Bahkan ada barisan kamar yang atasnya baru didak, dan masih difungsikan sebagai kandang burung merpati. Benar-benar semrawut. Kesemrawutan ini barangkali merupakan salah satu indikator ekonomi yang terus menggelembung.
Puncaknya, pada hari Sabtu sore, bus-bus besar berdatangan dari segala penjuru. Pantai pun penuh dengan orang berseliweran, baik untuk sekedar menikmati deburan ombak, maupun untuk berselancar. Sesekali pemilik perahu menawarkan jasanya mengantarkan pengunjung ke pasir putih.
Fotografer amatir juga tidak ketinggalan. Sekali jepret ukuran 10 R, pengunjung hanya perlu membayar Rp 10.000. Harga yang cukup pantas. Hanya saja, sekarang tidak dengan kamera Polaroid, tetapi dengan kamera digital. Hasil cetak dapat diperoleh satu jam kemudian. Sekali lagi, ekonomi berputar di sini.
Sabtu pagi, aku bergegas menuju pantai timur untuk menyaksikan matahari terbit sekaligus nelayan yang menarik jaring. Jaring ditarik ke tengah laut dengan perahu sampai sejauh 500 meter. Setelah menunggu sekitar satu jam, jaring tadi pelan-pelan ditarik ke darat secara manual, oleh lebih dari 6 orang.
Prosesi menarik jaring ini cukup lama juga. Para nelayan mengerjakannya dengan suka cita sambil bercanda. Yang uniknya, ada ibu-ibu yang menarik jaring sambil merokok. Setelah sekitar setengah jam menarik, ujung jaring pun tiba ke tepi. Aku berharap mereka akan memperoleh ikan yang banyak. Begitu juga dengan pengunjung lain yang sudah menggerombol ke sana.
Untung tak dapat diraih, ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Hanya sedikit teri basah, cumi dan ikan kecil yang menyangkut di jaring. Total beratnya tidak sampai 5 kg. Sebuah hasil yang tidak seimbang dengan tenaga yang sudah dikeluarkan, biaya untuk membeli solar dan menyewa perahu.
Yang membuat saya takjub, mereka tidak menggerutu dengan hasil yang minimal ini. Mereka malah menghibur diri, “Sedang tidak musimnya, Pak”. Setelah itu, mereka mengulangi lagi prosesi menebar jala ke tengah laut seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Salah satu tanda krisis yang sedikit mengganggu saya adalah tatkala saya memesan bubur ayam di pinggir pantai timur. Dua orang ibu-ibu berumur sekitar 45 tahun tiba-tiba datang ke gerobak tempat saya duduk.
“Buburnya berapa seporsi?”
“Lima ribu”, kata si ibu penjual.
“Tiga ribu ya. Buat dua porsi”
Si ibu penjual bubur ayam tidak bereaksi. Mungkin dalam hatinya dia berkata,”Uh…orang kota. Lima ribu aja ditawar”.
Saya mendengarkan dialog ini sambil menikmati bubur ayam dicampur sate kerang yang saya beli dari mbok-mbok yang muter dengan keranjangnya. Katanya, sate kerang ini dari Cilacap karena di Pangandaran tidak ada kerang. Satu tusuk kerang seharga Rp 500, cukup mengobati kerinduan saya terhadap sate kerang yang biasanya saya nikmati di Medan.
Saat malam minggu tiba, restoran seafood di sepanjang pantai Pangandaran penuh semua. Jalanan macet karena mobil diparkir di sepanjang jalan. Favorit saya, tetap restoran Rasa Sayang yang terletak di ujung jalan Kidang Pananjung. Udang goreng telurnya memang dahsyat. Bahkan, capcaynya pun sangat spesial. Udang kecil kupas yang ada di capcay terasa lumer di lidah.
Nah kalau sudah begini nggak ada krisis kan? Ya iyalah, surveinya di tempat wisata. Coba kalau surveinya di kolong jembatan, pasti krisisnya keliatan banget. Nah lho…
bener bang. katanya semua tempat wisata dipenuhi wisatawan domestik dari jakarta hehhehe. mana krisisnya ya?
tapi kalau mikir krisis terus ya mungkin ngga bisa ngapa-ngapain lagi dan tambah stress ya?
Di Jepang juga sudah mulai terasa loh bang. Kemarin di TV banyak pekerja warga asing (kebanyakan dari peru/brasil/argentina) yang di PHK dan ngga tahu mau gimana lagi. Untuk mereka disediakan makanan dan tempat diskusi utk mendapat rumah/pekerjaan di Taman Hibiya. Aku ngebayanginnya homeless trus dingin gitu duh…. di indonesia at least tidak dingin. Dan PHK ini tidak hanya membayangi warga asing saja, warga jepang juga terutama mereka yang bekerja di pabrik-pabrik mobil.
Saya cuman bisa menghela nafas bang….
EM
Melihat laporan di media, di TV dan juga baca di blog ini, kayaknya krisis di Indonesia belum mampir…padahal sudah ribuan orang di PHK.
Mungkin karena pada dasarnya orang Indonesia bersifat kekeluargaan, jadi kalau yang satu jatuh, keluarga yang lain masih mau menolong.
Tapi cepat atau lambat akan terasa…atau justru di liburan tahun Baru, adalah cara mereka melepaskan diri dari stres dan pusing?
Seperti tidak tahu watak bangsa ini saja. Senang sekarang, esok tak ambil pusing! bukankah demikian?
benar sekali bro…
di jogja yg biasanya adem ayem, tidak pernah macet, ternyata pas liburan kemarin, semuanya tumpah ruah, penuh sesak, seolah kemacetan jakarta pindah ke jogja, berbagai mobil dg plat dari A sampai Z bertebaran di mana2 (tanya Lala kalau gak percaya, soalnya dia kan salah satu aktor di situ… hehe…).
tapi, apakah itu bisa dijadikan indikator krisis tidak mampir ke indonesia? sepertinya tidak juga…
eniwei, mau krisis atau tidak, diri kita tetap punya hak untuk sejenak beristirahat dari penat hidup. selamat bagi teman2 yg bisa menikmatinya… aku? hehehe… teteup…
Iya ya bang …
Sebetulnya krisis itu ada atau tidak ya … (hehehe)
apa jangan-jangan cuma di lantai bursa saja …
But yang jelas aku iri … abang bisa jalan-jalan …
Sementara aku … Drs alias dirumah saja …
hehehe
Salam saya bang …
Saya malah belum pernah ke Pangandaran .. hehehe (*kebangetan.com*). Waktu krisis 97/98-an ada tamu saya dari Jepang nggak percaya, lha wong dia di hotel bintang 5 trus yg dilihat banyak mobil mewah berseliweran … saya bingung mau jelasinnya …
Krisis emang udah banyak makan korban pak Herry. Kalo waktu liburan kemaren tempat wisata macet-cet-cet, itu sudah biasa. Yang kena phk kan juga ada yang ikut berwisata ria untuk menghilangkan resah di jiwa.
Seiring tahun baru, mulai tanggal enam januari 2009 ini saya juga ikut dilibas krisis. Kantor tempat saya bekerja selama dua tahun belakangan ini sejak tanggal tsb memberi saya status baru “manusia bebas tanpa aturan dan protokoler kantor.” Jadilah saya pe-ha-ka-er.
Ini kunjungan pertama saya ke blog pak Herry, semoga jadi silaturahmi. Salam (alris)
Kalau di dunia usaha, krisis itu terasa dengan banyaknya karyawan yang dirumahkan atau di-PHK. Lha, mereka yang berlibur itu, mungkin kelompok yang masih ‘selamat’ dari krisis.
Kalau saya mah senang satu hal, Mas Hery : BBM turun. Sekarang harga pertamax cuma Rp. 6.300,- padahal waktu BBM sedang mahal, pernah mencapai Rp. 10.800,-. Wah, jadi pengin ngisi tangki mobil terus, habis murah sih … hihihi
Walah endingnya mengenaskan bang….
Gw ga terlalu suka sama pantai yg ramai…
Ke Ujung Genteng (UG) or Ujung Kulon (UK) baru wokeh Bang…
mungkin belum kerasa Boss..
banyak informasi dari temen2, manufaktur 2009 (otomotif khususnya) turun drastis… akibatnya banyak yang kelebihan Man Power..
akibat terdekat, lembur tidak ada..
liburan kemarin belum begitu kerasa, karena banyak yang masih dapat Bonus dari tempat kerjanya..
tapi, mudah2an krisis memang tidak mampir ke Indonesia ya Boss..
Hmm..
saat jalan ke mal, juga nggak keliatan kalau krisis, Bang..
Orang-orang masih nentengin belanjaan..
masih jajanin roti mahal..
masih minum kupi enak tapi harganya ampun itu…
Dan percayalah, tidak semuanya itu orang-orang yang keliatan ‘berada’. Banyak yang terlihat sangat biasa-biasa aja, tapi bawa tentengan nggak kalah sama yang penampilannya mengkilap… *duh, judging banget deh, adikmu ini.. hehe*
Eniwei,
I couldn’t help but wonder:
“Mereka benar nggak kena krisis or play pretend?”
Definitely, bukan wilayahku buat menjawab ya, Bang… Yang pasti, kantorku memang nggak kena krisis sampai segitunya, achievement-nya malah luar biasa tahun kemarin ini, dan prospeknya masih bagus di tahun ini *mudah2an benar* Pandai-pandai bersyukur aja ya, Bang…
*komentarnya nyambung ga, sih? kok kayaknya ngelantur ke sana ke mari.. hihihi*