
Tanggal 26-27 Maret aku berkesempatan menikmati indahnya Pulau Tidung bersama teman kantor. Ada rasa enggan juga sih. Sehabis umroh kok langsung jalan-jalan ke pulau.
Ada yang tahu di mana letak pulau Tidung? Sabar dulu ya ceritanya….
Tepat pukul 03.00 pagi Senin 26 Maret bus berangkat dari kantor Bandung menuju Jakarta. Pukul 05.10 bus tiba di Jakarta dan berhenti sebentar di SPBU Rawamangun untuk menjemput beberapa teman kantor Jakarta. Bus berangkat lagi pukul 05.30 dan tiba di pelabuhan Muara Angke beberapa saat kemudian. Jalanan di Jakarta masih relatif lancar.
Menjelang masuk kawasan pasar Ikan Muara Angke, aroma khas kawasan pantai yang dipadu dengan amisnya ikan mulai tercium. Kami turun menuju dermaga, tempat kapal kayu bersandar dengan mengendap-endap menyusuri jalan becek yang beraroma busuk.
Jangan bayangkan kapal speed boat yang kami naiki ini seperti di film Hawai Five O atau Miami Vice. Kapal ini pasti akan mengingatkan Anda pada kapal pembawa pengungsi Afghanistan.
Kapal kayu ini terdiri dari dua lantai dengan kapasitas sekitar 200-300 orang. Kita harus membungkuk di kapal ini, karena tinggi tiap lantai hanya setinggi pinggang orang dewasa lebih sedikit. Jadi kita harus dalam posisi rukuk jika ingin bergerak ke arah lain.
Pukul 07.30 kapal bergerak meninggalkan Muara Angke menuju kepulauan Seribu. Seorang turis perempuan dari Belanda keturunan Suriname ikut di kapal ini dan berminat bergabung dengan EO yang memandu kami. Beberapa penduduk asli juga terlihat bersila di lantai dua. O ya, sandal dan sepatu diletakkan di depan pintu agar kebersihan kapal tetap terjaga.
Di sepanjang perjalanan terlihat beberapa pulau seperti pulau Bidadari. Di tengahnya ada tower operator selular. Karena itu, sepanjang perjalanan sinyal cukup kuat untuk sms, telepon maupun blackberry.
Dua jam kemudian kapal tiba di Pulau Tidung. Dermaganya tidak terlalu ramai. Air di dermaga sangat jernih, berbeda dengan air di Muara Angke yang sangat keruh. Motor bebek yang sudah dimodifikasi menjadi bettor (becak motor) sibuk menawarkan jasa. Kami berjalan kaki menuju penginapan yang ternyata sangat dekat letaknya dari dermaga.
Jangan bayangkan kami menginap di hotel atau losmen, karena di sini yang ada hanya perumahan penduduk yang disulap menjadi penginapan. Mirip homestay lah….
Malah, kantor RW yang jelas-jelas ada plang di depannya ikut disulap juga jadi penginapan. Fasilitasnya memang sangat sederhana. Sebagian kasur dibuat seperti tatami atau lesehan. Di kamar mandi hanya ada ember sedang, dan toilet jongkok. Tidak ada shower. Untungnya, air bersih cukup tersedia secara alami di sini. Rasanya tidak asin.
Setelah kamar dibagi, kami memulai makan siang dengan menu sederhana, ikan sambal yang mirip ikan kembung atau ikan bawal. Rasanya cukup maknyus….
Sehabis makan siang dan istirahat sejenak kami pun siap-siap untuk menikmati pemandangan bawah laut melalui aktivitas snorkeling. Snorkeling ini tidak dilakukan di pulau Tidung, tetapi di pulau Ayer yang berjarak setengah jam perjalanan dengan kapal kayu.
Dari penginapan kami berjalan kaki menuju dermaga bagian utara. Sepanjang perjalanan tampak sampah berserakan di tempat pembuangan yang tidak terawat.
Kapal yang membawa kami menuju spot snorkeling ini lebih kecil dari kapal yang membawa kami dari Muara Angke tadi. Muatannya sekitar 40 orang.

Setelah meninggalkan pulau cukup jauh, kapal bergoyang cukup hebat. Namun yang membuat kami sedikit khawatir adalah ketika kru memompa air keluar dari kapal. “Wah, gimana kalau kapal bocor ya? Gimana kalau pompa kalah cepat dengan laju masuknya air ya?”, begitu pertanyaan kami dalam hati.
Akhirnya kapal sampai ke sebuah pulau kecil yang di tengahnya mirip laguna. Menurut kru, kanal ini memang dibuat oleh pemiliknya, Ponco Sutowo. Air laut di sepanjang kanal ini jernih sekali, mengingatkanku akan film Blue Lagoon. Di tengah deburan angin sepoi-sepoi kami mata kami semakin menikmati indahnya laut ini.

Di ujung pulau kapal berhenti. Perlahan kami turun menyentuh air laut yang jernih mewawan. Tour leader mengajari kami menggunakan snorkeling. Tidak mudah memang bernafas dengan snorkeling.
Mata dan hidung ditutup dengan goggle. Sementara, pangkal pipa dimasukkan ke mulut hingga komponen yang bercabang dua itu penuh di dalam mulut bagaikan orang monyong. Praktis, hidung tidak lagi bisa menghirup udara. Satu-satunya jalan adalah melalui mulut. Pelan-pelan kita belajar menghirup dan mengeluarkan udara melalui mulut. Setelah kita nyaman menggunakan alat snorkeling di tempat dangkal, baru kita bisa mulai ke laut yang lebih dalam.
Tips dalam menggunakan snorkeling ini adalah jangan panik. Suatu ketika saya berenang ke tempat yang dalam, sekitar 3 meter yang ikannya lebih banyak. Tiba-tiba ada teman iseng yang menarik kaki saya. Saya panik dan terkejut hingga nafas saya terengah-engah. Nah, di sinilah bahayanya. Cepat-cepat saya berenang ke pinggir sambil mengatur nafas. Tapi, ternyata tepian masih jauh. Sementara nafas saya semakin pendek dan rasanya mau meledak, tak tahan lagi. Alamaakkkk….Sekali lagi saya melihat kalau tepian masih jauh. Pelan-pelan nafas saya mulai teratur kembali, dan saya mulai sampai ke tepi. Saya buka goggle dan bernafas normal dengan hidung. Betapa nikmatnya bernafas dengan hidung yang dikaruniakan Allah kepada kita. Selama ini kita alpa menyukurinya.
Tak lama, setelah semua peserta mulai terbiasa dengan alat snorkeling, kapal berpindah ke spot lain di tengah laut. Tepatnya di dekat jaring milik nelayan. Dalamnya sekitar 3 meter, dan airnya sangat jernih. Untuk mengundang ikan datang, kami menyebarkan roti. Sekonyong-konyong ikan dengan berupa warna yang tidak pernah kita kenal pun datang mendekat. Benar-benar pemandangan yang menakjubkan mata dan menenteramkan hati.
Anak-anak perempuan yang tadinya masih takut-takut, lama-lama terbiasa dengan pelampung dan snorkeling. Mereka berpegangan bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Beberapa teman berani melepas pelampung dan berenang tanpa alat snorkeling. Kami semua menikmati dengan rasa suka cita, takjub, sekaligus waspada. Kegembiraan tak terkecuali juga terpancar dari wajah teman-teman office boy dan driver.

Setelah puas bersnorkeling ria, kapal pun kembali ke Pulau Tidung. Kami langsung bersepeda menuju Jembatan Cinta, jembatan yang menghubungan Pulau Tidung Besar dan Tidung Kecil. Di pinggir jembatan ini ada wahana banana boat. Beberapa teman mencoba wahana ini. Tentu saja, pada momen tertentu, banana boat dibalikkan hingga semua penumpang terjungkal. Di sinilah seninya. Bayah kuyup dan terkadang beberapa anggota tubuh terserempet perahu.
Beberapa tim juga ada yang berani lompat dari jembatan cinta yang tingginya sekitar 5 meter ke dalam air laut yang relative dalam. Lainnya menonton. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan bermain futsal di atas pantai antara tim Jakarta melawan Bandung.
Malamnya, setelah bebersih dan makan malam, dilanjutkan dengan pertunjukan solo kibod dan fun game. Sebelumnya aku menyempatkan diri salat magrib berjamaah bersama warga. Rupanya, aura keagamaan masih terasa kental di sini. Habis magrib, anak-anak mengaji dibimbing oleh seorang guru.
Isu kenaikan BBM rupanya mulai berpengaruh di pulau ini dengan berkurangnya jadwal kapal. Kapal kami yang seharusnya berangkat pukul 10.00 pagi dibatalkan karena BBM nya tidak lagi disubsidi oleh pemerintah. Yang tersisa hanya kapal pukul 07.30 dan pukul 14.00 siang. Maka, kami memilih pulang dengan kapal yang berangkat 07.30.
Selamat tinggal Tidung. Bersihkan dirimu ya, biar kami mau lagi mengunjungimu. Jembatan Cinta juga harus diperbaiki tuh, karena banyak kayu yang sudah tua dan menunggu rapuh.
waaah pulau ya? Aku takut naik perahu/speed boat sih. Takut mabuk laut. Kayaknya pulau Tidung ngga dulu deh hehehe
Perahu Kayu …
kapasitas 200 orang ?
selama 2 jam ….
Aarrrrggghhh bisa pengsan ekeh …
hahahahah
Salam saya
Naik perahu seperti itu, pernah kulalui dari Dumai ke Bengkalis, bro.. wuih.. benar-benar pengalaman mendebarkan. Tapi, yang lebih dahsyat lagi ketika menuju Gili Trawangan di Lombok. Ampun deh…
Keknya menarik juga nih pulau. Apa kita tajamuk di situ aja kali ya? hehe.. 🙂
Emang dari sengigi ke gili trawangan naik speed boat ya? Terang aja lebih pusing. Kalau pake kapal kayu relatif lambat
Wah.. eksotis sekali pemandangannya apalagi jembatannya
Perjalanannya menarik ya bang Hery…..sayangnya saya nggak bisa renang, walau mau juga sih kesini, tapi pakai pelampung..hehehe
Indah sekali ceritanya, kalau saya berbeda cerita karena temen saya ada yang kecelakaan.. hiks..
Wah, kecelakaan di mana bro?
pulau tidung gan berbagi pengalamn bareng ank pulau..hehehe
mantabb……
Jembatan cinta sudah selesai di perbaiki.
sekedar informasi tambahan bagi yang ingin mengenal pulau tidung.
Pulau Tidung sekarang rame banget kalo weekend. Namun bertambahnya pengunjung bertambah pula sampah yang berserakan. Semoga kita semakin peduli dengan destinasi wisata yang kita kunjungi dengan menjaga kebersihan tempat tersebut