Istanbul: Kota di Dua Benua (Liburan di Turki #2)

Pukul 06 lebih sedikit kami tiba di Ataturk International Airport. Di awal hari ini kesibukan di bandara mulai menggeliat. Segerombolan penumpang bergegas menuju meja imigrasi. Yang agak membingungkan, tulisan tentang negara kita kurang jelas di mana posisinya. Rupanya ada beberapa kategori antrian imigrasi: penduduk asli Turki, negara yang tidak memerlukan visa, dan negara yang memerlukan visa. Tampak Raja Kuis Helmy Yahya juga baru turun dari pesawat. Sepertinya naik pesawat yang sama dengan kami, namun beda kelas. Hi hi… Karena bergegas ke toilet, kami tak sempat berfoto ria dengan raja kuis Indonesia ini. Padahal kepingin lho, biar aura suksesnya menular.

Indahnya suasana di Istanbul
Indahnya suasana di Istanbul
Nah, saat menuju pemeriksaan imigrasi kami sempat kebingungan dan hanya mengikuti gerombolan. Akibatnya, kami salah antri di negara yang tidak butuh visa seperti Malaysia. Mentang2 mukanya mirip, eh kita ikutin dia, padahal salah. Untung belum terlalu lama antrinya. Kami harus berjalan lebih jauh lagi mencari pos yang tepat. Interior bandara Ataturk biasa saja. Tidak semegah bandara Changi. Lantainya hanya marmer atau granito saja, bukan karpet.

Antrian di pos imigrasi semakin panjang. Arus penumpang yang baru datang semakin deras. Antrian tidak ada yang mengatur sehingga agak semrawut. Setelah lebih dari 20 menit kami lolos dari imigrasi. Untunglah visa sudah diperoleh secara on line sehingga tidak harus antri di loket visa on arrival. Tujuan selanjutnya, ambil bagasi. Nah, di sini kita harus teliti melihat layar monitor karena posisi bagasi kita bisa berada di mana saja. Dengan sok yakin aku bergerak ke sebelah kanan. Eh gak tahunya yang benar di sebelah kiri. Padahal sudah ngos-ngosan berjalan cepat. Lumayanlah buat mengurangi lemak tubuh.

Di bandara banyak juga portir, tapi trolley juga banyak tersedia. Di tiap Bagaj Alim (Tempat Pengambilan Bagasi) pasti ada. Hanya saja terkunci. Kita harus memasukkan koin 1 lira untuk bisa mengambil trolley ini. Berhubung tas kami besar2 dan banyak, kami mengambil 2 trolley. Sebelum keluar, kami juga sempatkan mengambil uang lira di atm. Ratenya cukup bagus, 1 lira setara dengan Rp5.000. O, ya dari atm di Turki sampai ke kota kecil di pelosok, umumnya kita bisa mengambil 3 jenis mata uang, yakni Euro €, US$, dan Turkish Lira ₺. Unik juga ya. Rasanya di negara kita hanya rupiah yang bisa diambil dari ATM. Atau ada pembaca yang tahu kalau US$ bisa diambil di sebagian tempat? Entahlah. Ini menunjukkan Turki sangat terbuka dan memanjakan orang asing. Bahkan paket wisata ditawarkan dalam euro.

Dengan membawa bagasi kami keluar, namun rupanya tak ada pemeriksaan atau pencocokan barang dengan kartu bagasi oleh petugas. Wah, bahaya juga nih kalau ada yang salah ambil barang. Rupanya di penerbangan lokal juga seperti ini. Tak ada seremonial pencocokan barang dengan kartu.

Di luar sudah menunggu Abdillah Arin, travel consultant dari Travelshop yang membawa papan namaku dalam ukuran besar. Wah, senang juga ada yang menjemput. Mulanya agak khawatir jug kalau kalau travel ini tidak komit dengan perjanjian. Abdullah rupanya sudah lebih dari 1 jam menunggu. Sebelum menuju mobil, salah satu dari kami membeli nomor perdana agar tetap eksis selama di Turki. Harganya lumayan mahal, 80 lira atau sekitar Rp400.000 dengan kapasitas data 1 GB dan telepon 90 menit. Kalau di kita sih paket iPhone XL Rp50.000 sudah dapat 1,5 GB dan telepon gratis sesama XL selama 200 menit.

Ya sutralah, meskipun mahal, tapi untuk eksis berapapun dibeli.
Kami dijemput dengan mobil khusus pariwisata kapasitas 15 orang yang sangat nyaman. Mobil ini juga menyediakan tempat khusus bagasi di belakang. Hanya kami yang dijemput saat itu, sehingga kami berlima merasa sangat eksklusif. Sepanjang jalan, mobil jenis ini berseliweran. Pariwisata memang menjadi salah satu andalan perekonomian Turki. Tak salah kalau Turki menduduki urutan 6 dunia sebagai negata yang paling banyak dikunjungi setelah Perancis, Amerika Serikat, Spanyol, China dan Italia.

Suasana di tempat menaikkan penumpang agak crowded. Banyak klakson bertalu-talu. Tapi untunglah tak ada yang marah2 seperti di sini.

Mobil melaju melewati jalur utama. Tidak ada tol di dalam kota Istanbul. Di tengah ada jalur busway yang uniknya tidak bersentuhan sama sekali dengan jalan biasa sehingga kecepatan bus bisa diandalkan. Para penumpang berjejal, tak jauh beda dengan di Jakarta. Kualitas busnya mirip dengan bus yang beroperasi di Singapura. Tampaknya dari supplier yang sama. Tinggi plafon juga sangat rendah, laksana bus biasa, bukan seperti busway. Tiket bus ini terintegrasi dengan transportasi lain seperti trem dan kereta bawah tanah. Ongkosnya 4 Lira jauh dekat atau sekitar 2 Lira jika menggunakan kartu pas khusus. Bagi turis yang cuma sehari dua hari di Istanbul tentu tak perlulah membeli kartu ini. Tapi kalau Anda berniat mengubek2 Istanbul dengan public transport dan durasinya lebih dari 3 hari, maka kartu pas ini sangat diperlukan.

O ya, yang juga perlu diperhatikan bagi yang ingin berliburan di Turki adalah cuaca. Saat kami keluar dari bandara menuju bus, suhu sekitar 12 derajat celcius sehingga masih diperlukan pakaian hangat, meski gak usah terlalu tebal. Saat itu padahal sudah di akhir bulan April yang berarti SPRING menuju SUMMER.

Jarak hotel kami sekitar 18 km, ditempuh dalam waktu sekitar 40 menit karena ada sedikit sendatan. Tapi gak semacet Jakarta. Hotel kami 900 meter dari Taksim Square, salah satu lapangan yang cukup dikenal di dunia karena sering menjadi tempat demonstrasi. Jarak ini tentu agak jauh dari akses public transport, sehingga kami harus naik taksi. Memang jaraknya tidak terlalu jauh, tali konturnya mendaki sehingga kami khawatir bisa terjatuh di jalan. Sebenarnya sih karena malas aja. Inilah dilema menggunakan biro perjalanan. Kalau kita jalan sendiri, kita bebas memilih hotel di lokasi yang kita mau. Biasanya hotel pilihan travel biro agak sulit ditemukan di booking.com atau agoda.com. Biasanya juga mereka lebih senang menampilkan websitenya dalam bahasa lokal, bukan bahasa Inggris.

Bahasa Inggris bukanlah bahasa yang dikuasai rakyat Turki. Sebagian besar supir taksi, penjual makanan, bahkan resepsionis hotel sulit berbahasa Inggris. Karena itu kita harus hati2 dalam berkomunikasi, terutama dengan sopir taksi. Ketika kita tanya alamat tertentu mereka menjawab tahu, tapi kenyataannya berputar2 karena tidak tahu atau karena modus untuk memperbesar nilai argo taksi.

Satu tanggapan untuk “Istanbul: Kota di Dua Benua (Liburan di Turki #2)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s