Film Ayat-Ayat Cinta: Laris Manis…

Ayat-Ayat Cinta

Tadi malam (28/2/3008) akhirnya kesampaian juga saya menonton film Ayat Ayat Cinta bersama istri. Awalnya kami mau nonton yang pukul 18.35 di La Piazza. Tapi ternyata kursi tinggal satu. Terpaksa kami menunggu jadwal berikutnya, tetapi pindah ke Gading XXI yang jadwal tayangnya lebih dini.Femonema film AAC memang luar biasa. Kelapa Gading yang nota bene bukan tempat bermukimnya keluarga muslim, ternyata diserbu penonton. Aku tidak mengira bisa kehabisan tiket genre film ini di Kelapa Gading. Bayangkan, ada 3 studio di kompleks ini yang memutar film tersebut: Gading 21, Gading XXI dan La Piazza.

Jika dilihat dari profil penonton, bisa diidentifikasi bahwa sebagian besar memang berasal dari keluarga muslim. Ini dapat dilihat dari pakaian ibu-ibu dan remaja putri yang menggunakan jilbab.

Meskipun demikian, tidak sedikit juga wanita yang bergaya kasual atau bahkan bercelana pendek. Teman-teman kalangan Tionghoa juga ada yang menonton.

Dari profil penonton tampaknya ada empat tipe. Pertama: orang yang sudah membaca bukunya, dan penasaran seperti apa filmnya. Kedua: orang yang tahu kalau ada bukunya, tetapi malas kalau harus membaca. Ketiga: orang yang terbawa pengaruh lingkungan pergaulan (kantor, media, keluarga), lalu penasaran ingin menonton. Keempat: orang yang kebetulan ada di dekat bioskop, lalu melihat antrian panjang. “Wah, film bagus, nih”.

Bagi saya yang sudah membaca bukunya, sulit menghindar dari bersikap kritis dalam menonton film ini. Akibatnya, saya kurang bisa menikmatinya. Istriku yang juga sudah membaca bukunya terlihat lebih serius dibanding aku dan cukup menikmati.

Yang membuat agak mengganggu adalah pilihan lokasi yang terbatas. Seolah-olah shootingnya ngubek-ngubek di flat, kampus dan pinggir sungai. Pesona Sharm Asy Syeikh sebagai tempat wisata, sungai Nil dengan view yang luas kurang dieksploitasi karena menurut kabar syutingnya lebih banyak di India.

Casting beberapa pemain juga agak mengganggu. Bagaimana Bahadur yang orang Mesir, kok lebih mirip orang India di Kampung Keling.

Surya Saputra sebagai paman Aisha tampak terlalu muda. Apa tidak ada yang lebih tua? Jenggotnya yang tebal tidak mampu menutupi kemudaannya.

Apalagi Rudi Wowor yang memerankan bapak Nora. Citra sebagai pemain kebule-bulean di sinetron tidak mudah hilang. Lucu juga melihat Rudi berbahasa Arab dengan susah payah.

Rasanya memang lebih baik pemerannya orang yang tidak kita kenal sama sekali. Kalau pemerannya diambil dari artis lokal Mesir barangkali akan lebih baik.

Inilah susahnya kalau kita sudah membaca bukunya. Imajinasi kita tidak bisa menerima pemeran yang sudah kita kenal. Lho, kok gini. Lho, kok si anu yang main. Akhirnya sepanjang film sibuk melihat apakah film ini sesuai dengan bukunya.

Penggarapan musik cukup membantu pembentukan suasana. Suara sholawat yang membahana (mirip suara Cak Nun) mampu menggetarkan hati penonton.

Penggunaan bahasa yang campur aduk memang tidak bisa dihindari. Setiap karakter pernah mengucapkan minimal satu kalimat berbahasa Arab.

Memang idealnya bahasa yang digunakan sesuai dengan kenyataan. Misalnya saja, seperti film Tjut Nyak Dien yang tetap menggunakan bahasa Aceh dan The Passion of Christ yang tetap memakai bahasa Aramaik.

Kendalanya tentu saja para pemain harus lebih bekerja keras menghapalkan naskah. Dari sisi penonton, terlalu banyak adegan berbahasa asing juga menyulitkan mereka memahami dialog. Wong di novelnya saja berbahasa Indonesia.

Yang menarik, diam-diam film ini berupaya menyusupkan iklan terselubung, seperti sebuah produk teh hijau, minuman jus, mi instan. Entahlah, apakah di Mesir ada produk tersebut. Kalau laptop yang dibeli oleh Aisha pastilah ada di sana.

Beberapa kesalahan kecil masih terlihat. Misalnya, alat perekam masih terlihat di dalam frame. Mungkin kelupaan diedit.

Sepertinya Hanung memodifikasi ending lebih panjang dari yang di buku. Suasana hidup bertiga di satu rumah pasca dinikahinya Maria oleh Fahri, coba dieksploitir oleh Hanung.

Sebagai pembaca buku saja saya tidak puas, apalagi bagi Habib sebagai penulis. Tetapi bagi perkembangan film Indonesia dan dakwah Islam yang damai, toleran dan moderat, film ini perlu diapresiasi dengan tulus.

Bagi penonton yang belum membaca bukunya mungkin bisa lebih menikmati karena endingnya belum ketahuan. Saran saya, mending tonton dulu filmnya. Kalau sudah nonton, baru baca bukunya.

Bagi yang sudah membaca bukunya, jangan sekali-kali tonton film ini. Tetapi biasanya semakin dilarang semakin penasaran. Akhirnya ditonton juga deh. He he…(Hery Azwan, 29/2/2008)

10 tanggapan untuk “Film Ayat-Ayat Cinta: Laris Manis…

  1. saya belum sempat nonton filmnya, tapi dari 2 resensi yang saya baca (salah satunya ini.) kok semuanya ga rekomen untuk nonton, ya? tapi.. saya menganut kalimat terakhir.. makin dilarang, makin penasaran..
    Let’s see.. 🙂

  2. salamu’alaikum…
    setuju… setelah membaca buku kemudian menonton filmnya, KECEWA iya!! film itu seolah-olah dibuat lebih “menjual” untuk umum daripada bertujuan untuk “dakwah”…
    sedih baget… ada beberapa karakter tokoh yang dibuat beda baget dgn tokoh versi novel. (mslny: aisha –>knp jd istri yg pemarah bgitu y?? )
    ga bisa dipungkiri sih, gaya om “hanung” bda baget dgn style “kang abib”…
    over all… Sabar dan ikhlas saudaraku.. 🙂
    wassalammu alaikum

  3. Saya juga lagi post film ayat-ayat cinta pak,
    untuk masalah lokasi dan artis pameran filmnya, mungkin bapak bisa baca kisah di balik pembuatan ayat-ayat cinta di blognya hanung bramantyo (www.hanungbramantyo.multiply.com), kenapa artisnya banyak Indonesia, dan lokasinya terbatas. Soal iklan minuman teh hijau, mungkin emang ada, tapi itu bukan produk yang ada di Mesir pak, ceritanya mereka dapat kiriman dari Indonesia, gitu… ^_^

  4. Hehehe… berarti gw termasuk orang yang beruntung; belum baca bukunya, langsung nonton filmnya. Dan gw benar2 menikmati film itu, tanpa ada sedikitpun gambaran apa yang “seharusnya” terjadi… Jadi, konsep: “membaca membuka wawasan” ternyata tidak berlaku untuk film ini. Kali diganti aja: “membaca membuat nonton jadi tidak nikmat”, hehehe…. 🙂

    Anyway, bagiku, film ini layak jadi “tontonan” daripada sekedar “hiburan”… salut!

  5. kanh Hery,
    yang suara shalawatan di awal film ( dan “Allahummaghfirlana…..di hampir akhir film) itu memang suara Cak Nun, dicuplik dari album ILIR-ILIR/MENYORONG REMBULAN. Gt ya.ok

    Wah, terima kasih infonya. Saya juga udah curiga kalau itu suara Cak Nun. Suara beliau memang dahsyat. Saya jadi ingat waktu takbir akbar di zaman Pak Harto masih berkuasa. Saat itu ada Rhoma Irama yang juga ikut takbir. Ternyata suara Rhoma kalah menggelegar dibanding suara Cak Nun. Sekali lagi, dahsyat, dahsyat dan dahsyat….

  6. Assalamu’alaikum wr.wb. saya baca novel setelah lihat filmnya. Subahanallah Novel itu memang sangat bagus. Betul sekali, kalau kita baca novelnya lebih dulu pasti akan galau ketika melihat filmnya. peran sentral fahri sebagai mahasiswa kurang nampak, yang nampak hanya konflik cinta antara empat wanita itu kepada fahri. tapi walau bagaimana pun, salut untuk yang sudah berjuang sehingga film ini menjadi ada. Buat para pemainnya, semoga Allah senantiasa ada dalam jiwanya, sehingga Hidayah itu tak mereka ragukan lagi. Hasbunallah wani’mal Wakiil ni’mal Maula Wani’man Nashiir.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s