Bimbingan belajar semakin serius meningkatkan layanannya. Orangtua berlomba memasukkan anaknya ke lembaga ini. Apakah sekolah saja tidak cukup?
Kompas hari ini memberitakan ada sebuah lembaga bimbingan belajar yang memasang tarif Rp 6 juta per tahun dan ternyata laris manis. Rasanya sangat kontradiksi dengan program buku pelajaran murah pemerintah seharga Rp 7.500.
Mengapa bimbingan belajar diperlukan? Menurut sebagian orangtua, bimbingan belajar menawarkan layanan yang tidak mampu diberikan sekolah. Di bimbingan belajar, trik-trik untuk menghadapi ujian diajarkan secara sistematis. Jumlah murid per kelas juga dibatasi 20 orang sehingga interaksi mentor dengan siswa lebih intens.
Sebelum masuk bimbingan belajar setiap siswa juga wajib mengikuti psiko test sehingga kemampuannya dapat dipetakan. Bimbingan belajar juga mempunyai tim counseling yang bisa membantu kesulitan siswa. Jika demikian hebatnya peran bimbingan belajar, mengapa sekolah tidak meniru saja apa yang dilakukan bimbingan belajar?
Pergeseran Bimbingan Belajar
Kalau dulu bimbingan belajar lebih difokuskan untuk persiapan menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Tapi kini, tampaknya bimbingan belajar mulai diberikan dari kelas 1 SMA. Bahkan anak SD saja sudah ikut bimbingan belajar. Kalau menurut saya, bimbingan belajar seperti ini sudah berlebihan.
Di lain pihak, hal ini semakin menunjukkan bahwa pendidikan kita tidak mempunyai visi yang jelas. Kurikulumnya sudah berbasis standar kompetensi, tetapi soal ujiannya masih menggunakan cara-cara lama.
Alhamdulillah waktu sekolah saya tidak pernah ikut bimbingan belajar. Waktu kelas 6 SD di Medan, sebelum EBTANAS kami diwajibkan ikut les tambahan yang diadakan di lingkungan sekolah. Saya bandel tidak ikut les karena bentrok dengan jadwal mengaji di madrasah pada sore hari.
Meskipun demikian, saya tetap diharuskan membayar uang les (tega banget tuh guru). Saya tidak kuasa menolak membayar, meski dongkol. Nanti takut nggak bisa ikut ujian.
Alhamdulillah, walau tidak ikut les tambahan, nilai ijazah atau STTB saya cukup bagus dan waktu tes SMP Negeri berhasil meraih urutan pertama (ah, narsis lagi nih….). Bagi tema-teman blogger, ada pengalaman yang bisa di-sharing tentang bimbingan belajar?
Anak saya kelas 3 SD, ada tawaran les ini, les itu.
Tidak satupun yg saya suruh ikut..
krn sorenya Ngaji…
sederhana saja, Biar imbang antara waktu belajar dan main..
Buku-buku pelajarannya juga menurut saya bagus, tinggal Ortu-nya mungkin harus mendampingi.
*siap-siap lht nilai anak turun, krn 6 bln gk didampingi*
Bang …
betul sekali ni bang …
Bimbingan belajar kok malah lebih top dari sekolahnya ya …
Yang jelas Bimbel juga ada di Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah tempat anak ku sekolah … tidak diwajibkan … dan itu dilakukan setelah jam pelajaran … dan boleh milih mata ajaran yang akan di Bimbelkan …
untuk mas Joko …
Tumben “Lurus ni mas …”
Uuupooomo sliramu… nya manaaaaa …???
Sekolah untuk mendapatkan legalitas, dapat ijazah …..
BIMBEL sebagai sarana dapat mendapatkan yang terbaik untuk mencapai legalitas itu. Banyak anak guru ikut BIMBEL juga.
buat anak saya,
bimbingan belajar secara pasti meningkatkan jam belajarnya karena ybs malas sekali kalau belajar di rumah,
ditambah lagi orang tuanya juga mulai kewalahan ngajarinnya hehehe
sekedar perbandingan aja…
anak saya sekarang kelas 3 SD,
di sekolah tuh guru ngajarnya pakai LKS, dan kunci jawaban minded (yang tidak jelas benar atau salahnya)
hasilnya? sudah pasti sangat tidak puas.
ujung2nya saya harus menyediakan waktu untuk konseling hehehe
tapi saya masih merasa sanggup, ga tau kalau sudah kelas 4
saya perhatikan materinya sudah mulai berat.
bimbel? mungkin perlu kalau saya sudah nyerah…
wah sedih rasanya jika kenikmatan belajar harus berbenturan dengan metode drill saja.
Wah, belum dapat informasi ya ? Ada beberapa remaja yang drop out SMU, kemudian dengan modal Bimbel bisa kuliah di PTN, yang favorit lagi. Begitulah hebatnya dunia pendidikan di negara Anda.
assalammualaikum boleh tak bagi saya tips belajar dengan berkesan
Bimbel…wahhhh bapak musti ke jepang untuk melihat kenyataan yang ada.
Bimbel dari TK saja ada. Itu karena sang ortu mau memasukkan ke sekolah favorit. Kalau mau masuk SD-SMP-SMA-Univ favorit (favorit+negeri terkenal) biasanya ada test atau paling sedikit wawancara. Jadi di bimbel itu diajari bagaimana menjawab wawancara supaya bisa lolos. Kalau sudah bisa masuk SD terkenal, yang punya jenjang pendidikan sampai univ, berarti terjamin dia akan bisa sekolah di situ sampai universitas. Kalau gagal, bisa coba untuk masuk SMP nya, berarti harus terus ikut bimbel dari SD (kelas 4 biasanya), karena test masuknya lebih sulit lagi… Padahal SD-SMP di Jepang gratis (untuk negeri) dan terjamin. Tapi dianggap ilmu di SD-SMP Jepang tidak cukup sehingga perlu memasukkan ke sekolah favorit (swasta). Kalau tidak diterima? ya teruslah belajar di bimbel. Bahkan sampai lulus SMA kalau mau masuk univ terkenal ya belajarlah di bimbel 1-2 bahkan sampai 3 tahun sampai bisa masuk. Ada istilah khusus untuk anak-anak yang “cuti” belajar sebelum masuk univ yaitu rounin (istilah dari jaman samurai artinya prajurit kroco). Anak saya baru umur 5 tahun dan 0 tahun, saya sudah siap-siap harus memasukkan ke bimbel itu lebih karena tuntutan masyarakat padahal saya sebetulnya PERCAYA tanpa bimbel pasti bisa. Tapi, suami saya orang Jepang yang juga bimbel dari SD dan bisa masuk SMP favorit. Menurut orang Jepang Tanpa bimbel tidak akan bisa….. Betapa saya ingin mengubah pandangan ini….
Waktu saya di Jakarta, saya memang pernah ikut TEKNOS selama 6 bulan untuk masuk univ. Saya bayar untuk 6 bulan, tapi kenyataannya saya hanya belajar di sana 1 bulan, bolos terus… malas, dan saya tidak menganggap penting. Buang uang… Saya toh juga akhirnya tidak memilih masuk fakultas teknik swasta meskipun rangking, malahan milih sastra jepang!! (tapi negeri) Betapa saya dicaci oleh teman-teman sesekolah (dan ortu mrk) yang katanya memalukan jurusan IPA masuk BAHASA…. Tapi hasilnya …saya puas dan percaya jurusan yang saya pilih tidak salah…
Bimbel = TREND…. Kalau ada uang bolehlah…paling tidak bisa menghidupi pengajar-pengajar bimbel (mereka juga butuh mata pencaharian kan). Kalau tidak ada uang? apa harus ngutang???
Tapi saya tetap percaya kalau anak sudah dibiasakan berpikir kritis dari rumah (sejak balita) pasti akan bisa menikmati belajar di sekolah dan melampaui ujian masuk. kecuali anak itu emang tidak bisa (LD). Saya percaya kok para blogger indonesia yang bisa memanfaatkan kecanggihan komunikasi ini sebetulnya semua pintar-pintar, dan anak-anak mereka pasti bisa. Kalau ortu tidak YAKIN dengan kemampuan anak, siapa yang akan YAKIN dan mendukung mereka?
maaf kepanjangan komentarnya ya pak…
Jika demikian hebatnya peran bimbingan belajar, mengapa sekolah tidak meniru saja apa yang dilakukan bimbingan belajar?<<<<
benar sekali pak, seharusnya begitu….
Di Tokyo, ada sebuah sekolah yang memanggil guru-guru dari bimbel untuk mengajar seminggu sekali di sekolahnya pada jam tertentu. Misalnya trik-trik ujian dll. Dan yang menarik mata pelajaran yang diajarkan kebanyakan bahasa Inggris. Bukan rahasia lagi bahwa bahasa Inggris orang Jepang memang buruk. Ya Jelas lah…. selain struktur bahasanya lain, hurufnya pun lain. semua bahasa Inggris yang tertulis dalam huruf latin diubah ke Jepang dengan memakai huruf katakana. Jarang sekali kita bisa lihat bahasa Inggris yang begitu saja (dalam bahasa Latin) Jadi waktu menulis, jelas tidak bisa menulis latin, apalagi pengucapan dan tulisan bahasa Inggris kan berbeda (meskipun tidak sesulit bahasa Perancis) . right, light, wright semua ditulis dalam katakan yang sama. (yang dibaca RAITO) duh… Kalau tertarik masalah bahasa ini saya pernah tulis di blog saya, tentang Jap-lish.
Cheers,
Saya sempat mengajar di Bimbel kurang lebih tiga tahun waktu masih tinggal di Indonesia, di samping mengajar private. Sejujurnya, bisa dibilang kalau gak banyak Bimbel yang secara efektif improve siswa-2nya. Dua kriteria yang mungkin bisa dijadikan tolak ukur sebuah bimbel bisa dibilang efektif memberikan bimbingan:
(1) Tidak banyak murid dalam kelas-nya, 5-8 murid masih termasuk okay, lebih dari itu mmm ya jadi kayak sekolah biasa aja.
(2) Problem solving yang berbasiskan pada pertanyaan siswa, bukan pada problem set yang di siapkan pengajar. Ini menuntut pengajar bim-bel benar-benar berpengalaman dan memahami ilmu tersebut.
Eksistensi bimbel sendiri yang begitu menjamur di Indonesia mungkin bisa di asosiasikan dengan kompetisi yang sangat ketat untuk masuk ke jenjang berikut-nya, contohnya dari SMA –> Uni, apalagi di tambah dengan sistem seleksi yang semata-mata di dasarkan pada on-the-spot exam seperti UMPTN. Di beberapa negara yang kenaikan jenjang pendidikan-nya tidak semata-mata berdasarkan on-the-spot exam, bimbel tidak begitu menjamur seperti di Indonesia. Setidaknya itulah yang saya rasakan ketika tinggal di Malaysia dan kini di Australia.
Saya sempat juga mengajar part time di Coaching Centres di sini, dan memang ‘spirit’-nya berbeda dengan bimbel di Indonesia yang lebih berorientasi pada ujian. Sistem pendidikan Australia rata-rata (tiap negara bagian sedikit berbeda) hanya mengenal ujian sertifikasi pada level High School saja itu pun siswa bebas memilih mata pelajaran apa yang hendak di ujian-kan (selain 1 subject yakni English yang wajib). Demand akan bimbel lebih kepada beberapa siswa yang ingin dipertimbangkan untuk masuk sekolah-2 selektif dan mendapatkan beasiswa. Kalau hanya untuk sekedar masuk uni, mereka cukup mempersiapkan subjects yang akan mereka fokuskan dalam pemilihan jurusan-nya. Kalau mereka merasa kurang di beberapa subjects yang dirasa penting dalam proses penerimaan oleh uni, barulah mereka akan ikut coaching.
Disisi lain, sekolah sendiri disini sudah memainkan peranan yang cukup besar dalam pendidikan pelajar, sehingga secara general pelajar sebenarnya tidak perlu benget ke coaching center kecuali mereka ingin masuk ke sekolah lanjutan yang bergengsi (selective school) atau mereka memang agak kurang/lambat dalam proses belajar-nya sehingga perlu di bantu.
Kalau sampai ada bimbel untuk TK sih, waduuh disini bisa jadi ‘bahan celaan’ he..he.. Sempat ada artikel di koran lokal disini yang membahas habis-habisan tentang sikap beberapa orangtua yg terlalu ambisius mengikutkan anak-anak nya pelajaran/kursus tambahan tanpa memperdulikan ‘hak’ anak untuk cukup beristirahat setelah sekolah.
Anak-anak TK dan SD disini lebih banyak kepada having fun dalam belajar. Subjects-nya pun masih lebih banyak berkisar pada life skills. Secara akademik mungkin tertinggal di banding pendidikan Indonesia tapi kelihatan sekali perbedaan tingkah laku anak-anak disini. Mereka jauh lebih komunikatif, kreatif dan original. Perbandingan simple-nya: Anak-2 disini mencintai sekolah, mereka senang kalau liburan .. tapi lebih senang lagi ketika masa liburan habis dan masa sekolah tiba .. (beda dengan di Indonesia) Saya bisa merasakan karena kedua anak saya bersekolah juga di sini.
🙂
ka, saya bingung nih, saya kelas 3 smp skarang. saya termasuk anak pinter (hehehe, emang iya sih). tapi saya bingung bgt, saya ikut ato engga bimbel. kk2 saya sih ga setuju soalnya yaaa kan sama aja, takutnya saya juga ga bisa fokus ke sekolah, kecapean lah, dsb. saya sih pengen juga bimbel, tapi masih 50:50 juga. temen2 saya yang pinter pada ikut bimbel, saya takut aja nilai saya kebalap. kata guru2 saya, lebih baik belajar sendiri, karna tinggal diasah. naah, saya kebetulan dapet diskon masuk teknos bbc yang limitnya bentar lagi, diskonnya 50% tapi saya belom tau harga aslinya (katanya sekitar 2jtan), menurut kk saya harus gimana? ikut ato engga? trus kasih saran2 dong, kan kk un nya tertinggi pas smp. makasih ya ka..
Dear Izma,
Saya tidak akan memutuskan apa yang benar menurut saya.
Saya mendorong Izma untuk memutuskan sendiri.
Timbanglah kedua pilihan ini beserta plus minusnya.
Jika anda yakin tanpa bimbel bisa masuk SMA yang anda inginkan, why not?
Waktu yang ada kan bisa dipakai untuk kursus lain yang menunjang kelak seperti kursus bahasa Inggris, atau bahasa asing lain.
Demikian pandangan dari saya…
Saya sendiri pernah ikutan bimbel buat memperluas pergaulan saja. Untuk prestasi sekolah, pede aja lagi pake usaha sendiri.
saya lagi mikir2…apa masukin anak saya yang kelas 6 sd ke bimbel atau cukup di sekolah aja. Dia kepengen masuk ke smp favorit yang sekarang persaingannya tambah berat setiap tahun. prestasinya disekolah lumayan masuk 4 besar..tapi dia kurang suka sama matimatika ..pelajaran favoritnya IPS..cuma sayang IPS tidak masuk UASBN..DIa sendiri kurang tertarik bimbel tapi dia juga malas2an kalau mau diajarin sama ortunya..
Menarik sekali dengan perkataan mas Ressa, pengajaran di negara maju membuat anak lebih komunikatif, kreatif dan original. Memang itulah kemampuan/kompetensi abad 21 dan seterusnya yang akan membuat masyarakat/negara maju. Memang seharusnya orang tua/guru menciptakan kompetensi tersebut, sehingga masalah bangsa yang banyak ini cepat selesai dan tuntas. Kemiskinan, banjir, longsor, kekeringanan, korupsi, pungli, kekerasan, kemacetan, dll, diakibatkan pendidikan/pengajaran yang tidak mengajarkan kreativitas atau problem solving. Maka dari itu kami membuat percobaan sains sederhana yang bisa dilakukan di rumah untuk melatih anak mengamati, berpikir, berani dan kreatif. salam dari profesorcilik.wordpress.com