Kelakuan sopir angkot yang suka ugal-ugalan, ngetem sembarangan, menyusun penumpang seperti kembung rebus, bukan berita lagi. Kalau sopir angkot suka berbagi rezeki, itu baru berita.
Yang membuat saya terpana kemarin, menjelang jalur penyempitan di Tipar Cakung yang macetnya ‘naudzubillah min dzalik’, seoang sopir angkot memasukkan uang seribuan ke kopiah seorang pengemis yang duduk di trotoar sebelah kanan pada jalur lambat. Sebelumnya, mobil sedan di depan angkot tadi juga memberi uang kepada sang pengemis. Tangan saya, secara refleks mengambil juga uang seribuan dari laci dashboard.
Perbuatan seperti ini sebenarnya bukan habit saya, tetapi karena tergerak oleh perbuatan sang sopir angkot. Sopir angkot yang penghasilannya pas-pasan bisa berbagi, kok saya tidak?
Selama ini, saya selalu selektif dalam memberikan sedekah. Kalau si pengemis masih terlihat sehat, saya tidak akan sudi memberi sedekah kepadanya. Apalagi kalau pengemisnya kelihatan cacat yang dibuat-buat.
Begitu juga, dengan anak kecil yang biasanya dikoordinir oleh “mafia” pengemis, saya jarang sekali memberi uang kepada mereka. Terhadap pengamen bencong yang bernyanyi asal-asalan dan cenderung memaksa, saya juga tidak takut lagi. Cukup mengangkat tangan, mereka akan beralih ke mobil lain.
Melihat kelakuan sopir angkot yang bersedekah tadi, sebenarnya tidak terlalu mengherankan. Akhir-akhir ini saya dan istri suka memperhatikan kelakuan sopir angkot saat melewati perempatan atau pertigaan yang dijaga pengatur lalu lintas “swasta”. Di saat mobil pribadi sering ogah memberi sekadar uang recehan, sopir angkot selalu dengan senang hati menyisihkan uang recehnya.
Entah karena mereka takut angkot mereka diganggu, atau memang hal ini keluar dari ketulusan hati. Sebagai sesama orang kecil, mungkin sopir angkot dapat berempati bagaimana rasanya tidak punya uang. Dari penglihatan saya, tampak tidak ada paksaan saat mereka memberi uang, bahkan tersenyum.
Meskipun penghasilannya pas-pasan, tetapi peredaran uang receh di tangan sopir angkot cukup lumayan. Melihat uang receh yang banyak ini, secara tidak sadar sopir angkot berubah menjadi pemurah. Ini barangkali yang bisa menjadi penjelasan rasional.
Selain itu, karir sebagian sopir angkot ada yang dimulai dari seorang ‘timer’ atau pengatur lalu lintas swasta. Ketika mereka punya uang lebih, mereka membuat SIM. Ada juga, yang menjadi sopir tembak meskipun belum punya SIM. Barangkali itu yang membuat empati mereka kepada orang kecil tetap kuat.
Di waktu mendatang, saya masih belum yakin, apakah akan mengikuti teladan sopir angkot di atas atau tidak. Semuanya tergantung dari uang receh yang ada di dashboard mobil saya. Jika ada, bolehlah disedekahkan. Kalau tidak, ya tidak mungkin dipaksakan.
Kalau uang besar? Lebih baik disedekahkan ke lembaga yang lebih tertata rapi pengelolaannya seperti Rumah Zakat atau Dompet Dhuafa, karena efeknya akan lebih besar. Bagaimana menurut Anda?
Menurut saya …
Saya cenderung berperilaku seperti abang …
Yaitu melihat-lihat secara “meticulously observant” dulu si pengemis …
jika tersentuh baru saya beri …
(ini berlaku juga untuk polisi cepek atau pun pengatur lalu lintas liar)
Sebetulnya tidak boleh begitu ya …
(emang sih kita harus ikhlas … namun sebagai manusia biasa … jujur saja kadang kita masih mikir-mikir untuk memberi …)
Dan mengenai Dompet Dhuafa … ini bener banget … manajemen zakat mereka patut diacungi jempol .. kita jadi tenang …
Tiap bulan mereka bahkan ngasih laporan bulanan lho bang …
Kita juga diberi nomer pokok .. ah paten suraten bener manajemennya …
Awalnya saya memberi tergantung pada kondisi uang di saku (hahaha…) jika berlebih maka memberi. Setelah saya melakukan percobaan dengan hadir sangat pagi dan mengikuti pengamen serta pengemis dimalam hari di kota Bandung (8 tahun lalu). Sikap saya berubah!. Pengemis lebih banyak dikoordinir dan yang lebih parahnya, anak2 disuruh u mengemis sedangkan orangtua mereka asyik ber “gosip” ria di suatu tempat. Sedangkan pengamen yang pernah saya ikuti (mungkin beberapa oknum saja), uang yang mereka dapatkan lebih sering digunakan u membeli rokok atau bahkan malamnya dipakai u membeli “minuman”. Kebaikan seseorang terkadang malah menjadi keburukan untuk orang lain. Jika seseorang dirasa mampu untuk melakukan pekerjaan sedangkan kita malah mempermudah mereka untuk tetap meminta-minta, saya fikir ini tidaklah bijak. PRINSIP SAYA BERUBAH, yang receh saya masukkan ke kencleng masjid dan yang besar ke dompet dhuafa..karena saya yakin mereka punya program yg lebih terencana.
Saya teringat dulu waktu masih kuliah di rawamangun. Sampai di Taman Sastra, belum ada siapa-siapa, pagi sekitar jam 7 pagi. Dan sambil duduk belajar/baca-baca, selalu melihat anak-anak penjual koran.
Mbak… korannya?
Lalu saya beli, kalau tidak salah wkt itu masih 500 rupiah, dan saya kasih seribu dan bilang ambil saja sisanya. Lalu bertanya kelas berapa? sekolah ngga? Terjadi percakapan. Sejak itu saya selalu membeli koran pagi pada anak-anak penjual koran di situ. Anaknya tidak tetap, berubah-ubah…dan sambil berdoa semoga koran mereka cepat laris terjual, dan mereka tetap bersekolah.
Saya lebih senang membeli pada anak-anak penjual asongan daripada memberi uang pada anak-anak pengemis. Tetapi karena saya sering terbawa emosi, saya memalingkan muka kalau lihat di kejauhan ada pengemis. Kalau tidak, saya bisa ganti kedudukan menjadi pengemis kalau saya berikan semua uang saya hehehe.
Kalau keadaan mas Hery yang tergerak karena perbuatan supir angkot, apa salahnya…. selama kita memberi tanpa “berpikir” berikan saja. Karena persoalan pengemis menipu itu biarlah tanggung jawab dia pada Yang Diatas sana. Tapi selayaknya pengemis tidak boleh dibiarkan tetap menjadi pengemis…..