Sarapan pagi bagi kebanyakan orang menjadi “ritual” yang wajib dikerjakan setiap hari. Tanpa sarapan, badan serasa lemas sehingga dapat mengganggu aktivitas hari itu. Waktu saya SD, saya sering melihat teman yang pingsan di lapangan saat upacara bendera. Setelah diselidik oleh guru, katanya sih teman tadi belum sarapan.
Bagi sebagian orang Indonesia, sarapan harus selalu dengan nasi. Meskipun mereka sudah makan kue sepiring atau roti tawar dua lapis, kalau belum makan nasi ya belum sarapan namanya.
Beruntung saya dari kecil dibiasakan sarapan dengan berbagai menu. Terkadang nasi goreng. Besoknya singkong goreng. Lusa, ketan yang ditaburi kelapa di atasnya, lalu dimakan dengan pisang goreng. Selanjutnya, bisa roti tawar campur selai atau srikaya. Bisa juga kue-kue, lontong, bihun, dll. Pokoknya apa saja yang bisa dimakan. Bahkan, kadang2 cuma minum teh manis doang tanpa penganan.
Sarapan bagi saya tidak terlalu penting, sampai saat ini. Apapun dapat saya lahap. Perut saya tampaknya dapat menahan lapar, meskipun tidak sarapan.
Yang menjadi masalah bagi saya adalah (mau tau saudara-saudara) masalah pelepasan hajat. Kebiasaan orang selalu buang hajat langsung setelah bangun tidur. Bagi saya, jika belum didorong oleh makanan dan belum digoncang oleh kendaraan, sulit melaksanakan hajat ini. Akhirnya, saya malah lebih sering melakukannya di kantor. Halah…
Masalah hajat satu ini, memang problem besar bagi saya. Sering dia datang tiba-tiba. Di rumah saya belum merasa apa-apa, tetapi setelah di perjalanan, tiba-tiba kok mau keluar. Jika sudah sampai di ujung, saya sulit menahannya. Tidak sedikit pom bensin dan mall yang telah menjadi “korban” atau penyelamat saya.
Kejadian pertama dalam catatan sejarah perhajatan ini terjadi waktu saya duduk di kelas 4 SD di Medan. Saat itu, sekitar pukul 11 pagi, hari Sabtu. Pelajaran hampir usai. Perut saya terus melilit.
Di kompleks sekolah tidak ada toilet yang layak. Jika sekedar buang sih bisa, tapi tidak ada buat istinja (bersih2). Akhirnya saya putuskan untuk pulang diam-diam. Kebetulan saat itu lagi tidak ada guru. Katanya sedang rapat sih. Jarak sekolah dan rumah nenek saya sekitar 1 km.
Saya berjalan cepat. Ketika dorongan semakin kuat, saya coba berlari. Menjelang 200 meter tiba di rumah, saya tidak sanggup lagi menahan si hajat tadi. Keluarlah dia dengan sombongnya. Huarakkakakh….
Perasaan saya lega campur malu. Baju saya keluarkan untuk menutupi celana saya. Saya berjalan dengan melipir-lipir menghindari tatapan orang lewat. Ingin rasanya segera sampai di rumah.
Kejadian kedua terjadi di bus ALS (Antar Lintas Sumatera) rute Jakarta-Medan saat saya masih mahasiswa. Saat itu tiket pesawat masih mahal banget.
Sekitar pukul 07.15 bus melewati daerah Muara Enim, provinsi Sumatera Selatan. Bus belum juga berhenti. Padahal, biasanya, bus jarak jauh selalu berhenti di pagi hari untuk memberi kesempatan kepada penumpangnya untuk sarapan, mandi atau melaksanakan hajat lainnya. Tapi kali ini belum juga.
Perutku naga-naganya tidak bisa diajak kompromi lagi. Pergolakannya sudah semakin liar bin anarkis. Untung nggak sampai bakar-bakar ban bekas (halah, macam demo BBM saja). Aku berdiri dan maju menuju sopir.
“Pak sopir busnya tolong berhenti. Aku mau buang air”
“Nanti ya, di sini daerah rawan. Di sini masih hutan. Tidak aman.” Daerah sini memang cukup terkenal dengan bajing loncatnya. Sopir bus atau truk perlu ekstra hati-hati jika melewati daerah ini.
Aku masih mencoba menahan. Tapi makin lama rasa itu semakin menekanku.
“Pak Sopir berhenti sekaranglah” desakku.
Sopir rupanya memahami keadaanku. Kalau aku tidak bisa menahan diri, bisa gawat nih bus. Repot nanti kita membersihkannya, demikian kira-kira dalam benak si sopir. Akhirnya bus berhenti di sebuah tempat pencucian mobil yang sangat sederhana. Kucari-cari letak toilet, ternyata tidak ada.
Untunglah, di sini ada sungai besar, mungkin Sungai Muara Enim, aku tak pasti. Airnya sangat coklat, menandakan banyak kandungan lumpur di dalamnya. Aku cari tempat sepi yang agak menjauh dari tatapan penumpang bus. Kebetulan ada rimbunan pohon bambu di pinggi sungai.
Aku bergegas ke sana dan segera melaksanakan hajatku. Plonggggggggggg rasanya. Setelah bebersih dengan air sungai yang coklat tadi aku kembali ke bus dengan wajah sumringah. Penumpang bus lainnya terbengong, sebagian tidak peduli dengan apa yang terjadi. Terima kasih, Pak Sopir.
hihiii lucu ngebayangin muka orang kalo nahan hajat ya…tapi itu benar-benar manusiawi sekali. Tidak bisa ditolak.
Kalo perempuan biasanya lebih sengsara kalau tidak bisa buang air kecil. Jarak waktu antara buang air kecil biasanya lebih singkat daripada laki-laki. Lagipula laki-laki lebih mudah untuk buang air kecil. (Ada supir saya berhenti di bahu jalan tol pura-pura buka kap mesin, periksa-periksa padahal mau pi**s).
Nah Saya itu beser sekali. Kejadian terburuk, waktu akan ke Narita naik mobil, jalan macet, parking area masih jauh, padahal tidak bisa nahan. Untung ada bayi…berarti ada popok kan….dan untung pake rok, dan untung mobil sendiri (meskipun kacanya ngga rayban…..jadi…..hihihihi legaaaaaaa…. Dan untung lagi ada kantong plastik banyak …Orang Indonesia memang Untung terus….
Manusiawiiii sekali kan
Bah … jijay kaleee Abangku ini …
Huahahaha ….
Kalo aku si Bang … hajat belakang … masih bisalah aku manage …
Kalo hajat depan itu yang susah bang …
Akibatnya ya seperti ceritaku di postingan KOPER itu …
(masih ingat gak Bang …)
Aarrggghh …
Aku kalah cepat sama Emiko kali ini ..
hahahahaha 😆 konon orang yang paling bahagia di dunia adalah mendapatkan tempat buang hajat ketika sedang kebelet, heheheh 🙂 ttg sarapan pagi, kayaknya kita memiliki budaya yang keliru.sering menganggap sepele. padahal, kita banyak mengeluarkan energi utk bekerja. ini bisa jadi yang membikin etos kerja orang indonesia jauh menurun lantaran jarang sarapan pagi. namun ketika tiba makan siang, jatah makannya luar biasa banyaknya. akibatnya, perut kekenyangan, mengantuk, dan ogah menyentuh pekerjaan.
Kebahagian terkadang bukan diukur dari materi..tapi “berbahagialah orang yang ingin membuang hajat, mendapatkan tempat untuk melakukannya” hahaha…….