Perjalananku ke Padang kali ini bukanlah perjalanan sebagai relawan gempa, namun perjalanan bisnis. Maksudnya, ya urusan kantor gicuuu.
Aku berangkat hari Kamis 15 Oktober. Dari bandara Soekarno Hatta sudah terlihat kepadatan di terminal 1B. Untuk masuk ke ruang penumpang saja dibutuhkan waktu sekitar 15 menit. Antrian semakin mengular, sementara penumpang lain duduk di kursi, bahkan ada yang duduk di lantai. Sudah tak ada lagi beda antara bandara dengan terminal bus antar kota sepertinya.
Aku teringat kalau di Padang agak sulit mencari makanan. Kalaupun ada mereka sudah bosan. Maka, sebelum masuk ruang penumpang, kusempatkan membeli roti Papa Bunz. Tak banyak memang, karena karyawan kami di Padang juga sedikit. Jarang2 orang pusat beli oleh2 untuk orang cabang. Yang sering orang cabang yang membawa buah tangan buat orang pusat. Tapi ini kan situasi di luar normal, jadi nggak masalah menyalahi kebiasaan.
Tiket pesawat Batavia yang dipesan oleh staf kantor relatif murah. Tak sampai 600 ribu. Jadi, eforia maskapai untuk menaikkan harga tiket pasca gempa di Padng tampaknya sudah tidak ada lagi. Syukurlah. Pesawat berangkat pukul 10.50. On time sekali….
Setelah terbang sekitar satu setengah jam, pesawat tiba di Minangkabau Airport pukul 12.20. Karena tidak membawa bagasi, aku bisa langsung melenggang. Sebagaimana biasa, sebelum keluar bandara, kebiasaanku adalah buang hajat kecil. Alhamdulillah, air PAM sudah menyala sehingga toilet bandara tidak bau pesing. Pada hari pasca gempa, menurut M Rafiq, penyiar i-Radio yang pergi ke sana, dari toilet keluar aroma petai yang memabukkan.
Di bandara sejauh pengamatanku tidak ada bangunan yang retak. Penjual oleh2 juga berjualan seperti biasa seolah tidak ada apa-apa. Di luar bandara aku sudah dijemput oleh kepala cabang kami yang ada di Padang. Sekeluar dari bandara, belum ada tanda-tanda kerusakan akibat gempa. Bahkan, jembatan layang yang baru dibangun tidak goyah sedikit pun.
Agak jauh kami berjalan, baru terlihat beberapa bangunan yang runtuh. Sebuah terminal kecil hancur berkeping-keping. Sebuah kantor pabrik rokok juga terlihat sedikit berantakan meski tidak ambruk.
Kami menuju pool Bus ALS untuk mengambil kiriman barang dari area Medan. Pool ini rupanya juga selamat dari gempa. Hanya sedikit retak-retak di tembok depannya. Dari sini kami menuju kantor Departemen Agama Sumbar menemui seseorang. Di sini rupanya lumayan parah. Terlihat beberapa tukang mulai membersihkan puing. Di halaman kantor terlihat tenda. Aku pikir tenda pengungsi. Ternyata tenda untuk menerima lamaran calon PNS di lingkungan Depag Sumbar.
Kami masuk ke dalam ruangan, tapi orang yang dituju sudah tidak ada. Terlihat seorang ibu sedang makan nasi bungkus dengan anaknya yang masih SD. Rupanya sang anak baru pulang sekolah. Kurang jelas juga, apakah dia makan di kantor karena rumahnya ikut menjadi korban. Dari sini kami berkeliling kota melihat suasana. Gedung-gedung utama rata-rata goyah terkena gempa. Kalau tidak doyong ke samping kiri atau kanan, minimal retak-retak.
Restoran Sederhana tampak mulai berbenah memperbaiki kerusakan yang relatif parah. Yang unik, rupanya tidak semua gedung terkena. Ada juga yang masih selamat atau tidak tersentuh. Takjub juga melihatnya….
Sebagian orang, baik yang ada di Padang maupun yang di rantau, mengatakan bahwa gempa ini pilih-pilih. Entah apa kriterianya, hanya Allah yang Mahamengetahui. Yang jelas, kalau konstruksinya baik, tentu lebih aman. Hukum alam yang bersifat obyektif berlaku di sini.
Tetapi ada juga yang menghubungkannya dengan amalan penghuni rumah. Kurasa pendapat seperti ini kurang dapat dipertanggungjawabkan. Toh, mesjid juga ada yang rubuh juga. Mengenai hal ini, ada yang berpendapat bahwa mesjid tersebut rubuh juga karena dipakai sebagai tempat pacaran muda-muda. Entahlah mana yang benar….Wallahu a’lam.
Hari semakin siang, perutku mulai keroncongan. Kami menuju pantai mencari sebuah restoran ikan bakar yang dulu pernah aku datangi saat acara peletakan batu pertama Gontor Sumbar di Sulit Air tempo hari. Menjelang restoran ada relawan dari Australia yang berkeliaran di sepanjang pantai. Rupanya mereka sedang menjaga alat penyuling air laut.
Beberapa anggota masyarakat terlihat antri mengambil air laut yang sudah disuling menjadi air layak minum. Mereka membawa jirigen dan ember yang bisa mencukupi kebutuhan harian mereka. Maklumlah, pasca gempa belum semua aliran PAM berjalan. Ada yang jalan kaki, ada yang mengendarai motor, dan banyak juga yang membawa mobil. Restoran yang kami tuju letaknya persis di dekat pantai. Hanya dibatasi oleh jalan beraspal yang muat untuk 2 mobil berselisih.
Di seberang restoran ada pasar ikan nelayan yang rupanya juga sudah beroperasi. Ajaib juga restoran ini bisa selamat. Padahal letaknya persis di mulut pantai. Sebagaimana diketahui, semakin dekat ke pantai, semakin kuat getaran gempa. Mungkin restoran ini selamat karena bahan bangunannya terbuat dari kayu.
Di restoran tidak begitu banyak pengunjung yang makan. Mungkin karena jam makan siang sudah lewat. Di sudut meja ada serombongan bapak-bapak yang tampak seperti pejabat setempat yang baru selesai makan. Di sebelahnya ada relawan berkopiah putih dan berjenggot. Tampaknya mereka dari majlis taklim atau yayasan keagamaan di luar Padang karena bahasanya bukan layaknya warga setempat.
Ikan bakar di sini memang khas banget. Dibakar dengan bumbu kuning bersantan, kenikmatan ikan kerapu berukuran sekitar setengah kilogram, dapat dirasakan sampai ke tulang-tulangnya. Seekor ikan ini dapat kami habiskan berdua. Jangan tanya tulang kepala yang sebagiannya masih dipenuhi daging, bahkan di tulang belakang pun kami masih berupaya untuk menyeruputnya.
Selesai makan, kami langsung ke kantor. Tak lama aku mengadakan rapat dengan para salesman. Dari laporan mereka, memang tidak semua sekolah terkena dampak gempa. Masih lebih banyak sekolah yang masih utuh. Bisa dibilang 70:30. 70 bagus, 30 kena.
Sekitar pukul 17 aku salat Ashar di sebuah mesjid dekat kantor, sekaligus jamak ta’khir dengan lohor. Di mesjid ini sudah antri warga sekitar untuk menampung air yang mengocor pelan. Mesjid ini juga sedikit retak, terutama di pilarnya dan tembok dekat mihrab.
Setelah magrib kami berkeliling kota mencari hotel untuk tempat menginap. Hotel yang pertama kami datangi adalah Sriwijaya, kemudian Bunda, Jakarta, Hang Tuah, Wisma Polri, Wisma TNI dan semuanya penuh. Relawan dari luar Padang telah memenuhi hampir semua hotel di Padang. Hotel kecil yang dulu tidak dianggap sekarang menjadi hotel favorit. Akibatnya, harga pun menjulang.
Karena bosan mencari hotel tidak ada kamar kosong, kami istirahat sebentar di pantai padang di warung jus Tiga Dara. Aku memesan jus mangga campur jus terong belanda. Budi memesan jus duren. Setelah selesai kami membayar sebesar Rp 19.000. Kata Budi, biasanya harga jus cuma Rp 5.000 per cup. Ya, wajar saja kalau mereka menaikkan harga mengikuti hukum supply demand. Apalagi kami berbicara bukan dalam bahasa setempat.
Setelah pesimis tidak memperoleh hotel akhirnya kami menemukan hotel di pinggiran kota. Posisinya di ruko atau pertokoan. Dua blok dari situ ada cabang restoran Lamun Ombak yang rubuh.
Fasilitas hotel sangat minim. Kata Budi, kepala cabang kami yang di Padang, harga normal 160.000, tapi kini sudah menjadi Rp 250.000. Di hotel kulihat ada beberapa orang asing. Di kamar hanya ada tv 14 inch yang tidak bisa disetel. Untung masih ada AC di kamar.
Tidak ada WC duduk di dalam kamar mandi, melainkan WC jongkok yang terlihat kurang terawat. Beberapa dinding hotel juga retak-retak. Setelah menaruh barang kami mencari makan malam. Alhamdulillah kehidupan malam di Padang sudah aktif kembali. Warung penjual makanan dapat ditemukan di mana-mana. Jenis warung nasi goreng patai kami lihat cukup banyak dipadati pengunjung. Maka kamipun mendatangi salah satu warung yaitu Nasi Goreng Patai Bofet Mi-Mien. Barangkali kata buffet diserap ke dalam bahasa lokal menjadi bofet.
Nasi goreng patai ini sama saja dengan nasi goreng padang yang bisa kita temui di restoran padang di rantau (Jakarta, Bandung atau Medan atau kota lainnya). Hanya saja di dalamnya di tambah beberapa mata petai. Harganya tidak mahal. Hanya 11.000. Tampaknya tidak ada mark-up harga karena kulihat daftar menunya sudah agak kucel.
Usai makan, kami pulang ke hotel setelah sebelumnya mampir ke tempat kos Budi untuk mengambil pakaian bekal. Setelah membersihkan diri di hotel waktu menunjukkan pukul 22.30. Kebetulan di depan ada warung Kopi Aceh. Sambil menghirup kopi Aceh kami ngobrol sampai malam. Di depan warung kopi ada setumpuk puing-puing sisa gempa. Pemiliknya lalu menyewa mobil bak terbuka untuk membuangnya ke pantai padang. Menurutnya, kalau menunggu pemerintah, nggak tahu sampai kapan puing tersebut akan dibuang. Sebuah inisiatif yang patut dipuji.
Pengunjung warung kopi Aceh tidaklah ramai, mungkin karena agak di pinggir kota. Selain menjual kopi, dia juga menjual martabak dan mie aceh. Unik juga melihat di Padang ada makanan daerah lain. Menurut Budi, makanan non Padang seperti pecel lele relatif ramai. Rupanya orang Padang bosan juga disuguhi makanan mereka. Pasti ada keinginan mencoba makanan daerah lain. Menjelang pukul 24 kami pulang dan mengobrol di kamar hotel sampai hampir pukul 02 pagi.
Sehubungan kami menginap di lantai 2, trauma gempa agak sedikit menghantui. Apalagi, barusan sore ada berita gempa di Papua. Wah, ngerih-ngerih sedap juga tidur kami. Alhamdulillah, kami bisa bersua dengan subuh dalam keadaan selamat. Sebuah kesyukuran yang kurang dirasakan jika aku berada di tempat dan keadaan normal.
Sekitar pukul 08.00 kami check out dari hotel dan melakukan ritual sarapan di Warung Babe. Pemiliknya orang Bekasi kelahiran Payakumbuh. Di sini berkumpul para pendatang sehingga mereka bisa sharing informasi. Ada yang bekerja di perusahaan distributor, perusahaan otomotif, dsb.
Pertemanan antar pekerja pendatang ini relatif cukup dekat. Apalagi, pemilik warung juga sangat ramah sehingga sering duduk mengobrol dengan pengunjung. Jarang aku menemukan warung seperti ini di Jakarta. Yang dijual sih biasa saja. Ada bubur ayam, bubur kacang ijo campur ketan itam, ketupat sayur dan nasi rames. Kalau siang, menunya beda lagi.
Sehabis sarapan kami bergegas ke kantor lagi dan rapat dengan salesman asal Bukittinggi dan Solok. Untuk wilayah ini tidak ada sekolah yang terkena, tapi untuk yang di Pariaman, beberapa sekolah sudah tidak berbentuk lagi.
Menjelang siang, kami menuju bandara. Rencananya aku mau check in duluan, baru sholat Jumat. Ternyata counter check in belum buka. Lalu aku putuskan untuk sholat Jumat dulu di mesjid dekat bandara. Mesjid ini juga sedikit retak. Khotib yang sudah sepuh menghimbau jamaah dengan suara yang hampir tidak terdengar karena begitu pelannya. Tidak ada isi khutbah yang khusus menyentuh masalah gempa. Temanya biasa saja.
Setelah jumatan aku kembali ke bandara untuk check in. Setelah itu, kami bergegas menuju restoran Lamun Ombak (yang ini pusatnya) di jalan menuju Padang Panjang. Di halaman restoran telah penuh dengan mobil. Ada plat BA, dan ada juga plat B. Beberapa tentara Singapura dan India juga kelihatan ada di sana. Menu di restoran ini hampir samalah dengan semua restoran Padang di seluruh Indonesia.
Bahkan, pekerja pria di restoran ini banyak yang berasal dari Sunda, terutama untuk pekerjaan membuat jus dan memasak cap cay. Kata seorang pelayan yang menghitung makanan kami, orang Padang nggak bisa membuat cap cay.
Kami tak sempat mengobrol lama bagaimana orang Sunda bisa terdampar di Padang. Aku jadi semakin yakin dengan hipotesa bahwa sebuah kota yang terbuka dengan pendatang merupakan salah satu kunci kemajuan. Padang sekalipun yang warganya gemar merantau, ternyata harus welcome kepada pendatang. Kalau tidak, kampung halaman mereka tak akan pernah maju. Benar nggak hipotesa ini masih perlu dibuktikan.
Bencana ini telah membuka jalan bagi masuknya segala jenis suku dan bangsa. Sebagaimana Aceh yang mulai damai dan berkembang pasca tsunami 2004, saya juga yakin Padang akan cepat pulih setelah G30S 2009. Apalagi, tidak banyak tempat pengungsian di Padang karena warga masih tinggal di rumah sanak saudaranya. Ini pasti akan mempercepat pemulihan. Bagaimana menurut sampeyan?
Aku mendarat di Cengkareng pukul 16.30. Sesaat kemudian, terjadi gempa di Jakarta. Saat itu aku sedang berada di atas taksi yang berada di jalan tol bandara menuju tol dalam kota Jakarta, mungkin sekitar Pluit. Gempa itu tidak aku rasakan. Dapat dibayangkan bagaimana jika gempa di Jakarta sedahsyat di Padang, sementara aku berada di atas jalan layang. Naudzubillah min dzalik….
Well… akhirnya dirimu juga bisa menyaksikan kedahsyatan gempa itu ya Bro… semoga menjadi ibrah yang luar biasa…
btw, bagaimana dengan pengalaman minum jus di LO? menyebalkan atau menyenangkan? hehehe… 😀
wahh…. kok ndak bilang2 sih bang, sama blogger2 padang? kan saya bisa jemput….
terus saya minta maaf bang, mewakili orang padang kalau pelayanannya kurang berkenan, maklum, situasi masih belum begitu stabil, barang-barang masih mahal dan kualitasnya tidak terjamin….
salam kenal bang.
Wah pengalaman yang menarik, bisa menyaksikan puing2 akibat gempa, setidanya bisa jadi lebih bersyukur bahwa kita masih diberi kesempatan untuk berbenah diri…
aku juga senang baca sharing tulisannya bang…
karena bisa melihat secara obyektif perkembangan Padang pasca gempa
tidak melulu yang sedih-sedih dan negatif saja.
ya aku yakin warga Padang bisa bangkit dan pulih segera….
EM
saya terus berdoa, semoga padang segera pulih dan saudara2 kita yang tertimpa musibah bisa segara membangun sebuah optimisme, mas azwan. semoga sukses perjalanan bisnisnya, mas.
Saya juga pernah ke Aceh, tapi jauh setelah gempa dan tsunami terjadi. Meski begitu masih ada beberapa gedung yg runtuh dan teronggok begitu saja, belum ada usaha untuk membongkar puing dan membangun kembali. Sungguh menggetarkan hati menyaksikan kedahsyatan kekuatan alam ya Bang …
Semoga keadaan di Padang bisa cepat pulih seperti sedia kala ya.
ya memang setelah gempa kita harus bangkit kembali menata hidup baru ^^ pengalaman Anda menakjubkan…
Paskah gempa di Padang yang terjadi 30 september 2009 memang kamar hotel yang dapat dipakai berkurang sangat banyak. Tapi sekarang ini sudah terdapat beberapa hotel yang baru paska gempa terjadi, diantaranya adalah SAVALI Hotel.
Boutique Hotel bernuansa minimalis terletak di tengah kota padang, jalan hayam wuruk no. 31 Padang merupakan salah satu pilihan yang boleh disarankan bagi yang hotel yang bersih, nyaman, rumahan, tenang, santai, aman. Sudah di lengkapi dengan fasilitas Free WIFI, Kolam Renang, Restoran, Bar (tepatnya WINE BAR) mempunyai kamar yang begitu assyik, perlengkapan hotel berbintang, seperti : air panas, LCD TV, safety box, tea/coffee set, meja rias, hair dryer, lemari (gantungan baju tentunya), jasa cuci baju, dan yang tak kalah pentingnya adalah spring bed “KING COIL”, dan sudah menggunakan RFID CARD.
Hanya dengan jumlah kamar yang tidak banyak, disarankan kepada yang ingin menginap di hotel ini dapat melakukan reservasi terlebih dahulu..
Dari pihak hotel menyediakan beberapa cara komunikasi untuk melakukan reservasi:
Jl. Hayam Wuruk No. 31
PH : +62 – 751 – 27660
Fax : +62 – 751 – 23262
Facebook: THE SAVALI HOTEL
web site : http://www.savalihotel.com
Posisi GPS : S 00 57.491 E 100 21.300
Dengan slogannya “THE SECOND HOME FOR EVERY ONE” Hotel ini boleh di ajungkan jempol, untuk tempat, kwalitas layanan, dan pihak hotelpun menyediakan layanan antar jemput ke bandara. Menjadi hotel ini sangat di REKOMENDASIKAN untuk di pertimbangkan.
Semoga informasi ini dapat sedikit membantu bagi PARIWISATA KOTA PADANG dan membantu informasi bagi yang mencari penginapan / hotel di kota Padang, Sumatera Barat , Indonesia.
Brp hari di Padang Bos