My Roommate

Aku masuk ke pondok Madani setelah tamat MTs Al Washliyah (setingkat SMP), jadi tidak selugu teman-teman yang tamat SD . Pada tahun pertama kami ditempatkan di asrama khusus untuk anak baru, namanya GBS dan GBK. GBS singkatan dari Gedung Baru Sighor. Sighor artinya anak kecil, jamak dari soghir. Ingatkan doa untuk ibu bapak kan yang bunyinya: warham huma kama rabbayani soghiro?

Sementara GBK singkatan dari Gedung Baru Kibar. Kibar ini jamak dari kabir, yang artinya besar. Perbedaan di GBS dan GBK hanya di masalah boleh merokok dan piket malam. Yang lainnya relatif sama.

Pada awal masuk pondok, aku juga agak terkejut melihat merokok diperbolehkan untuk anak besar. Mungkin dulu latar belakangnya pada saat masa awal pondok berdiri, santri yang datang banyak yang sudah berumur, sehingga jika aturan dilarang merokok diterapkan secara pukul rata, mereka akan kabur dari pondok.

Tapi syukurlah kini menurut teman yang sering berkunjung ke pondok, merokok tidak diperbolehkan lagi. Hanya santri yang dibekali surat izin dari orangtua yang boleh merokok. Tapi, orangtua mana yang membolehkan anaknya merokok? Rasanya sih tak mungkin ada. Kalaupun ada berarti orangtuanya sudah sangat putus asa. Daripada anaknya nggak mau masuk pondok, terpaksalah diberi izin merokok. Wah, kacau nih….

Piket atau kami biasa menyebutnya bulis malam, hanya diwajibkan kepada anak kibar. Setiap periode tertentu, biasanya sebulan sekali, mereka akan mendapat giliran jaga malam. Sebagai hadiah tidak tidur semalaman, bulis malam memperoleh izin tidak masuk kelas pada pelajaran pertama dan kedua. Pukul 09.00 atau di pelajaran ketiga bulis malam wajib kembali mengikuti kelas.

Kamar pertamaku adalah GBS kamar 1 (total ada 5 kamar di GBS). Isinya kalau tidak salah sekitar 25-30 orang per kamar. Aku agak lupa mengenai jumlah tepatnya. Yang penting, penghuninya terdiri dari berbagai macam watak manusia.

Kamar ini berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus ruang sholat. Sholat subuh dan Ashar tidak dilakukan di mesjid, tetapi di kamar agar santri dapat melatih diri menjadi imam sholat secara bergantian.

Di setiap kamar ada jadwal piket yang dibuat oleh kepala kamar. Kepala kamar ini sebenarnya berasal dari santri juga. Tapi khusus untuk anak baru, kepala kamar diambil dari anak lama agar tidak belajar dari nol banget.

Kepala kamar kami saat itu adalah Ali Basuki Rakhmat yang kini bermukim di Pondok Gede. Tak kusangka, setelah belasan tahun akhirnya bertemu juga dengan orang luarbiasa ini. Kepintarannya saat ini mungkin mirip Lintang di LP.

Di sini tampaknya ada semacam percepatan dalam menanamkan nilai-nilai pondok. Di setiap kamar juga biasanya ada dua orang pengurus asrama (mereka setingkat kelas 2 SMA), yakni satu orang kakak keamanan dan seorang kakak penggerak bahasa.

Piket bertugas membersihkan kamar: menyapu, mengepel lantai, dan menata jemuran handuk dengan rapi. Sampai sekarang aku masih ingat cara menjemur handuk yang baik dan efisien, yakni handuk dilipat dua, kemudian disangkutkan dalam posisi seperti sepertiga sama sisi. Memang terlihat indah, tetapi kurang jelas apakah handuk tadi sudah kering ketika besok pagi digunakan untuk mandi. Bagi kami santri laki-laki, perhatian terhadap masalah pakaian tampaknya tidak terlalu kuat.

Tidak lupa juga, sebelum waktu tidur tiba, piket menggelar kasur dari tempat penumpukan ke seluruh penjuru kamar. Posisi tidur kami biasanya di depan lemari masing-masing. Dengan kasur yang tebalnya sekitar setengah kasur kapas zaman dulu, dan lebar pas di badan, tanpa sprei pula, kami tidak pernah merasakan sulit tidur. Yang ada malah kekurangan tidur.

Selama setahun di GBS aku tidak tidur di kasur. Sebagai gantinya aku tidur di atas tikar plastik yang berlapis dua. Entah apa yang membuatku sok asketis seperti seperti itu. Mungkin dulu aku berkeyakinan, semakin sengsara dalam menuntut ilmu, semakin berkah hasilnya. Entahlah, aku sudah lupa apa motivasi terdalamku saat itu. Mungkin sejenis dengan menunda kenikmatan seperti yang tertera dalam konsep EQ (Emotional Quotient). Kalau tak salah ingat, aku melakukan ritual tidur di atas tikar ini selama 3 tahun aku di pondok.

TapiΒ  ada kalanya aku merasakan juga tidur di atas kasur, yakni saat aku jadi bulis malam. Pagi harinya, saat semua santri sudah pergi ke kelas, bulis malam bebas mau tidur di atas berapapun tumpukan kasur. Di sinilah terasa nikmatnya. Kenikmatannya barangkali setara dengan tidur di atas springbed tipe King. Kenikmatan itu jika dilakukan berulang-ulang pasti berkurang kadarnya. Dalam ekonomi ini disebut Law of Diminishing Return.

Hal yang paling menyenangkan bagi kami adalah jika salah satu teman ada yang kedatangan tamu (dalam istilah kami mudif) atau mendapat kiriman paket dari rumah. Peraturan tidak tertulisnya adalah paket makanan tersebut harus dibagikan ke seluruh penghuni kamar. Sepanjang yang aku ingat, rasanya tidak ada penghuni kamar yang memperoleh paket makanan kemudian tidak membagikannya kepada teman sekamar. Biasanya, selepas Ashar dan membaca Alquran, saat lonceng berbunyi, dibagilah thoam (makanan) tersebut kepada semua penghuni. Tidak ada yang tidak kebagian.

Selama tiga tahun di pondok baru sekali aku menerima paket rendang ketika orangtuaku datang. Itupun setelah aku menginjak tahun ketiga. Tentu saja teman sekamar di tahun pertama dan kedua tidak dapat menikmatinya. Itulah agaknya hukum hidup. Kita tidak selalu menerima ganjaran secara langsung dari hasil pemberian kita.

Saat kita bersedekah, misalnya, tentu saja kita tidak berharap jika memperoleh balasan dari orang yang kita beri sedekah. Di sini mungkin letak salah satu pelajaran keikhlasan. Jadi, jangan pernah sewot jika kita telah merasa memberi sesuatu kepada seseorang, tapi orang tersebut tidak pernah membalas. Yakinlah, pasti ada orang lain yang akan membalas pemberian itu kepada kita. Entah lewat jalan mana dan dalam forum apa….

Ada lagi satu peraturan yang menarik yaitu, bahwa setiap lemari harus dikunci. Setiap menjelang magrib, keamanan akan mengecek setiap lemari. Bagi yang lemarinya tidak terkunci akan dipanggil ke mahkamah dan dihukum. Mengapa sekejam itu? Lemari yang terbuka akan membuka kesempatan bagi orang lain untuk berbuat jahat. Tidak semua santri dari kalangan mampu. Ada kalanya, wesel telat tiba, sementara kebutuhan untuk membeli buku atau keperluan sehari-hari tidak bisa ditunda. Jika ada lemari yang terbuka dan kebetulan di sana ada terlihat uang, maka terbuka kesempatan untuk berbuat jahat. Tidak main-main, hukuman bagi pencuri adalah dipulangkan.

Karena itu, pondok membuat sistem sedemikian rupa untuk menghindari fitnah. Lemari yang tidak terkunci akan menimbulkan fitnah, karena itu pemiliknya harus diberi hukuman. Jadi jangan heran kalau di departemen tertentu yang berlabel mulia, tetapi korupsinya paling pol. Kalau sudah urusan uang, semua orang bisa gelap mata, tidak ingat lagi ajaran-ajaran mulia. Karena itu, setiap peluang untuk berbuat jahat harus ditutup. Salah satu caranya kalau di pondok ya dengan memastikan semua pintu lemari terkunci.

Udah dulu ya….

Mau meeting lagi nih…

13 tanggapan untuk “My Roommate

  1. 1. Yakinlah, pasti ada orang lain yang akan membalas pemberian itu kepada kita. Entah lewat jalan mana dan dalam forum apa

    Setuju banget bang! Ini selalu ditanamkan oleh ibu saya.

    2. Soal mengunci pintu lemari, saya rasa selayaknya diterapkan dalam segala hal ya… Jangan memberi kesempatan setan untuk menggoda.Dalam Injil pun Yesus pernah digoda setan waktu berpuasa 40 hari. Nah, kalau kita yang manusia digoda? Kemungkinannya besar kan?

    3. Tidur di atas tikar plastik? Wahhhh bang, aku pasti tidak bisa tuh. Tapi aku jadi ingat om-ku yang di pertapaan Rawaseneng. Di sana juga tidur tidak pakai kasur.

    Senang sekali membaca tulisan bang Hery lagi. Ditunggu loh…

    EM

    Pertapaan Rawaseneng? Kayaknya menarik tuh Ime-chan untuk ditulis…

    1. Salah satu om saya ada yang menjadi rahib di pertapaan Rawaseneng. Dari keluarga besarnya hanya kami yang beragama katolik (yang lain kristen protestan) sehingga waktu dia mengucapkan kaul sesudah masa percobaan, kami diundang datang ke Temanggung.

      Hidup yang keras, diisi dengan berdoa dan bekerja. Waktu itu itu kami diajak melihat sapi peliharaan mereka. Waaah aku belum pernah melihat sapi sebesar itu!
      Mereka hidup berdikari. Yang ditanam, diternak itu yang dimakan. Mungkin kalau abang mau tahu lebih bisa baca websitenya di http://sites.google.com/site/rawaseneng/home

      Yang saya sedihkan, saya tidak tahu kapan om saya itu meninggal di dalam pertapaan itu. Entah karena keluarga dekatnya tidak merasa perlu memberitahukan kami, atau saya saja yang tidak tahu karena sudah di Jepang. Tapi saya benar sedih kehilangan om saya yang begitu bersahaja itu, tanpa sempat mengenalnya lebih dalam.

      EM

      Wah, menarik juga cerita ttg omnya. Segera meluncur…

  2. huahahaha… akhirnya ente muncul lagi Bro! sekalinya muncul malah cerita soal masa lalu nan aduhai itu πŸ˜‰ sssttt… ente gak muncul-muncul bukan karena lagi meriang akibat tidur di atas tikar plastik kan? hahaha…:D

    aku mau komen soal hubungan senior-yunior. jujur aku katakan bahwa di PM nyaris tidak terjadi bullying. kalaupun ada yang terkesan keras, itu semata karena menegakkan disiplin. hal itu bisa terjadi menurutku adalah karena adanya penghargaan senior-yunior secara sistematis. siswa baru tidak dilepas begitu saja, perlu bimbingan senior yang diamanahi untuk itu.

    dengan perlakuan semacam itu, dan dengan suntikan motivasi soal amanah dari pak kyai, maka terjadilah harmonisasi hubungan senior-yunior. ini poin penting yang perlu digarisbawahi. yakni, pemberian amanah disertai motivasi dan pengawasan dari pendidik akan menghasilkan kesuksesan yang maksimal.

    nice story Bro, aku juga berkeinginan menuliskannya. suatu saat insya Allah.

    oya, aku juga pernah menjalani ritual tidur beralaskan karpet dan berbantalkan sajadah atau handuk yang dilipat selama 3 tahun, hahaha… πŸ˜€

    Tulisan ini terinspirasi dari tulisan Cekgu Al….Aku jadi gatal mau menuliskannya>>>
    Ditunggu ceritanya bro….

  3. Ternyata benar, kalo di asrama putra itu pada tidur gak pake seprei…haha! Apa gak gatel-getel ituuu.. Kalo di putri, seprei main rapih-rapihan ain wangi-wangian. Sampei gak ada kerutan sedikitpun, kenceng udah kayak meja (oh, ya ditempatku pake tempat tidur besi tingkat ituloh!)trus pake selimut juga dong.

    Dan samaaa, kalo mudifah, thoamnya musti dibagi-bagi Kalo gak, siap-siap aja pas dia lagi gak ada, lemarinya dijebol dan semua makanan ilang dibagai-bagi seluruh penghuni kamar Busyet, dah! Di pesantren saya belajar ngebuka kunci dan gembok pake peniti dan linggis!!

    Trus, kayaknya kalo cewe tingkat kepemilikan barangnya lebih tinggi. Jangankan lemari, kamar aja kita kunci. Padahal kan gak boleh soalnya bag keamanan kalo mau gebrak (ngng, istilah lainnya apa ya gebrak itu?) jadi gak bisa masuk Makalah sang kakak gedor-gedor sampai ada yang niat bawa-bawa kayu buat gedor karena tangannya keburu sakit gak ada yang bukain, huehehe.. Lucunya, saya dan kawan-kawan dulu sering banget ngumpetin sendalnya kakak keamanan yang gebrak Gak diapa-apain itu sendal, kita bawa ke depan kamar bag, keamanan aja Tapi kan kakaknya kebingungan tuh, hihi..

    Ya gatal2 mah pasti. Karena itu, kami tidak ada yang lolos dari kutukan “jarban” yang biadab itu…Ha ha ha…

  4. Wah.. seru banget yaa.. Senang bisa dapat gambaran suasana mondok.. Ayahku sering cerita jaman dia mondok dulu. Mirip2.. πŸ™‚

    Menarik juga tahu kalau ayah Mas Nug ternyata pernah mondok. Anak2nya dapat berkahnya kali ye…

  5. Jangan lupa peraturan tidur lengkap. Celana panjang, jaket dan sabuk. Serta tanpa selimut, kecuali bagi yang sakit. Kalau ditengok lagi, ternyata peraturan yang paling rumit ya soal masalah tidur itu.

    Masalah tidur ini harus dibahas dalam Gontor Undercover kali ye…He he…

  6. serasa membaca penggalan kisah di N5M deh, bang.
    kehidupan di dalam pondok ternyata penuh romantika, yang justru sebagian besar sangat menyenangkan.

    kalau di N5M, abang sebagai siapa dari keenam bersahabat itu? ayo, ngakuuu…

    aku bukan salah satu dari 6 sahabat itu karena aku setahun di atas mereka. btw, memang ada sih satu cerita yang aku sharing ke fuadi dan dia masukkan ke N5M, yaitu pada adegan Alif dapat kesempatan menjadi wakil santri yang berpidato dalam bahasa Inggris menyambut duta besar Inggris. Nah, itu aku yang jadi speaker karena fuadi sendiri tidak mendapatkan kesempatan itu. Hanya saja, bukan dubes Inggris, tapi dubes Mesir. Yah, novel sih boleh2 aja beda khan?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s