Kategori: Urban Life

Berhenti Sebelum Kenyang

Jika Anda ingin melihat kematangan seseorang (kamuflase dari TUA), perhatikanlah saat orang tersebut makan di restoran all you can eat atau sarapan pagi di restoran hotel. Jika orang tersebut masih mengambil makanan sebanyak mungkin, bahkan menyisakan banyak makanan di mejanya, dapat dipastikan dia masih muda. Sebaliknya, jika dia mengambil makanan secukupnya, apalagi sedikit, dapat dipastikan dia sudah tua. Tapi, kalau ada orang yang tampaknya tua tetap mengambil makanan sebanyak mungkin, disebut apa ya?

Pengalaman menikmati All You Can Eat pertama kali seingat saya di restoran Hartz Chicken sekitar tahun 1996 di Lippo Karawaci. Saat itu harganya Rp11.000, bandingkan dengan harga sebungkus nasi padang (nasi ayam) yang harganya sekitar Rp1.000. Saya lupa, kita ditraktir oleh teman yang ulang tahun atau bayar sendiri-sendiri.

Saya bersama teman sekelas di sebuah sekolah bisnis baru pulang dari survei ke Walmart yang saat itu ada di Lippo Karawaci. Pada Mei 1998 Lippo Karawaci termasuk Walmart ikut menjadi korban kerusuhan sehingga Walmart memutuskan tidak meneruskan bisnisnya di Indonesia.

Saat makan di Hartz Chicken kami yang masih imut, polos, berusia di atas 24 tahunan berupaya memaksimalkan kapasitas perut kami. Segala jenis olahan ayam: ayam goreng, ayam bakar, bahkan dulu ada kalkun, kami cicipi semua. Kalau biasanya kami hanya makan sepotong ayam, di sini ada teman yang habis 5 bahkan 7 potong ayam. Belum lagi ditambah kentang goreng, nasi, salad dan pelbagai minuman. Pokoknya setelah kenyang, kami berupaya mengosongkan perut lagi dengan jurus injak-injak bumi agar ada ruang buat makan baru. Halah….

Pengalaman berikutnya yang masih saya ingat saat makan malam di sebuah hotel di Surabaya (kalau nggak salah The Westin) ditraktir bos saya bersama teman kerja di PT Grafindo sekitar tahun 2000. Dengan konsep all you can eat di restoran hotel tersebut saya menikmati betul menu udang dan menyantap beberapa ekor. Akibatnya perut benar-benar penuh, seakan mau meletus seperti anak Krakatau.

Pagi ini saya sarapan pagi di sebuah hotel di Bandung, milik seorang petinggi partai dan pemilik stasiun TV. Menunya sangat beragam dan mengundang selera, tapi saya hanya mengambil 3 potong kecil dim sum, 3 potong jajanan pasar, ditutup buah potong. Selesai. Usia tidak bisa dibohongi.

Hadis Nabi menganjurkan agar kita makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang. Kalau kita makan di resto all you can eat, rasanya kok sayang jika kita tidak memaksimalkan kapasitas perut kita. Padahal perut kita punya hak: sepertiga buat makan, sepertiga buat minuman, sepertiga buat udara.

Di tengah zaman yang kini lebih banyak orang meninggal karena kelebihan makanan, bukan karena kelaparan, penerapan hadis di atas sangat relevan.

Apalagi, sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadan. Yuk kita kendalikan nafsu makan kita, tidak hanya di siang hari, tapi juga malam hari. Jadikan korma dan buah-buahan lokal sebagai menu pembuka. Jangan jadikan gorengan plus cengek, serta kolak sebagai menu wajib.

Menu sahur juga harus diperbanyak dengan sayuran dan buah, jangan memperbanyak karbohidrat. Semoga setelah Ramadan kita menjadi manusia baru yang terlatih menahan hawa nafsu dan bertambah ketakwaan. Menjadi manusia yang lebih sabar dan tidak tergesa-gesa bereaksi. Juga tidak ada salahnya, kalau bisa dapat bonus menjadi manusia baru yang berat badannya berkurang 4-5 kg. Setuju ya?

Sedapnya Kuliner Cirebon

Sedapnya Kuliner CirebonSejak ada tol Cipali (Cikopo-Palimanan), jalan2 menikmati kuliner Cirebon merupakan salah satu pilihan. Dari Jakarta, kita bisa menempuh jarak 200 km dalam waktu 2,5 s.d 3 jam kalau tidak ada kemacetan atau kecelakaan di jalan. Kalau dari Bandung, jarak tempuh ke Cirebob relatif sama. Dari beberapa kali menempuh perjalanan Bandung-Cirebon dengan menyetir sendiri, rata2 keluar di gerbang tol Plumbon dalam wakt tempuh 2,5 jam. Dari sini, waktu tempuh ke kota Cirebon tergantung apakah kita nyasar ke Batik Trusmi atau nyasar ke Empal Gentong H Apud yang rasanya bikin lidah jaipongan.  Lanjutkan membaca “Sedapnya Kuliner Cirebon”

Mandi di Kali

duh aduh Siti Aisyah

mandi di kali bajunya basah

tidak sembahyang tidak puasa

di dalam kubur mendapat siksa

(sebuah lagu kasidahan, judulnya lupa)

Bagi anak-anak yang tinggal di Jakarta saat ini (tahun 2009), mandi di kali barangkali tidak pernah terpikirkan dalam benak mereka. Ya iyalah. Udah airnya kotor, banyak sampah, terkena polusi pula.

Meskipun demikian, jika kita sedikit rajin mengintip di sepanjang aliran kali Ciliwung, maupun di bawah simpang susun selepas tol bandara, kita dapat menemui masyarakat yang masih memanfaatkan kali untuk mandi, mencuci, bahkan sikat gigi. Kemiskinan membuat mereka terpaksa melakukannya dan lama-lama jadi terbiasa meskipun sebenarnya mereka tidak suka. Lanjutkan membaca “Mandi di Kali”

Kecanduan Facebook

Akhir-akhir ini, pesona facebook memang semakin meninabobokkan saya sehingga mata saya betah manteng di depan komputer berlama-lama hanya untuk menambah teman atau meng-approve teman baru. Akibatnya, mainan lama saya, blog, sering terabaikan. Bahkan di saat bekerjapun, saya sering curi-curi membuka facebook dan melihat “Ada notification baru nggak ya? Ada status baru nggak ya? Ada notes baru nggak ya?” Cari teman-teman lama ah…

Demikianlah, facebook sebagai social utility telah mencuri hari-hari saya. Hingga, saat tiba di rumah pun, sambil nonton tv atau berbaring di tempat tidur, saya sempatkan membuka sedikit facebook via handphone jadul saya yang untungnya sudah dilengkapi dengan GPRS. Jadi, alih-alih membaca buku, sebelum tidur saya malah berasyik-masyuk dengan facebook.  Kebayangkan , saya  aja yang pake HP jadul seperti itu, gimana pula bagi mereka yang pake blackberry. Wah,  nggak bisa tidur tuh…. Lanjutkan membaca “Kecanduan Facebook”