Kisah ini merupakan catatan saat aku menjadi panitia pertemuan penerbit buku seluruh Asia-Pasific (dalam bahasa Inggris disingkat APPA: Asia Pacific Publishers Association) di Bali pada bulan Mei 2006. Mudah-mudahan cukup menarik dan dapat memberi inspirasi.
Tim sekretariat APPA yang bermarkas di Seoul, Korea Selatan, datang pada H-3 untuk mempersiapkan acara. Tim Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) sebagai tuan rumah terdiri dari Bu Wanti, Pak Robin dan Telly juga datang pada hari yang sama dengan tim Sekretariat APPA yang kebetulan semuanya berkebangsaan Korea.
Sekretariat APPA terdiri dari tiga orang: satu orang Secretary General, Mr Jung, dan dua orang staf perempuan Hyun Jee dan Park. Mr Jung tidak bisa berbahasa Inggris, sehingga agak jarang bergaul dengan tim Ikapi. Jee dan Park lulusan luar negeri sehingga bahasa Inggris mereka cukup lancar. Jee lulusan Inggris, sementara Park lulusan Australia. Keduanya pemegang gelar master.
Melihat cara kerja tim Ikapi, Sekretariat APPA cukup terkesan karena semuanya sudah dipersiapkan Ikapi. Mereka tidak menyangka orang Indonesia mampu mengerjakan tugas di atas ekspektasi mereka. Benak mereka mungkin masih dihinggapi persepsi bahwa orang Indonesia itu lamban dan bodoh. Praktis mereka melakukan rapat koordinasi dengan Ikapi di hari pertama cuma dua jam, selebihnya Ikapi yang bekerja. Setelah itu mereka bisa jalan-jalan di pertokoan dan restoran yang tersebar di sekitar Hotel Discovery, Kuta Bali. O ya, mereka sangat senang dengan lingkungan hotel yang terletak tepat di mulut pantai Kuta. Pandangan luas ke samudera yang bisa dinikmati dari kamar, ditambah taman yang asri menambah mereka betah selama tinggal di Bali.
Orang Korea Gaptek
Ternyata orang Indonesia tidak kalah dari orang Korea dalam hal penggunaan teknologi terkini. Mereka sangat kagum dengan laptop Vaio yang digunakan tim Ikapi. Mereka juga heran dengan hand phone orang Indonesia yang berukuran gede. Hampir semua pakai Nokia Communicatior. Sementara mereka cuma pake hand phone di bawah sejuta merek Nokia.
Katanya, kalau di Korea sms kurang ngetren. Orang lebih senang menelpon langsung. Yang pasti, karena digunakan hanya untuk telpon, otomatis hp yang diperlukan tidak perlu canggih-canggih amat seperti Communicator. Padahal kalau orang Indonesia rasanya badan pegal-pegal kalau tidak sms 13 kali sehari.
Pergi Lebih Dini
Aku sebenarnya dijadwalkan datang sehari sebelum acara karena tugasku sudah selesai dengan selesainya booklet resmi APPA Meeting. Akan tetapi karena ternyata masih banyak yang harus dikerjakan di Bali, aku harus datang lebih awal pada tanggal 17 Mei 2006. Aku tiba di bandara Cengkareng pukul 11.45 dan menanyakan tiket ke Denpasar yang paling dini. Ternyata Garuda baru ada pada pukul 16.45. Sebenarnya ada penerbangan pukul 15.00 tetapi batal terbang.
Akhirnya aku berusaha mencari alternatif penerbangan lain. Malangnya, di terminal 2 tidak ada maskapai lain yang ke Denpasar. Diam-diam aku dikuntit oleh calo. Dia menawarkan tiket pukul 12.30 dengan Sriwijaya Air. Harga tiket yang ditawarkan sebenarnya lebih mahal dari Garuda. Tiket Garuda cuma 585.000, sementara tiket Sriwijaya Rp 600.000.
Karena mengejar waktu dan aku juga sulit pindah sendirian ke terminal 1 karena berat dengan bawaan berupa booklet dan koper akhirnya aku putuskan untuk menerima tawaran calo tersebut. Untungya angkot tersebut memakai penyejuk ruangan sehingga nggak gerah. Sesampainya di terminal 1 kedua calo tersebut berusaha mengontak temannya orang dalam Sriwijaya. Tak lama kemudian tiket diberikan kepadaku. Aku lalu check in. Setelah itu, aku keluar sebentar menemui calo tadi dan membayar sejumlah Rp 630.000 termasuk airport tax yang sudah dibelikan oleh mereka.
Taksi Bali
Di Bali semuanya mahal. Perjalanan dari bandara ke hotel Discovery (di kawasan Kuta), yang berjarak sekitar 3 kilometer dan memakan waktu kurang dari 10 menit tarifnya Rp 40.000. Memang ini tarif resmi dan dikelola oleh bandara. Taksi argo tidak boleh beroperasi ke bandara. Jadi yang kita tumpangi adalah taksi bandara yang butut. AC-nya nggak dingin.
Bule aja ada yang mencoba berdebat dengan petugas tiket taksi saat diberitahu bahwa tarifnya Rp 100.000. “So expensive“, katanya. Tapi apa boleh buat. Jika tidak ada sanak saudara yang menjemput bersiaplah memendam gondok dalam hati.
Kabaret show
Setiap delegasi dan tim Ikapi yang menginap di Hotel Discovery mendapat satu tiket untuk menontong Kabaret Show di Musro yang terletak di samping hotel. Pertunjukan kabaret tertulis di tiket akan dimulai pukul 10 malam. Tetapi setelah pukul 10.15 acara belum dimulai juga. Salah seorang istri delegasi India berkacak pinggang dan berdiri ke arah belakang.
Mungkin dalam hatinya begumam,”Kok udah jam segini belum main sih? Gue udah jauh-jauh datang dari India masa disuruh nunggu? Sini, gue aja yang jadi penari. Aca-aca…”.Akhirnya pertunjukan dimulai pada pukul 10.30.
Kabaret ini jangan dikira seperti kabaretnya Padhyangan atau Project Pop. Kabaret di sini mencoba mempertontonkan tarian dari seluruh dunia mulai dari tari Bali, tari balet, tari Thailand, tari koboi, tari perut sampai tarian erotis. Tarian disajikan oleh penari pria dan wanita yang kurus-kurus dan lemas badannya. Tentu saja kalau pertunjukan seperti ini diketahui oleh FPI pasti telah dirazia. Pada salah satu tari, para penari cewek hanya menggunakan bikini, meskipun masih tetap menggunakan stocking di bagian kaki sampai paha. Jadi tidak asli, bow…
Salah seorang tim Ikapi berujar,”Wah, nggak seru. Masa pake stocking!”
Begitulah Bali. Segala pertunjukan yang tidak mungkin ada di daerah lain ada di Bali. Tetapi setelah bom Bali semuanya sepi meski kini mulai bangkit lagi. Pantas saja orang Bali menolak RUU APP. Kalau RUU APP jadi disahkan bisa tamat riwayat bisnis mereka
Jadi MC
Tak kukira, aku langsung ditunjuk jadi MC pada Welcome Dinner di Bowl Restaurant. Padahal janjinya hanya di acara Publishing Forum pada esok hari. Dengan gaya santai aku membawakan acara dengan bahasa Inggris semampuku. Alhamdulillah Pak Robin yang menjadi produser acara cukup puas. Hanya saja menurutnya aku terlalu santai dan sering menggunakan kata “OK” sehingga kesannya kurang formal. Tetapi tak apalah. Bagi pemula apalagi untuk level Asia Pacific dan dalam bahasa Inggris pula tidak gampang untuk menjadi MC.
Pada APPA Book Award Dinner aku didandani dengan pakaian Bali, sehingga hadirin pada pangling. Tetapi sebagian mereka mengatakan kalau aku terlihat pas banget dengan pakaian Bali tersebut. Mereka mengira sehari hari aku sering mengenakan kostum tradisional Bali seperti yang kupakai malam itu. Padahal pakaian itu dipinjami dari Bu Karti yang menyewakan jasa penari. Pada akhir acara para delegasi dipersilakan untuk berfoto bersama penari Bali.
Sulitnya Cari Makanan halal
Bagi kita yang muslim, mencari makanan halal di Bali agak sulit. Memang ada warung Padang, tetapi penyebarannya kurang rapat. Salah satu alternatif yang paling gampang ditemui adalah food court yang ada di mall. Sementara, jika kita menginap di hotel dan mendapat fasilitas breakfast kita harus waspada karena salah satu menunya pasti ada B2 nya. Untunglah di Discovery Hotel ada penanda berupa patung B2 di samping makanan sehingga kita tidak perlu mengira-ngira lagi.
Untuk makanan seafood seperti di Jimbaran rasanya tidak ada masalah karena tidak ada menu B2 dalam daftar. Tetapi jika kita ingin mencoba masakan khas Bali seperti di warung Made, Wardhani dan warung khas Bali lainnya maka kita harus berhati-hati. Untuk amannya pesan aja gado-gado. Usahakan jangan pesan nasi campur. Asalnya nasi campur itu mengandung B2. Kalau sekarang sih bervariasi. Untuk amannya pesan aja lagi gado-gado ya booo….
Nagih Accompanying Guest dan Extend Stay
Panitia hanya menanggung akomodasi 2 orang dari setiap delegasi selama 3 hari. Jika ada kelebihan orang atau kelebihan hari maka harus ditanggung sendiri. Panitia telah menghitung kelebihan biaya tersebut. Aku dan Telly memperoleh “kehormatan” untuk menjelaskan hal ini kepada delegasi saat mereka check in. Tentu saja tidak gampang menjelaskan ini saat mereka masih kelelahan setelah terbang jauh dari negara mereka.
Delegasi yang paling banyak membawa istri adalah India. Dari 4 peserta pria ada 3 yang membawa istri. Ada juga delegasi yang hanya diwakili satu orang seperti Pakistan. Ada juga yang didampingi travel assistant seperti pada delegasi Filipina.
Lumayan juga peran tagihan ini bagi panitia. Bisa nambah-nambah uang dapur. Sekretariat APPA hanya membantu sekitar US$ 8.000. Itupun baru dibayar setelah acara usai. Dari tagihan extra ini diperoleh sekitar US$ 5.000 yang dibayar sebelum registrasi Annual General Meeting keesokan harinya.
Pada umumnya mereka tidak keberatan dengan tagihan panitia, apalagi melihat hotelnya yang bagus dan menu makanannya yang berkelas. “Gak rugi deh gua bayar”, gitu kali ye kata mereka. Di samping itu panitia cukup beruntung karena sponsor dari penerbit yang tergabung dalam Ikapi telah bersusah payah menyisihkan uang mereka untuk kesuksesan acara ini.
Bule Check In Dengan Berbikini
Ada kejadian menarik saat aku menanti kedatangan delegasi. Di depan front office ada dua orang turis. Yang satu berkulit putih yang satu seperti orang India. Yang berkulit putih memakai topi lebar seperti sombrero dan memakai bikini yang dililit dengan kain tipis di atasnya. Kain tersebut tak mampu menutupi isi di dalamnya karena begitu tipisnya. Entah mengapa turis tersebut berlama-lama di situ. Tidak hanya berbicara dengan staf hotel, turis tadi juga menari di depannya dan sesekali tertawa riang.
Para security yang berpakaian batik pura-pura sibuk, mondar-mandir di dekat turis tadi sambil ngobrol dengan temannya menggunjingkan turis tadi. Aku hanya bisa mengamati dari kejauhan. Mau mendekat malu, tapi mau….Ehm.. Dag dig dug dag dig dug……Jantungku mau copot rasanya.
Interpreter China
Dalam Annual General Meeting delegasi Korea dan China tidak bisa berbahasa Inggris sehingga harus menggunakan interpreter. Interpreter Korea dibawa dari Korea sementara interpreter China harus disediakan oleh panitia Ikapi karena delegasi China tidak mempersiapkannya. Memang ada seorang interpreter yang dibawa dari China tetapi dia tidak duduk di booth interpreter.
Interpreter Korea sangat cepat dan jelas menerjemahkan setiap ucapan delegasi Korea ke bahasa Inggris, sementara interpreter China kewalahan. Di akhir acara delegasi China komplain dengan kurangnya kualitas interpreter. Panitia minta maaf karena memang tidak mudah mencari interpreter dari Indonesia yang bisa menguasai bahasa Inggris dan China sekaligus.
Tour Sehari Penuh
Tujuan tur adalah: tempat belanja souvenir, Bedugul, Alas Kedaton dan Tanah Lot. Di Bedugul kami hanya foto-foto di depan pura di pinggir danau. Setelah itu makan siang di restoran Pacung yang letaknya di tepi jurang sehingga dari restoran kita bisa melihat pemandangan sawah di bawahnya. Setelah makan siang kami ke Alas Kedaton tempat “saudara tua” kita tinggal.
Aku sih tidak masuk ke dalam karena takut digandoli sama monyet-monyet nakal. Di Tanah Lot kami tidak sempat melihat sunset karena harus mengejar waktu dinner di Sanur. Kalau melihat sunset dulu nanti delegasi pada kelaparan.
Semua Delegasi Puas
Semua delegasi mengungkapkan kepuasannya atas segala layanan yang diberikan hotel dan acara yang well-organized. Bahkan delegasi Filipina berterus terang kalau dia kagum dengan cara kerja orang Indonesia mempersiapkan acara ini. “Kalau di Filipina pekerja suka mengatakan yes di depan bos tetapi di belakang tidak dikerjakan”, begitu kata Mr Buhain, ketua delegasi Filipina.
Saat memberikan kesan-kesannya pada Farewell Dinner, Ms Jee mengatakan kepadaku kalau dia tidak mengeluarkan semua keterkesanannya terhadap kinerja panitia Indonesia karena takut memberikan tekanan berlebihan kepada Vietnam yang akan menjadi tuan rumah pada tahun depan.
Memang ada juga delegasi yang selalu membuat ulah, yaitu delegasi India. Masalah makanan menjadi hal yang cukup pelik karena orang India tidak makan daging sapi. Yang lucunya lagi, saat tur delegasi India minta bis berhenti karena ada yang mau pipis. Malu dong…Aca aca. Biarlah bus berhenti daripada mereka pipis di celana. Akan lebih malu lagi…(Hery Azwan, Jakarta, 05/2006)