The Journey #4: Around Paris

Dari Amsterdam, pagi-pagi sekali kami harus ke bandara Schippol untuk melanjutkan perjalanan ke Paris. Kami tidak langsung ke Paris, melainkan transit dulu di Frankfurt.

Frankfurt terletak di tengah-tengah antara Amsterdam dan Paris. Amsterdam terletak di arah timur laut Frankfurt, sementara Paris terletak di sebelah barat daya Frankfurt.

Sebagaimana perjalanan pendek lainnya, kami tidak mendapatkan makanan berat. Lagi-lagi cuma cheese. Pesawat yang membawa kami cukup besar, tetapi penumpangnya sepi. Tak tahu, apakah mereka bisa untung dari penumpang yang tak sampai sepertiga kapasitas maksimal.

Di pesawat, kami dilayani pramugari berkulit gelap yang cukup wangi, tidak seperti seorang penumpang “bule” di samping Pak Dadang yang BB-nya membuat beliau pusing tujuh keliling

Charles de Gaulle Aeroport

Kami tiba di bandara Charles de Gaulle, Paris, kira-kira pukul 13.00 siang. Pemeriksaan agak ketat di sini, tidak seperti di Schippol yang lebih longgar. Bandara ini mengandung kesan sendiri bagi kami karena di samping bentuknya yang kurang bersahabat, di sini kami juga dikejutkan oleh seorang polisi yang menangkap penjahat berwajah Arab.

Mereka berkejar-kejaran seperti di sebuah film. Sementara, penumpang lain hanya cuek seolah-olah tak ada kejadian apapun. Kelak beberapa tahun kemudian kerusuhan rasial yang melibatkan minoritas Arab meluluhlantakkan sebagian kota Paris.

Bandara Charles de Gaulle mempunyai sistem yang menyerupai planet yang dikelilingi oleh satelit. Planet adalah terminal utama, sedangkan satelit adalah gate atau pintu masuk. Antara satelit ke planet tidak ada eskalator tetapi hanya tangga biasa sehingga sangat memberatkan bagi orang yang banyak membawa bagasi. Kalau anda pernah menonton film Jet Lee, Kiss of the Dragon, pasti akan ingat betapa sulitnya penjahat mengejar Jet Lee di sini.

Untuk keluar dari bandara ini juga sangat membingungkan. Tidak ada tanda yang jelas lewat jalan mana kita harus keluar. Kalau naik taksi konon argonya 300 franc (1 franc = Rp1.300) sampai ke pusat kota.

Kami memutuskan untuk naik kereta api. Dari bandara ke stasiun kita dibawa sebuah bus. Di sini aku bertemu dengan Tanja Schiffrel, seorang gadis Jerman yang sedang berlibur. Cantik, lagi. Ehm….

Darinya aku tahu bagaimana menuju pusat kota. Kami naik kereta api bareng dengan tarif 30 franc. Sepanjang jalan kami ngobrol hingga turun di St Michel. Dari sini kami mencari-cari hotel. Akhirnya ketemu di sebuah sudut kota.

Mulanya resepsionis menawarkan harga 750 franc per kamar. Tapi setelah ditawar 600 franc jadinya 700 franc, walaupun dia sempat ngomel karena menurutnya kami menawarnya terlalu rendah.

Hotelnya cukup antik. Di seberang jalan ada kafe jalanan yang buka hanya malam hari.

Tak jauh dari hotel ada restoran Tunisia. Kami makan di sana.

Setelah istirahat sebentar kami bersiap menuju Eiffel. Atas petunjuk resepsionis hotel kami naik RER atau kereta bawah tanah melewati beberapa stasiun di sepanjang sungai Seine.

Untuk ke Eiffel, kami turun di stasiun Tour Eiffel. Dari sini kita tinggal melihat tulisan SORTIE, yang artinya EXIT, lalu keluar menyeberangi jalan menuju Eiffel.

Pemandangan Indah di Puncak Eiffel

Menara Eiffel merupakan salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Untuk mencapai puncaknya kita harus menaiki lift dengan membayar 65 franc (saat itu 1 fr sama dengan Rp 1.300).

Lift yang kita naiki ada dua. Lift pertama membawa kita ke pertengahan menara. Lift ini lebih besar dari lift kedua yang membawa kita ke puncak menara. Di puncak menara ada restoran, toko souvenir, antena televisi dan antena perusahaan telekomunikasi. Dari puncak Eiffel kita bisa melihat seluruh kota Paris dengan leluasa.

Di sebuah pojok kamar ada patung Gustav Eiffel, perancang menara Eiffel. Dia memenangkan tender pembuatan menara pada tahun 1799. Paris merupakan kota tua yang gedung-gedungnya sangat memukau dan terpelihara. Puncak desain arsitektur Perancis sudah dicapai konon dua abad yang lalu. Tidak ada gedung pencakar langit di pusat kota.

Dari puncak menara kita bisa melihat sungai Seine yang dilayari oleh perahu wisata dan beberapa jembatan yang membelah sungai. Satu jembatan yang terkenal adalah Point d’Alma, tempat Lady Diana tewas dalam kecelakaan mobil. Kalau kita berjalan dari Eiffel, Point d’Alma adalah jembatan ketiga ke arah timur.

Di bawah Eiffel sudah menunggu pedagang asongan yang menjual suvenir. Dari wajahnya tampak mereka orang Afrika atau kawasan Timur Tengah. Suasananya persis seperti di Taman Mini yang juga dipenuhi pedagang asongan.

Kalau kita tak berniat membeli jangan coba-coba menawar, nanti menjadi masalah. Setelah beristirahat sejenak kami berjalan menuju sungai Seine melihat kejernihan airnya dan perahu wisata yang sedang melakukan kanal tur.

Menyusuri Champs d’Elysees

Champs d’Elysees adalah jalan yang konon paling indah sedunia. Di jalan ini tinggal Presiden Perancis. Gemerlap lampu di waktu malam menambah suasana romantis. Dari Eiffel kita cukup berjalan kaki ke arah utara sejauh 1 km. Jalan ini berpangkal di Arc de Triomph sebagai tugu peringatan kemerdekaan Perancis dan berakhir di Place de la Concord.

Kafe-kafe bertebaran di sepanjang jalan menyajikan menu yang mengundang pecinta kuliner untuk mencicipinya. Tapi kalau kantong pas-pasan ya mendingan tidak usah dicoba. Nanti bisa pulang tinggal kolor.

Di sepanjang Champs d’Elysees ada beberapa bioskop yang tidak terlalu besar. Terlihat beberapa anak muda berpakaian modis sedang antri membeli tiket film American Pie 2. Rupanya film Amerika laku juga di Paris.

Di sini juga banyak terdapat bank dan money changer yang buka sampai malam. Money changer yang terkenal adalah John Hancock. Tak ketinggalan toko parfum dan butik ternama turut andil membuat jalan ini semakin tersohor.

Katederal Notre Dame

Notre Dame adalah katederal yang cukup terkenal. Banyak wisatawan yang mengunjunginya. Kami berkeliling sejenak di dalam sambil berfoto-foto.

Katederal terlihat mencolok bentuknya dibanding gedung lainnya yang selintas mirip. Rumah sakit, kantor pos, kantor pemda dan kantor departemen memiliki bentuk yang sama sehingga agak sulit bagi orang asing untuk mengenalinya jika tidak membaca tulisan yang terpampang terlebih dahulu.

Imigran Di Mana-mana

Suasana lalu lintas di Paris cukup semrawut. Hampir menyamai Jakarta. Pengemudi dengan seenaknya membunyikan klakson dan menyerobot jalan.

Ini berbeda dengan kota di Eropa lainnya seperti Frankfurt dan Amsterdam yang cukup tertib lalu lintasnya. Bahkan, di Paris pengemudi motor dengan seenaknya menaiki trotoar pejalan kaki.

Banyak imigran yang tinggal di Paris. Di mana-mana tampak orang hitam dan berwajah Arab yang berseliweran. Bahkan di bantaran sungai Seine pada sekitar jam 8 pagi masih ada beberapa gelandangan yang tidur dengan nyenyaknya.

Di stasiun metro kita juga sering merasa was-was karena banyaknya orang hitam yang mencurigakan. Konon, Paris merupakan surga bagi imigran karena kebijakan pemerintahnya yang cukup welcome terhadap imigran. Ini dapat dibuktikan dari banyaknya pemain tim sepakbola nasional Perancis yang berasal dari luar Perancis seperti Zidane, Vierra, Desailly, Henry, Ribbery dan masih banyak lagi.

Di Perancis, sistem pertiketan kereta api agak berbeda dengan Jerman. Di Perancis setiap penumpang harus membeli tiket di loket yang dijaga oleh seorang petugas. Setelah membeli tiket, kita memasukkan tiket tadi ke mesin sampai pintu membuka.

Setelah melewati pintu, tiket keluar sendiri dan pintu tertutup. Tiket ini harus kita simpan baik-baik. Nanti setelah keluar dari kereta kita harus memasukkan tiket seperti tadi. Sistem ini sering dijahili oleh orang negro. Dia punya satu tiket, tetapi yang masuk dua orang.

Kereta bawah tanah di Perancis sangat jauh digali ke dalam tanah, mungkin sampai kira-kira tiga lantai di bawah permukaan tanah. Karena mungkin sudah lama dibangun, banyak bangunan yang sudah memudar catnya. Ditambah dengan banyaknya orang negro, makin seramlah suasana di stasiun metro.

Di metro ini kami bertemu seorang Indonesia yang sudah 10 tahun tinggal di Paris. Kebetulan dia orang Bandung, sehingga kami ngobrol seperti dua orang sahabat yang lama tak berjumpa.

Sementara itu, di kereta ada pengemis intelek asal Bulgaria. Rupanya dia pengungsi yang butuh uang. Dia hanya membagikan secarik kertas tulisan tangan berbahasa Perancis yang isinya cukup memelas. Sebagai sesama musafir kami tak berani ngasih. Bukan karena apa-apa. Uang kami saja pas-pasan. Nanti giliran kami kekurangan uang siapa yang mau ngasih?

Epilog

Perjalanan Eropa menimbulkan kesan yang sangat mendalam bagiku. Tak pernah terbayang dalam mimpi kanak-kanakku aku bisa bepergian ke Eropa. Akan tetapi, mungkin ada pengaruh dari masa kecilku yang hobi membuat peta dan membuat buku saku pribadi yang berisi ibu kota dunia, mata uang, lagu kebangsaan, maskapai penerbangan, dan kantor berita.

Aku banyak terinspirasi dari buku Himpunan Pengetahuan Umum. Dengan memodifikasi ukuran sebesar buku saku, aku mengumpulkannya sendiri dari peta dan buku-buku lain yang berhubungan. Waktu itu belum ada Buku Pintar Senior Iwan Gayo.

Kemajuan teknologi Eropa benar-benar dipergunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Teknologi perkeretaapian benar-benar membuat penumpang nyaman tanpa goncangan berarti dan perjalanan menjadi lebih cepat. Pejalan kaki sangat dihormati di sini. Meskipun lampu stop sudah menunjukkan hijau, tetapi biasanya para supir akan mempersilakan pejalan kaki untuk lewat lebih dulu baru dia jalan.

Pemasyarakatan sepeda sangat kentara di Amsterdam. Orang yang berpakaian rapi, memakai jaz atau blazer, tidak segan untuk bersepeda ke kantor. Memang hal ini didukung oleh cuaca yang sejuk. Kalau di Jakarta sini seperti itu pasti sudah mandi keringat. Mereka lebih mengutamakan efisiensi daripada gaya atau gengsi. Mungkin juga karena izin untuk memiliki mobil sangat mahal sehingga pasti tidak efisien, kecuali kalau mereka benar-benar kaya.

Jadi, untuk jarak pendek mereka lebih suka naik sepeda atau trem. Sementara untuk jarak jauh mereka lebih senang naik bus atau metro, sesuai dengan kebutuhan.

Kebebasan individu sangat dihargai selama tidak mengganggu ketertiban umum. Hak-hak bersama diatur dengan ketat. Ruang dan fasilitas publik selalu dipelihara dengan baik. Taman-taman ditata dengan baik. Kesadaran akan peraturan sangat tinggi sehingga tidak banyak polisi yang berseliweran di jalan. Alangkah indahnya jika budaya yang positif dari barat diadopsi ke negara kita.

Walaupun begitu, ada hal negatif yang tidak perlu kita tiru, yaitu kebebasan sex dan anti sosial. Di setiap sudut kota banyak terdapat sex shop yang membuat aku bingung seandainya punya anak, bagaimana menjelaskannya kepada anakku apa yang dijual toko tersebut.

Selain itu, kehangatan antar individu juga hilang karena setiap orang tidak mau mengganggu dan diganggu orang lain. Akibatnya, banyak orang yang menumpahkan kasih sayangnya ke binatang peliharaan seperti anjing dan kucing. Tak heran kalau di bandara ada orang Jerman yang berlibur dengan membawa anjing berserta kandangnya.

Salah satu yang cukup menarik adalah bahwa orang Eropa banyak yang tidak lagi beragama. Mayoritas mereka hanya beraliran kepercayaan atau agnosticisme, artinya posisi antara percaya dan tidak percaya terhadap Tuhan.

Gereja telah berubah menjadi tempat wisata bagi turis asing. Anak-anak muda tak pernah lagi ke gereja. Mereka merasa bahwa teknologi maju tidak memerlukan tuhan. Mungkin agama hanya diperlukan saat menikah dan meninggal dunia.

Salah satu hal positif yang bisa ditiru adalah disiplin, kebebasan, keteraturan, penghargaan atas martabat manusia, pemeliharaan atas fasilitas umum, etos kerja orang Eropa. Tak salah, kalau para tokoh pembaharu Islam mengatakan bahwa mereka menemukan Islam di Eropa. Tokoh Islam seperti Hasan Al-Banna menemukan semangat Islam di Eropa setelah kunjungannya ke Perancis.

Untuk kita yang hanya akrab dengan bahasa Inggris, Belanda merupakan tempat yang nyaman karena hampir semua penduduknya bisa berbahasa Inggris. Sadar dengan bangsanya yang kecil, pemerintah Belanda sangat menekankan pelajaran bahasa Inggris yang komunikatif, tidak terlalu gramatikal. Terbukti, Belanda merupakan negara yang paling berhasil dalam pengajaran bahasa. Selain bahasa Inggris, setiap murid yang tamat SMU setidaknya mampu berbahasa Perancis dan Jerman.

Sementara itu, di Jerman lebih baik sedikit dari Perancis dalam bahasa Inggris. Rata-rata pegawai formal seperti resepsionis dan pusat informasi dapat berbahasa Inggris dengan baik. Berbeda dengan di Perancis yang bahasa Inggris mereka berlogat Perancis sehingga sulit untuk memahaminya.

Karena itu, kita harus belajar sedikit bahasa Jerman dan Perancis untuk lebih enjoy di sana. Paling tidak, kita bisa ngomong Parlez Vouz Anglais (Bisakah anda berbahasa Inggris) dan Merci beacoup (Terima kasih banyak).

Selanjutnya, aku wajib mengucapkan terima kasih kepada direksi Grafindo yang telah memberikan kesempatan kepada aku untuk bisa menikmati keangkuhan Eiffel, romantisme kanal tour Amsterdam, semarak Frankfurter Buchmesse dan gemerlap Champs d’Elysees. Terima kasih kepada Bapak H. Syaifullah Sirin, Ibu Wanti, Bapak Moh Ridwan Mustofa, dan Ibu Mira Safira. Tanpa kebaikan mereka mana mungkin wong ndeso dan katrok kayak aku bisa menginjak Eropa. (Hery Azwan, Jakarta, 2001)

2 tanggapan untuk “The Journey #4: Around Paris

  1. Ping-balik: PLBK « Hery Azwan
  2. Paris memang kota impian ya.
    Tapi juga kota yang tidak begitu ramah bagi turis.

    Saya pernah salah baca peta, pikir bisa jalan dari stasiun ke hotel,
    eeee ternyata jauuuh banget. Berbekal itu waktu saya pergi ke Lourdes (perancis utara kalau tidak salah), saya naik taxi. Padahal supir taksi berusaha jelaskan bahwa saya lebih baik jalan. Dan ternyata…cuman 10 menit jalan kaki 🙂 naik mobil 3 menit. huh.

    Karena takut juga akan harga2 dan tidak bisa baca menu, saya dan adik-adik terpaksa harus makan burger terus selama di Paris. Sebagai pelampiasan malam terakhir kita masuk restoran China. Wah, untung ada tulisan kanji sehingga saya bisa mengira-ngira masakan ayam atau ikan. Saya pesan Ayam dengan jeruk, dengan membayangkan jeruknya jeruk nipis/lemon.
    eee ternyata Ayam dengan Orange (bukan lemon), jadi manisnyaaa …. aduh terpaksa deh dimakan.

    HPU….hehehe. Kalau saya juga banyak belajar dari hobi mengumpulkan perangko.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s