Awas, Ada Teroris di Sekitar Kita

Sepuluh tahun yang lalu kalau kita menonton berita televisi tentang pemboman di mancanegara kita selalu bisa berkilah, “Ah, itu kan terjadi di sana. Di sini sih aman-aman saja”.

Saat ini, enam tahun setelah runtuhnya orde baru, kita ternyata mulai akrab dengan bom. Dengan bom Bali, Marriot, Kuningan dan beberapa bom kecil sebelum dan sesudahnya kita semakin sadar bahwa ancaman bisa datang kapan saja, di mana saja. Bom tidak kenal korbannya. Siapapun bisa saja menjadi korban dan tiba-tiba menjadi terkenal karena diliput koran dan televisi.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya, siapakah gerangan dalang di balik bom tadi? Banyak teori yang mencoba menerangkan. Yang paling terkenal dan paling gampang adalah teori konspirasi.

Teori ini menjelaskan bahwa semua bom adalah rekayasa Amerika dan sekutunya untuk mendiskreditkan Indonesia dan lebih spesifik lagi umat Islam. Teori ini memang banyak mendapatkan pembenaran, seperti, mengapa kedutaan Australia sudah kosong melompong saat bom meledak? Begitu juga, mengapa bom meledak di jalan, bukan di dalam gedung kedutaan? Teori ini sangat banyak dianut oleh sebagian umat Islam yang tak rela agamanya dikaitkan dengan terorisme.

Teori lain mengatakan bahwa yang meledakkan bom adalah Jamaah Islamiyah dan sejenisnya yang sangat anti barat (baca: Amerika Serikat dan sekutunya). Mereka akan mengganggu semua kepentingan barat selama Amerika berlaku tidak adil, terutama yang berhubungan dengan penyerbuan Irak, pendudukan Israel di Palestina dan standar ganda lainnya yang diterapkan Amerika pada negara Islam. Teori ini tentu saja dibantah oleh beberapa kalangan Islam. Mereka mengklaim bahwa tidak ada teroris di Indonesia. Islam tidak pernah mengajarkan perbuatan terkutuk seperti itu.

Lalu, mana dari dua teori ini yang mendekati kebenaran? Wallahu a’lam bissawab. Akan tetapi, kalau kita mau jujur, sebenarnya benih-benih terorisme itu memang ada pada sebagian umat Islam, terutama yang berada di luar mainstream kelompok Islam moderat yang direpresentasikan dengan baik oleh Muhammadiyah dan NU.

Jika kita mendengar pernyataan Abu Bakar Baasyir dan pengikutnya, tampak sekali kalau mereka ingin mengobarkan kebencian yang sangat kepada barat. Memang mereka tidak secara langsung mendukung peledakan bom, tetapi secara implisit mereka seolah mendukung pengeboman itu dan menimpakan kesalahan kepada pihak barat (dalam hal ini Amerika yang sering berlaku tidak adil).

Hal ini semakin diperkuat dengan tertangkapnya tersangka yang berusaha melindungi Dr Azahari dan Nurdin M Top dalam buronan. Dalam pernyataannya kepada pers dia berujar bahwa dia bersimpati kepada Dr Azahari yang menganggap ladang jihad tidak lagi terbatas pada perang dalam arti konvensional tetapi sudah meluas. Jadi, menurut mereka, peledakan bom atas simbol-simbol yang merepresentasikan Amerika dan sekutunya merupakan jihad. Konsekuensinya, orang yang mati dalam bom bunuh diri adalah mati syahid, dengan syurga sebagai balasannya.

Kalau kita mengamati beberapa khutbah Jumat di mesjid-mesjid perkotaan sebenarnya kita patut khawatir karena banyak khatib yang menebarkan kebencian kepada umat lain, bukannya menganjurkan perdamaian. Bahkan pada suatu khutbah saya mendengar seorang khatib berkata kalau bom Bali, bom Mariot dan bom Kuningan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan krisis keimanan.

Memang benar. Tetapi perbandingan pemboman dengan krisis keimanan bukanlah perbandingan yang pas. Bagaikan membandingkan jeruk dengan apel. Tidak kena konteksnya. Dalil mana yang dipegang khatib tersebut? Padahal, di dalam Islam membunuh satu nyawa sama dengan membunuh seluruh umat manusia. Bahkan dalam perang sekalipun Nabi Muhammad melarang umatnya untuk membunuh wanita, anak-anak, menghancurkan rumah ibadah dan fasilitas umum, menebang pohon dll.

Dengan kata lain, seandainya umat Islam terpaksa berperang, maka perang tersebut harus dilakukan secara kesatria, bukan dengan cara pengecut seperti mengebom gedung di tengah kota yang membunuh orang yang tidak bersalah.

Salah satu kelemahan umat Islam adalah senang menimpakan kesalahan pada orang lain dan selalu menganggap dirinya benar. Memang benar, bahwa Amerika berstandar ganda terhadap Israel, tetapi itu bukan berarti tidak ada yang baik dari mereka. Sistem demokrasi dan etos modern yang menganjurkan disiplin dan kerja keras, yang melekat pada Amerika Serikat, merupakan aspek positif yang perlu kita adopsi.

Untuk menghadapi standar ganda Amerika umat Islam harus menunjukkan secara santun bahwa umat Islam tidak seperti yang dituduhkan oleh mereka. Kita harus meniru teladan dari nabi saat rumahnya setiap pagi dilempari kotoran. Ketika suatu hari nabi tidak mendapati kotoran yang baru beliau bertanya kemana orang yang biasanya melakukannya. Setelah mendapat info bahwa sang pelaku sakit, nabi bukannya senang, tetapi beliau malah membesuknya. Melihat kedatangan nabi, sang pelaku tadi ketakutan, khawatir nabi akan membalas. Akan tetapi, apa yang terjadi? Nabi menyapa orang tersebut dengan ramah dan mendoakannya semoga lekas sembuh. Tentu saja orang tadi tidak menyangka akan mendapat balasan sedemikian. Akibatnya, orang tadi merasa feel guilty dan merasakan kemuliaan akhlak nabi. Akhirnya orang tersebut masuk Islam.

Selain itu, umat Islam harus membedakan antara negara dan rakyatnya. Umat Islam memang harus tidak setuju dengan kebijakan Amerika dan sekutunya, termasuk Israel. Tetapi hubungan baik dengan rakyat mereka harus tetap terpelihara. Banyak juga orang Amerika dan Israel yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintahnya. Sebagai agama yang diperuntukkan agar menjadi rahmatan lil alamin umat Islam harus bisa menjalin kehidupan yang damai dengan semua agama, golongan, bangsa, suku, ras. Bukankah Allah memberi rezeki kepada umatnya tanpa membeda-bedakan asal-usulnya? Dalam hal duniawi Allah yang Rahman memberlakukan sunnatullah, siapa yang berusaha keras dia yang akan dapat. Siapa menabur dia yang menuai, tidak peduli dia orang Yahudi atau atheis sekalipun. Dalam hal duniawi, doa saja tanpa ikhtiar tidak cukup.

Dalam mencari pemimpin, umat Islam juga sering terkecoh dengan kulit. Umat Islam sering melihat orang dari sorbannya, kopiahnya dan gelar keagamaannya. Padahal, kita akhirnya sering kecewa karena pemimpin yang mulanya kita idolakan, akhirnya juga terjatuh oleh gemerlapnya godaan kekuasaan dan uang.

Di sisi lain kita melihat banyak pemimpin negara lain yang bukan Islam, tetapi berperilaku zuhud, adil dan profesional. Lihatlah betapa Lee Kwan Yu mampu mengubah Singapore dalam 30 tahun menjadi negara terpandang di dunia. Etnis Cina yang biasanya jorok dan suka meludah di mana saja bertransformasi menjadi rakyat yang bersih, tertib dan disiplin.

Bandingkan dengan kamar mandi di mesjid kita yang jorok dan tak terurus, yang kalau kita ingin mencarinya cukup mengendus dengan hidung kita akibat bau yang sangat.Meski tak rela dipimpin oleh orang non muslim, tetapi umat Islam dengan kesadaran menikmati produk dan jasa hasil kreasi mereka yang non muslim. Siapa yang paling gemar berganti hand phone? Siapa yang gemar berganti mobil mewah? Siapa yang menikmati alat elektronik? Umat Islam sering tidak sadar bahwa kemudahan hidup yang dinikmatinya saat ini merupakan hasil kreasi kaum non muslim. Tidak sadarkah mereka?

Dalam hal politik, menurut sebagian cendekiawan muslim yang beraliran moderat dan inklusif, Islam tidak sepenuhnya mengatur secara pasti. Politik adalah urusan dunia. Jangan campuradukkan politik dengan agama. Biarlah Islam menjadi garam yang memberi rasa tetapi tidak terekspos, bukan menjadi gincu yang kelihatannya wah tetapi sebenarnya tidak mempunyai rasa apapun. Sekali agama dibawa-bawa ke dalam politik, maka agama akan menjadi tawanan yang berpotensi akan disalahgunakan oleh orang yang membawanya.

Anggaplah pemilihan presiden sebagaimana kita memilih peralatan elektronik. Pilihlah yang memberi keuntungan maksimal dengan pengorbanan yang paling minimal. Kewajiban kita untuk memberikan pencerahan kepada lingkungan sekitar, agar agama tidak sekedar menjadi simbol tanpa makna, tetapi menjadi substansi etis yang mewarnai setiap gerak tingkah laku kita. Takkan bahagia orang yang hidup dalam kecurigaan sepanjang hidup, yang selalu menganggap orang lain sebagai musuh. Tabik. (Hery Azwan, Jakarta, 2005)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s