Bersama rombongan Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) kami dijadwalkan berangkat pukul 19.00 WIB tanggal 8 Oktober 2001 dengan Lufthansa jurusan Frankfurt via Singapura. Rombongan dari perusahaanku, ada enam orang: Ibu Wanti, Ibu Mira, Pak Dadang, Cili, Yunita dan aku. Dari Ikapi ada Pak Makfudin Wiryaatmaja, Pak Zulfa Kamil, dan Ibu Lucya.
Sebelum check in, aku menyempatkan diri menukar rupiah ke USD di sebuah money changer. Saat itu satu dolar AS bernilai Rp 10.100.
Semenjak tragedi WTC 11 September 2001, penumpang tak lagi bisa mewakilkan bagasinya untuk check in, tapi harus melakukannya sendiri. Bosku rupanya masih menganggap situasi normal-normal saja.
Karena mungkin sudah terbiasa pergi ke luar negeri, bosku menyempatkan rapat terlebih dulu di kantor, sementara bagasinya dititipkan ke kami. Akibatnya proses check in menjadi terhambat. Hampir saja check in counter ditutup.
Aku harus berlari keluar masuk restricted area menjemput kedua bosku karena petugas dari Panorama Tours sudah menghilang.
Pada pemeriksaan terakhir sebelum masuk ke pesawat, peralatan manicure dan pedicure bosku, diperiksa oleh petugas. Karena tidak mau memperpanjang masalah, akhirnya peralatan itu dihibahkan kepada petugas wanita yang memeriksanya. “Lumayan…. buat nambah koleksi”, batin si mbak.
Perjalanan ke Frankfurt memakan waktu 12 jam dengan transit selama satu jam di bandara Changi, Singapura. Changi bandara yang bersih dan indah. Lantainya dilapisi permadani. Di sini ada shopping center yang menjual parfum, makanan, minuman, pakaian, perhiasan, buku dan tempat hiburan yang menampilkan tv layar lebar dengan film dari tv kabel. Tak ketinggalan juga fasilitas internet.
Yang cukup unik ada tempat sembahyang (prayer’s room) untuk semua agama. Sayang, aku tak sempat mencobanya karena telah kujamak qasar di Jakarta.
Aku hanya sempat mencoba kamar mandi yang, uniknya, dijaga oleh petugas cleaning service yang sudah jompo. Namanya Ali. Dari namanya mungkin dia orang Melayu.
Pemerintah Singapura memang memberikan kesempatan kepada pensiunan untuk bekerja di sektor publik sehingga semua warga negaranya tetap produktif. Seandainya posisi itu bisa diisi oleh orang Indonesia yang muda-muda pasti akan mengurangi beban tugas menaker kita untuk mengurangi angka pengangguran di Indonesia.
Di tiap sudut bandara berseliweran tentara muda yang mirip Andy Lau sedang siaga satu. Tampaknya dampak WTC membuat semua bandara kian waspada. Mereka tentu tak mau terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Mobil-mobil kecil bertenaga aki mengantarkan orang jompo yang sudah sulit berjalan dari satu sudut ke sudut lain.
Wajah-wajah Indonesia tampak familiar seolah kita sedang berada di mal-mal Indonesia. Mungkin mereka baru kembali dari liburan di Singapura atau sedang transit ke tujuan lain di Eropa atau Amerika.
Yang menarik, ada kolam ikan koi di tengah bandara yang membuat kita jadi betah menunggu di bandara ini. Eitt… jangan coba-coba memberi makan ikan karena bisa didenda. Tak terasa panggilan boarding menggema. Kami harus antri lagi untuk masuk ke pesawat setelah melewati petugas pemeriksaan.
Di pesawat makanannya cukup enak, dan yang penting halal. Ada ikan salmon asap, steak ayam, dan roti. Kita dapat tiga kali makan. Pertama, setelah take-off dari Jakarta. Kedua, beberapa jam setelah take off dari Singapura. Ketiga, jam tiga pagi waktu pesawat. Layanan pramugari biasa saja, tidak berbeda dengan pramugari Garuda.
Di pesawat ada televisi yang menyiarkan film-film baru (saat itu film Bridget Jones’s Diary, Knight’s Tale, The Score) dan teve yang dilengkapi GPS yang menginformasikan ketinggian, suhu udara di luar dan posisi pesawat. Selain itu, setiap penumpang dipinjami sebuah headphone yang berisi 6 kanal radio: (tape atau CD, kali ya?) ada musik jazz, klasik, rock, opera dan pop.
Kami duduk di kelas ekonomi. Jarak antara kursi sangat rapat, sehingga persis naik Metromini. Memang, pada perjalanan jauh, posisi duduk kita sangat tidak nyaman. Tak heran ada penyakit karena darah tersumbat yang namanya ‘sindrom kelas ekonomi’.
Untunglah tubuhku kecil, sehingga tidak terlalu menjadi masalah. Apalagi, kami dipinjami sehelai selimut. Kalau mau nyaman kita bisa naik kelas bisnis, tapi biasanya harga tiketnya hampir dua kali lipat.
Wilkommen Frankfurt
Pada sekitar pukul 05.00 pagi waktu Frankfurt pesawat kami mendarat dengan selamat. Senang sekali rasanya bisa menghirup udara Eropa sepagi ini. Apalagi bagi orang kampung sepertiku.
Flughafen Frankfurt merupakan bandara terbesar dan tersibuk di Jerman. Bandara ini terintegrasi dengan moda transportasi lainnya: bus, taksi dan kereta api. Dari sini kita bisa langsung menuju kota Eropa lainnya dengan kereta cepat ICE (Inter City Express) ataupun hanya untuk jalan-jalan dengan kereta dalam kota melihat pemandangan sekitar Frankfurt.
Bandara ini dilengkapi dengan fasilitas toko busana, toko buku, super market dan bahkan sex shop. Kalau lagi lapar, ada restoran Cina, Italia dan lainnya. Bahkan ada bioskop yang khusus memutar film blue yang nama Jermannya Blue Movie Kino.
Begitulah kebebasan di Jerman. Setiap orang bebas mengekspresikan dirinya selagi tidak mengganggu kepentingan dan hak orang lain. Kalau di Indonesia bioskop tersebut pasti akan membludak dipenuhi penonton yang rela antri panjang sekali untuk mendapatkan tiket. Setelah itu pasti sudah dirazia sama FPI atau FBR.
Di bandara aku kebelet pipis. Aku ke toilet sambil melapor dulu ke Pak Dadang. Setelah selesai, betapa terkejutnya aku karena Pak Dadang dan teman lain sudah tak ada.
Aku panik mencari mereka. HP tidak berfungsi karena kartunya saat itu ProXL prabayar yang belum bisa roaming internasional. Aku mondar-mandir mencari mereka, bertanya ke orang-orang tempat pemeriksaan imigrasi.
Sejenak aku melihat Pak Rozali (mantan ketua Ikapi dan pemilik Rosda) dengan istrinya sedang antri. Tanpa bertanya lagi aku ikuti saja antrian tersebut. Setelah sampai giliranku ke petugas baru aku tahu bahwa pintu tersebut adalah pintu untuk transit ke penerbangan lain, bukan pintu ke luar bandara. Terakhir aku baru ngeh bahwa Pak Rozali hendak pergi ke Amsterdam terlebih dahulu.
Petugas itu memberitahu bahwa pintu ke luar di sisi lain. Di sana aku sudah ditunggu dengan harap-harap cemas oleh rombongan Grafindo. Kebayang enggak, kalau aku tidak bisa bahasa Inggris. Bisa-bisa terperangkap seharian di bandara. Kacian deh lu.
Beruntung, karena masih pagi, tidak ada pemeriksaan koper yang ketat sehingga rendang pemberian dari Bu Haji (istri owner perusahaanku), ikan mas balita & gepuk yang dibeli di Bogor, dan bekal makanan lain yang kami bawa tidak dirazia. Padahal, biasanya barang seperti itu adalah barang haram yang akan disita oleh petugas karena dianggap dapat membawa epidemi.
Kami bersiap-siap menuju hotel Astron, sebuah hotel berbintang tiga di kawasan industri Frankfurt. Setiap setengah jam ada shuttle bus gratis yang membawa penumpang dari hotel ke bandara. Supirnya, bernama Rahman, kebetulan orang Afghanistan. Dari gayanya tampaknya dia sudah kebarat-baratan, dan melupakan tradisi keislaman leluhurnya.
Sebenarnya kami ada janji temu dengan penerbit Singapura pada pukul 10.00 pagi. Tapi tampaknya tidak keburu sehingga kami istirahat dulu di hotel selama satu jam. Kami bermaksud menelepon ke penerbit tersebut untuk pembatalan tetapi tidak ada yang bisa dihubungi karena di pameran tidak ada sambungan telepon.
Ada kejadian yang cukup menggelikan waktu kami menaiki shuttle bus. Setelah semua tempat duduk penuh, dan bagasi dinaikkan ke bus, aku masih melihat ada kursi kosong di sebelah kiri depan.
Aku pikir, “Wah, aku masih dapat tempat, nih”. Tanpa bertanya-tanya aku langsung naik dan duduk.
Tiba-tiba sang supir nyamperin,”Sorry, Sir. It’s my seat.”
“O, my God!”. Aku baru ngeh kalau di Jerman supirnya di sebelah kiri. Semua penumpang tertawa terbahak-bahak dengan ketololanku. Mau ditaruh di mana muka ini?
Masalah setir kiri ini juga dapat membuat culture shock ketika mobil yang kita tumpangi berselisih dengan mobil yang datang dari arah berlawanan. Kalau kita duduk di kursi depan, seolah-olah mobil kita akan menabrak mobil yang di depan karena otak kita masih belum bisa menyesuaikan pola setir yang berbeda ini. Butuh waktu beberapa hari untuk menyesuaikan pikir dan rasa kita dengan pola ini. (Hery Azwan, Jakarta, 2001)
Wah, asyik banget nih bisa ke Eropa…
Suka sekali bagian-bagian ini:
– Proses penghibahan alat meni-pedi
– Tukang jaga toilet yang sudah sepuh dan komentar BangHer kalau saja tenaga muda Indonesia dimanfaatkan disini…
– dan pastinya itu tuh… Peristiwa Perebutan Kursi SUPIR! Wakakakaka.. asli, sumpah, saya ngakak, Bang!
Itu yang dijaga Ali itu toilet ya? Soalnya ada kamar mandi beneran, untuk shower bagi yang transitnya lama. Aku pernah pakai dengan biaya 5$. Yang lucunya waktu itu aku tidak bawa $ adanya yen sedangkan malas kalau dapat kembalian uang kecil. Jadi bayar pakai kartu kredit. Aku tanya dulu sih, kalo petugasnya marah ya aku bayar pake yen aja. Dia bilang “No problem Madam…”
Aku juga ngakak baca bang Her rebutan kursi sama pak supir hihihi