The Journey #2: Around Frankfurt

messe.jpg

Arena Frankfurt Bookfair terletak sejauh dua stasiun dari stasiun kereta pusat kota (Hauptbahnhof). Arena ini disebut Messe. Arena ini dipakai untuk berbagai pameran. Karena sedang dipakai untuk pameran buku, maka disebut Buchmesse.

Untuk menuju arena ini kita bisa naik kereta api bawah tanah, trem atau bus kota. Messe terdiri dari 10 halle (hall dalam bahasa Inggris). Setiap halle terdiri dari beberapa lantai yang sangat luas dengan nomor stand yang tersusun rapi. Satu hall di messe barangkali sama luasnya dengan seluruh hall di Jakarta Convention Center.

Halle biasanya dibagi berdasarkan kategori buku seperti manajemen, ilmu sosial, bisnis, ilmu eksakta, komik atau berdasarkan negara seperti negara Asia, Afrika, dll. Antara satu halle dengan halle yang lain dihubungkan dengan tangga berjalan atau shuttle bus.

Rasanya tidak cukup satu hari untuk mengelilingi semua stan. Karena itu, dari awal kita harus merencanakan untuk mengunjungi stan yang mana agar tidak kebingungan dan menghabiskan waktu dengan memasuki stan yang tidak perlu.

Penerbit-penerbit top dunia seperti Simon & Schuster, Penguin, Dorling Kindersley, Prentice Hall, biasanya ada di halle 4.0. Kami mengelilingi beberapa stan yang sudah membuat janji sebelumnya. Rata-rata tatap muka dilakukan selama setengah jam.

Di setiap stan kami memperkenalkan diri dan perusahaan kami dan menjelaskan keinginan kami untuk membeli copyright dari mereka. Mereka dengan antusias menjawab seluk beluk penerbitan mereka dan bagaimana mereka memasarkan buku. Dari pembicaraan dengan beberpa penerbit kecil di sana rata-rata mereka menggunakan sistem outsourcing untuk tenaga ilustrator dan editor.

Beruntung, kami bertemu dengan pemilik penerbitan yang menerbitkan buku Who Moves My Cheese. Kami dipeluk satu persatu dengan hangat, diberi sebuah buku dan sebuah kaset. Tampaknya dia seperti seorang pendeta.

Kami juga bertemu dengan penerbit poster dari Hongkong. Mungkin kami bisa bekerja sama dengannya untuk mencetak poster selebritis yang lagi hot. Saat itu poster Anna Kournikova sedang laris-larisnya.

Kami juga bertemu dengan penerbit Jalmar yang hak cipta bukunya the Learning Revolution telah diterbitkan oleh salah satu penerbit Indonesia. Kami juga bertemu dengan penerbit Kogan Page dari London yang cukup terkenal. Sebagian bukunya sudah diterbitkan oleh penerbit Erlangga dan PPM. Jadi, kami harus mensortir ulang buku-buku yang belum diterbitkan.

Kami juga sempat bertemu dengan beberapa penerbit buku anak-anak dan buku latihan siswa. Pada umumnya, penerbit yang membuka stan sangat ramah menyambut kami. Mereka biasanya memberi kita sampel buku yang akan kita beli hak terjemahannya.

Harga hak terjemahan berkisar dari US$500 sampai tak terbatas, sesuai dengan kualitas dan potensi buku untuk menjadi best seller. Selain itu, kita harus membayar royalti sebesar rata-rata 7% sesuai dengan eksemplar yang kita cetak.

Namun, ada juga penerbit kecil yang tidak terlalu peduli dengan uang. Bagi mereka, ketersebaran ilmu di seluruh dunia lebih utama.Wah, salah satu amal yang tetap berjalan setelah kita meninggal nih.

Pada hari terakhir pameran beberapa penerbit mengepak kembali buku-buku mereka. Akan tetapi, sebagian penerbit kecil meninggalkan begitu saja buku-buku mereka. Kita bebas mengambil buku tersebut. Hanya saja, perlu diperhatikan biaya kelebihan bagasi di pesawat jika kita mengambil buku yang tidak perlu.

Kami sendiri, serombongan Grafindo, membayar sekitar DM500 untuk kelebihan bagasi. Untuk menyiasati kelebihan bagasi ini, kita bisa mempaketkan buku via pos yang akan mengirimkannya lewat kapal laut. Kalau mau lebih murah lagi, lebih baik kita memberikan kartu nama dan alamat yang jelas. Nanti, mereka akan mengirimkannya setelah kita sampai di tanah air. Cara ini tampaknya lebih efektif, murah dan tidak merepotkan karena setelah pameran biasanya kita akan jalan-jalan ke negara lain.

Pada book fair tahun ini (2001) Habermas, filsuf Jerman dari mazhab Frankfurt, mendapatkan penghargaan sebagai tokoh perdamaian (Peace Award). Namun sayang, tidak semua orang Jerman kenal dengan Habermas. Bahkan, Habibie lebih mereka kenal daripada Habermas. Mungkin sama saja dengan orang bule peneliti sastra yang lebih kenal Pramoedya Ananta Toer dibanding orang Indonesia yang awam dengan dunia sastra.

Di sekitar pameran banyak terdapat warung makanan dan penjual suvenir. Setiap orang Eropa makan siang pasti didampingi dengan bir. Untuk kita sulit juga memilih makanan yang cocok dengan lidah. Paling banter makan ayam goreng lagi.

Kita juga bisa membeli es krim seharga 5 DM untuk 2 klugen. Klugen adalah bola es. Jadi kalau 2 klugen berarti satu cone dengan 2 bulatan es. Kalau 3 klugen harganya 7 DM. O, ya. Saat itu mata uang euro masih dalam tahap perkenalan dan belum diluncurkan, sehingga semua transaksi masih memakai uang lokal.

Zeil Shopping Center

Zeil adalah pusat perbelanjaan terpadu. Pusat bank Uni Eropa yang menerbitkan mata uang euro terletak dekat Zeil. Di dekat sini juga ada taman yang di tengahnya ada patung Goethe, penyair ternama asal Jerman. Kalau di Indonesia Zeil mungkin seperti kawasan Blok M.

Di sini terdapat bermacam toko busana, perhiasan, parfum, sepatu, butik terkenal, tas, dsb. Kita juga bisa membeli kaos Mercedes di butiknya langsung. Pak Dadang membeli satu kaos yang berharga sekitar 100 DM.

Di sini juga ada taman yang cukup asri. Ada banyak orang yang beraktivitas: dari sekedar duduk melepas lelah, main skate board sampai yang mengamen dan berpidato. Entah apa yang dibicarakan. Mungkin mereka sedang berdakwah kali, ye?

Memperhatikan orang Jerman yang lalu lalang sangat menyenangkan. Pakaian mereka modis-modis. Parfum mereka tampaknya berasal dari aroma yang sama. Mungkin aroma tersebut lagi trend, kali ya?

Di sini juga ada bioskop cineplex dan bioskop IMAX. Saat itu film yang sedang diputar di bioskop biasa adalah America’s Sweetheart. Sayang, bioskop IMAX nya tidak jalan. Mungkin orang Jerman udah pada bosan.

Di Frankfurt tampaknya tidak ada mal atau plaza yang terpisah seperti plaza atau mal di Indonesia. Tampaknya tidak ada lahan lagi untuk membangun mal baru. Atau mungkin orang sana memang tidak suka dengan mal baru karena dianggap merusak lingkungan.

Rata-rata mal yang ada adalah mal lama yang terletak di kompleks pertokoan. Untuk mencapai pertokoan ini kita bisa jalan kaki dari Stasiun Setnral atau naik kereta api bawah tanah.

Untuk kali pertama, kami ke Zeil berjalan kaki sambil city tour. Tanpa terduga, kami bertemu Bara Hasibuan. Namanya juga di negeri orang, kalau melihat orang sekampung pasti akrab deh, meski kita tidak pernah bertemu sebelumnya.

Affluent Society

Kehidupan masyarakat Frankfurt, seperti masyarakat Eropa lainnya, tampak bebas, teratur, tetapi monoton. Tidak ada aura kehangatan yang terpancar dari rona wajah mereka. Spontanitas pertemanan tampaknya sudah hilang. Atau mungkin ini karena kita tidak bisa berbahasa Jerman. Ketika belanja, orang asing seperti kita selalu diawasi oleh petugas yang memakai headphone.

Di jalanan, jangan heran kalau kita melihat orang lagi berciuman. Lumayan juga kalau melihat sepasang remaja lagi indehoi. Tapi suatu kali, yang kita lihat sepasang nenek dan kakek lagi deep kiss. Alamaaaak….

Hotel bintang 3 tarifnya sekitar 200 DM per malam. Di tiap hotel biasanya ada tv kabel yang menyiarkan berbagai siaran tv. Di hotel kami di Astron, setelah pukul 12.00 ada blue film dan iklan call girl. Belum lagi kalau kita mau pay tv. Kita bisa menonton film blue kapan saja, asal membayar.

Lapangan sepakbola di Frankfurt bagus-bagus. Rumputnya hijau dan sangat indah. Pohon-pohon juga masih banyak. Sawah dan kebun anggur juga terlihat rapi. Aku tak mengira kalau di Eropa masih ada persawahan seperti itu.

Di Frankfurt sebenarnya banyak museum. Kita bisa mengunjunginya dengan city tour. Akan tetapi, kami tak sempat mengunjunginya karena tarifnya rupanya mahal sangat. Sebagai gantinya kami berangkat ke kota Koeln.

Wisata Kuliner

Ada banyak restoran di Frankfurt: dari mulai Chinese, Thai, Italian sampai Fast Food Restaurant. Untuk menjamin kehalalan bagi yang muslim bisa makan di restoran yang dimiliki oleh orang Turki, Libanon, Tunisia dan beberapa imigran muslim lainnya. Biaya untuk sekali makan sekitar 25 DM di Chinese Restaurant dan 15 DM di restoran Arab atau restoran Fast Food.

Perlu diingat, bagi yang muslim jika makan McDonald jangan memesan hamburger karena yang digunakan adalah benar-benar daging ham (babi), tidak diganti dengan sapi seperti yang terjadi di Indonesia.

Ada satu restoran Cina yang enak di kompleks bandara. Kita bisa memesan nasi goreng ayam yang menunya juga tertulis NASI GORENG, bukan Fried Rice.

Nasi gorengnya enak banget dengan campuran potongan buah nanas dan aroma bumbu yang khas. Rasa bumbu yang khas ini tak pernah kutemukan di Indonesia. Tak lupa, diselingi oleh acar timun yang membangkitkan selera.

Jika di restoran Arab kita dapat makan kebab, kari ayam, nasi kebuli dan masakan halal lainnya. Harganya cukup murah, tapi jangan dikurskan ke rupiah karena akan sakit hati. Dengan 10 DM sudah cukup kenyang. Bahkan untuk Yogen Crepes kita cukup membayar 5 DM untuk satu jenis kue.

Kami juga sempat mencoba sebuah restoran Thailand dengan menu seperti Tom Yam, udang goreng tepung dan beef. Waiter-nya ternyata bisa berbahasa Melayu karena berasal dari Malaysia. Ternyata Malaysia punya TKW juga. Makan di restoran ini waktu kita dibatasi sampai pukul tiga sore karena mereka harus mempersiapkan untuk makan malam.

Kalau kita membawa lauk seperti rendang, dan kita mau menghemat, kita bisa membeli nasi putih di restoran Cina atau restoran Thai. Harganya 2 s/d 5 DM per porsi, tergantung restorannya. Harga ini hampir sama dengan harga Coca Cola kaleng yang bertarif 2 DM.

Public Transport

Kereta api merupakan moda transportasi utama selain bus kota dan trem. Kereta api ini sangat cepat menghubungkan tiap sudut kota. Pada stasiun besar, peron biasanya terletak di bawah tanah. Setelah beberapa ratus meter, kereta kembali berjalan di atas tanah. Sebelum naik kereta kita harus membeli karcis lewat mesin sesuai dengan tujuan. Ada tiket untuk satu orang, dua orang dan grup (5 orang). Semakin banyak orang semakin murah harga tiketnya.

Tidak ada yang memeriksa karcis di peron atau di dalam kereta. Hanya saja, sesekali ada pemeriksaan mendadak di kereta. Bila kedapatan tidak mempunyai karcis, penumpang tersebut didenda 60 DM atau sekitar 300 ribuan rupiah.

Suasana di kereta Jabotabek ala Frankfurt cukup nyaman. Kecepatan kereta ini sekitar 100 km/jam dengan suspensi yang lebih baik dari kereta Argo di Indonesia. Karena udaranya segar, jadi tidak perlu AC. Bahkan di musim dingin ada pemanasnya.

Di kereta terkadang kita temukan orang membawa sepeda. Maklumlah, di kereta ini memang banyak ruang kosong. Sepertinya, lebih diorientasikan untuk penumpang berdiri. Pada jam sibuk tempat duduk terisi penuh, sehingga kita harus berdiri.

Selama pameran, kita dapat membeli tiket borongan untuk beberapa hari yang tarifnya pasti jauh lebih murah. Dengan tiket ini kita dapat menaiki semua moda transportasi sepuasnya selama 24 jam untuk dalam kota. Untuk keluar kota tentu kita harus membeli karcis yang berbeda.

Pelesir ke Koln

Minggu pagi kami bersiap-siap menuju ke Koln dengan kereta api kelas ekonomi. Tiketnya cukup murah, 20 DM untuk perjalanan pulang pergi 5 orang dengan perjalanan 4 jam. Kami dipandu oleh Bang Manshur, menantu Pak Endang Soenarja, mantan pejabat Depdiknas. Dia sudah 4 tahun tinggal Bohum dan sedang menyelesaikan studi doktoralnya. Dia alumni Universitas Mataram. Orangnya cukup nyantri untuk ukuran Indonesia. Di atas kereta api dia melakukan sholat qasar.

Bagi kita yang hanya melancong ke Jerman memang sangat menikmatinya. Akan tetapi, bagi dia yang sudah 4 tahun tinggal di Jerman, suasana Jerman membuatnya jenuh. Mungkin karena dia merasa teralienasi, kangen atau kehilangan kehangatan bermasyarakat seperti yang bisa ditemukan di masyarakat Indonesia.

Sepanjang jalan ke Koln pemandangannya sangat indah. Kereta menyusuri tepian sungai yang jernih dan dilayari oleh kapal wisata. Di seberangnya terlihat peninggalan kastil kuno yang masih utuh dan terawat. Di tempat inilah, dekat Bonn, konon Aliansi Utara Afghanistan mengadakan rapat-rapat mereka.

Sebelum mencapai Koln kita melewati Bonn, bekas ibukota Jerman Barat. Di kota kecil ini kami tidak turun dari kereta karena takut telat. Sayang, sih, sebenarnya. Sesampainya di Koln kami langsung menuju katederal terbesar di Jerman. Masih tersisa kemegahannya, meskipun sebagian bangunannya terbakar akibat dibom pada perang dunia kedua.

Di gereja kami berfoto dan mengambil gambar. Tampaknya gereja sudah menjadi tempat wisata bagi orang Eropa. Suasana syahdu sebenarnya cukup terasa. Akan tetapi, suasana itu tertutup oleh lalu lalang turis yang sedang ngobrol.

Di kota ini kami menyempatkan diri untuk keliling kota, window shopping dan membeli suvenir. Di sepanjang jalan banyak skin head yang sedang nongkrong. Di kompleks stasiun kami makan di sebuah restoran Italia. Aku memesan ikan tuna dan kentang goreng.

Pukul 5 sore kami pulang menuju Franfkfurt dengan kereta api bertingkat. Menemui keunikan ini, tentu saja kami langsung naik ke lantai dua. Sepanjang perjalanan, kami bersua dengan satu keluarga Jerman yang baru berlibur juga. Kami bercanda dengan tiga orang anaknya yang lucu-lucu. Kami mengambil gambar mereka dengan kamera video. Ternyata orang bule norak juga ya kalau lagi disyut.

Saat itu, HP Nokia 5110 masih laku dan banyak dipakai para ABG. HP yang berbentuk mini hampir sulit ditemukan. Mungkin mereka menyesuaikan diri dengan ukuran tangan mereka yang segede gaban. Lagipula, harga barang elektronik di sini memang lebih mahal daripada di Indonesia, bisa dua kali lipat.

Baggage Storage

Di tiap stasiun kereta dan bandara di Frankfurt ada tempat penitipan. Jika kita tak ingin membawa barang ke hotel karena kita mau langsung ke tempat wisata, kita bisa menitipkan barang bawaan kita dengan tarif yang lumayan mahal.

Sistem loker ada yang otomatis ada yang manual. Kalau yang otomatis, kita cukup memasukkan koin beberapa DM dan terbukalah lokernya. Apabila telah melewati batas waktu yang telah ditentukan (misalnya 24 jam), maka pintu loker akan terbuka secara otomatis.

Sementara itu, di tempat penitipan yang manual kita dilayani oleh petugas. Tarifnya sekitar 3 DM untuk satu koli selama 6 jam. Kita akan membayar setelah kita mengambil barang tersebut sesuai dengan lama barang tersebut kita titipkan.

Sholat di Mana, ya?

Selama perjalanan di Eropa memang agak sulit untuk melaksanakan sholat lima waktu pada waktunya karena sulit mencari mushola atau masjid. Di arena Frankfurt Book Fair, misalnya, tidak ada tempat khusus untuk sholat.

Kalau kita cukup PD, kita dapat sholat di mana saja. Sebagai musafir kaum muslimin diberi kemudahan (rukhsah). Aku berijtihad dengan menjamak 3 sholat (zuhur, ashar dan magrib) di waktu magrib. Apalabila di waktu magrib belum sampai di hotel juga, terpaksa aku menjamak 4 sholat di waktu isya, merujuk pada Yasser Arafat waktu dikejar-kejar tentara Israel.

Untuk urusan kiblat, karena tidak punya kompas, terpaksa kita mengira-ngira. Bukan barat dan timurnya yang penting, kan?

Di tiap kota Eropa sebenarnya ada mesjid, cuma mungkin posisinya jauh dari pusat kota. Bahkan, koran berbahasa Arab juga dapat ditemukan di sini.

Konon, banyak mesjid yang disulap dari gereja. Atau mesjid disulap jadi kuil di India, dan sebaliknya. Begitulah roda nasib bertukar.

Di Jerman banyak berkumpul ekstrimis dari semua unsur. Ada ekstrimis yang ingin mendirikan negara Islam, negara Kristen, negara Yahudi dan Neo Nazi yang terkenal dengan Skin Head-nya. (Hery Azwan, Jakarta, 2001)

Keterangan Foto:

Di halaman arena Frankfurt Buchmesse

2 tanggapan untuk “The Journey #2: Around Frankfurt

  1. Ping-balik: PLBK « Hery Azwan
  2. Oooooh tahun 2001 ya Bang… Waktu aku ke sana pas pergantian Euro, jadi semua masih pada bingung transfernya. Dan yang menarik Euro itu ternyata gambarnya berbeda menurut negaranya. Jdi aku sempat koleksi hihihi.

    Kalau biaya copyright min 500 $ lumayan murah ya Bang. Saya belum pernah tahu sih, dan punya image mahal sekali.

    Oh ya satu lagi tentang Messe. Di sini ada tempat yang namanya Makuhari Messe, rupanya dari bahasa Jerman ya… Memang kota Makuharinya ada tempat pameran yang besar. Benkyo ni narimashita (I got something from your post).

    Iya udah jadul banget, 2001. Kalau aku lagi down, biasanya aku selalu mengenang pengalaman indah ini untuk menghiburku.

    Baru tahu juga kalau uang Euro berbeda sesuai negara.

    Copyright memang sangat bervariasi harganya, tergantung best seller atau tidaknya sebuah buku dan kebaikan hati penerbit yang punya copyrightnya.

    Wah, di Jepang ada messe juga rupanya. Jadi nambah ilmu nih…

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s