Macet Itu Indah

Kian hari, kemacetan semakin menjadi-jadi. Sebulan terakhir kemacetan ini mencapai puncaknya.

Jarak 10 km dari rumahku di Ujung Menteng menuju kantor di Kawasan Pulogadung yang biasanya ditempuh dalam satu jam, molor menjadi satu setengah jam. Pernah suatu kali, lalu lintas benar-benar terhenti di sekitar Carrefour Cakung. Bahkan motor yang biasanya sradak-sruduk juga tidak berkutik. Ada apakah gerangan?

Musim hujan yang tak kunjung henti menyebabkan jalan berlubang ternganga di mana-mana. Belum terlihat ada usaha dari pemkot atau dinas PU untuk memperbaikinya. Akibatnya, semua kendaraan harus berhati-hati saat melewati lubang tadi.

Petaka ini masih ditambah oleh perilaku metromini dan angkutan umum yang ngetem sembarangan. Tak jarang, antriannya bisa sampai satu kilometer. Kalau menurutkan emosi, mau rasanya kutembak saja ban metro mini tadi (kalau punya pistol).

Untunglah wapres kita sangat bijak dan menghibur,”Kemacetan menandakan ekonomi berputar. Artinya, rakyat semakin banyak yang mampu membeli kendaraan. Sementara itu, pertambahan jalan tidak seimbang”.

Dalam hati aku mengiyakan saja celotehan Pak Wapres. Jika mau berpikir jernih, terjebak macet merupakan suatu yang perlu disyukuri. Dengan terjebak macet berarti kita masih bekerja. Kalau kita menjadi penganggur dan tinggal di rumah, pasti tidak akan terjebak macet.

Meskipun demikian, tentu saja kita tidak boleh pasrah. Jika bisa pindah ke rumah di tengah kota, baik rumah darat maupun rumah awang-awang (apartemen), tentu peluang-peluang ini tidak ada salahnya dicoba.

Kemungkinan lain adalah dengan bekerja dari rumah. Memang sulit untuk meminta fasilitas ini jika kita masih menjadi karyawan.

Di masa depan, bisnis kecil-kecilan lewat internet mungkin akan semakin menjadi alternatif. Peluang-peluang ini memang sudah banyak yang memanfaatkan, tetapi memang tidak signifikan sehingga tidak mampu mengurangi kendaraan yang beredar di jalan.

Akhirnya, ada dua golongan manusia dalam menghadapi kemacetan. Golongan pertama, macet membuat mereka semakin sabar dan tabah menghadapi cobaan hidup. Golongan kedua, macet membuat mereka depresi, stres atau bahkan sakit jiwa. Kalau saya sih memilih yang pertama. (Hery Azwan, 27/2/2008)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s