Ketika Pak Guru Main Tangan

Saat itu kami, murid kelas lima SD III, sedang menyelesaikan soal matematika. Suasana cukup hening karena setiap murid berupaya mencari jawaban. Guru kelas kami, Pak Siahaan, sedang berhalangan masuk, sehingga diganti oleh kepala sekolah.

Kepala sekolah kami namanya B Pakpahan. Orangnya tinggi besar. Baru melihatnya dari jauh saja, semua murid pasti ngeper. Sebisa mungkin kami menghindari pertemuan dengannya.

Jam pertama kebetulan pelajaran matematika. Kepala sekolah menjelaskan kepada kami cara mengerjakan sebuah soal. Setelah jelas, dia meninggalkan kelas.

Setengah jam kemudian. Kepala sekolah masuk ke dalam kelas. Dia mendekati mejaku dan memeriksa pekerjaanku. Tanpa kusadari, tiba-tiba sebuah tamparan menerpa wajahku.

Tamparan itu sungguh memekakkan telingaku. Pandanganku berkunang-kunang. Murid lain bingung dengan apa yang terjadi.

“Ganti. Jangan sok pintar. Ikuti cara yang saya ajarkan”, kata kepala sekolah kepadaku.

Aku hanya terdiam. Menurutku, tak ada yang salah dengan caraku mengerjakan soal matematika. Jawaban akhirnya sama. Hanya saja, aku mengerjakannya ke samping, bukan menurun seperti yang diinginkannya.

Bagiku, ke bawah atau ke samping sama saja. Hanya saja, menurutku menulis jawaban ke bawah akan memboroskan kertas. Jika dikerjakan ke samping, buku akan awet karena ruang yang digunakan lebih efisien.

Logikaku ini tidak dapat diterima kepala sekolah. Menurutnya, satu-satunya cara yang benar adalah seperti yang dia ajarkan.

Sakit fisik karena tamparan itu memang hilang beberapa saat kemudian. Tetapi sakit hati karena dipermalukan di depan murid lain cukup membekas. Untunglah aku tidak trauma atau ngambek mogok sekolah. Meskipun begitu, aku tidak bisa melupakannya.

Saat naik kelas enam, kepala sekolah malah mempercayaiku menjadi petugas perpustakaan sekolah. Aku bertugas menyampul buku perpustakaan. Saat itu, seolah-olah aku menjadi murid kesayangan.

Saat ini, jika aku membaca berita tentang guru yang melakukan kekerasan kepada muridnya, aku pasti selalu mengingat peristiwa ini. Kok bisa-bisanya ada guru yang memukul murid. Anda pernah punya pengalaman yang sama? Saya harap tidak. (Hery Azwan, 4/3/2008)

3 tanggapan untuk “Ketika Pak Guru Main Tangan

  1. Hah … terus terang panas juga melihat kelakuan kep-sek ini …

    Saya paling benci cara beginian …

    Bersyukurlah abang tidak mogok waktu itu ya bang … (dan bersyukur juga orang tua abang tidak memperkarakan kejadian itu ..)(hehhe)

    Alhamdulillah … saya belum pernah ditampar oleh guru …
    Kalo dicubit sama bu Guru ? … nah itu sering soalnya … saya orangnya cute sih … (halah)

    hai bang … sibuk nih ?

  2. Bah, tahun berapa itu dan sekuat apa tamparannya!!, jangan sakit hati lah. Saya SD tahun 1958-1964, dan masih dipukul guru, terutama kalau berbuat salah, misalnya tidak buat PR, berantam, terlambat. Kita pasti tidak mau memberitahu kepada Orang Tua, karena kita juga pasti dimarahin mereka. Orang Tua sangat percaya sama guru. (Ketika itu he3x).
    Saya juga paling tidak setuju ada kekerasan!!, dan bukan jamannya lagi. Tetapi, harus dibedakan dengan marah atau kata halusnya “teguran” yang diberikan, untuk kebaikan selanjutnya.

    Kisah nyata ini terjadi sekitar tahun 1982. Kuatnya tamparan kira-kira seperti ada bintang kuing-kuing layaknya di film kartun. Kalau ditampar karena kesalahan perilaku mungkin kita bisa terima, tetapi kalau masalah perbedaan dalam memandang materi pelajaran, susah kali melupakannya. Memaafkan memang bisa, tetapi melupakan tidak. Terima kasih tanggapannya Pak Singal

  3. he3x, mirip JASMERAH nya Presiden Sukarno Jangan Sekalikali Melupakan Sejarah, dalam arti belajar dari masa lalu untuk kebaikan kita kedepan, terimakasih terimakasih kembali.

Tinggalkan Balasan ke Singal Batalkan balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s