Hari Sabtu kemarin (8/3/2008) aku diminta mengajari Alma belajar ngeblog. Alma, anak bosku, baru kelas IV SD Tiara Bangsa yang berhaluan Anglo-Chinese International School.
Minggu depan dia akan pergi ke Cina selama 15 hari. Di sana dia akan mengunjungi 4 kota.
Mengapa harus ke Cina? La iya lah… Masa ke Zimbabwe. He he..
Sejak kelas 1 SD, pelajaran bahasa Mandarin diajarkan empat kali pertemuan dalam seminggu. Kalau bahasa Inggris sih nggak usah dibilang karena sudah menjadi bahasa pengantar dalam KBM (kegiatan belajar mengajar).
Agar bahasa Cina yang mereka pelajari sesuai dengan standar aslinya, selama 15 hari itu mereka akan langsung tinggal di Cina bersama penutur aslinya. Bayangkan kalau dulu waktu SD kita tinggal di London selama 15 hari juga. Pasti bahasa Inggris kita sudah cas cis cus.
Lalu mengapa pake belajar ngeblog segala?
Kata Alma, setiap murid diwajibkan oleh guru untuk menuliskan catatan perjalanannya. Blog merupakan suatu wadah baru yang coba diperkenalkan oleh sekolah. Di sana mereka bebas menulis apapun bersama foto-foto mereka.
Yang menarik dari sekolah ini, aku tahu dari ibunya Alma, setiap tahun orangtua murid dikirimi kuesioner untuk melihat tanggapan orangtua. Di antaranya, bagaimana tanggapan mereka tentang aktivitas sekolah, apakah sudah sesuai dengan visi dan misi?
O, ya visi sekolah ini adalah “develop future leader bla bla bla…” Yang menarik, ada kata-kata “spiritual growth” di situ.
Salah satu kegiatan yang cukup menarik adalah bazar pernak pernik. Setiap siswa membuka stan di hall dan menjual pernak pernik yang sudah tidak mereka sukai, misalnya anting, gelang, jepit rambut, dsb. Transaksi dilakukan oleh sesama siswa. Setelah itu, uang yang terkumpul akan disumbangkan kepada yayasan yatim piatu.
Melihat sekolah yang hebat ini terkadang aku minder juga. Bagaimana anak sekolah kampung bisa bersaing dengan mereka? Eh, bukan bersaing, tetapi bekerjasama.
Tetapi setelah melihat banyak sejarah yang membuktikan bahwa sekolah bagus apalagi sekolah tinggi bukanlah jaminan untuk sukses, aku jadi sedikit optimis. Minimal, nantinya anak-anakku, meskipun tidak sekolah di Tiara Bangsa, bisa menjadi future leader. Masa kalah dengan Obama yang sekolah di Jakarta, sekolah negeri pula, yang bisa menjadi calon presiden Amerika Serikat, negara adikuasa.
Pengalaman juga mengajarkan bahwa tidak sedikit anak-anak yang saat kecilnya diberi fasilitas berlebihan, akhirnya terlena, manja sehingga kehilangan orientasi hidup.
Di sebuah kawasan di Amerika, kalau di sini seperti Pondok Indah, tidak sedikit remaja yang mati sia-sia setiap tahunnya karena overdosis. Orangtua mereka yang kaya ternyata bukanlah jaminan untuk memperoleh kesuksesan, apalagi kebahagiaan, dalam hidup.
Karena itu, kekayaan harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan seluas-luasnya. Sebaliknya, kemiskinan jangan menjadi hambatan, melainkan dijadikan batu loncatan atau tarikan pendulum yang melancarkan pantulan menuju sisi yang berlawanan.
Kaya dan miskin, keduanya mempunyai tantangannya masing-masing. Posisi start yang berbeda bisa menjangkau garis finish yang sama. Kebahagiaan adalah pilihan kita. Letaknya di hati…(Hery Azwan, 10/3/2008)