Mendiknas akhirnya menetapkan harga eceran tertinggi untuk buku pelajaran sebesar Rp 7.500. Kebijakan ini merupakan amanah dari presiden dan upaya mereformasi industri buku pelajaran, demikian Mendiknas seperti diberitakan Kompas 27/3/2008.
Menurut beliau, harga cetak hanya Rp 6.000, sehingga jika dijual pada harga Rp 7.500, penerbit sudah memperoleh untung. Kebijakan ini juga diharapkan dapat merangsang tumbuhnya toko buku karena harga buku yang murah membutuhkan modal kerja yang relatif kecil.
Kebijakan Populis
Jika dilihat dari sisi konsumen, selintas kebijakan ini sangat menguntungkan. Siapa yang tidak suka dengan yang serba murah: beras murah, minyak goreng murah, obat murah, mobil murah, tiket pesawat murah, pulsa murah, hp murah.
Di sisi lain, murah biasanya identik dengan rendahnya kualitas produk atau layanan. Yang paling hangat, sebuah maskapai bertiket murah akhirnya harus ditutup karena mengabaikan aspek keselamatan demi efisiensi biaya. Operator seluler yang menawarkan pulsa murah akhirnya juga mengecewakan konsumen karena traffick-nya sangat ramai sehingga pelanggan sulit melakukan panggilan.
Dari sisi produsen, tentu saja harga murah mengurangi keuntungan. Bagi petani padi, kebijakan beras murah akan membuat nasib mereka selalu dipinggirkan. Bagi petani kelapa sawit kalau bisa harga sawit dunia terus naik sehingga pendapatan mereka juga meningkat.
Karena itu, harus ada jalan tengah: berapa harga yang pantas untuk sebuah produk atau jasa. Harga tersebut tidak memberatkan konsumen, tetapi juga masih memberikan keuntungan yang layak bagi produsen, baik untuk menutupi biaya operasionalnya maupun untuk investasi pengembangan produk.
Jika melihat harga buku pelajaran yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 7.500 dari sekitar Rp 26.000 harga rata-rata saat ini (menurut berita Kompas), perbedaannya sangat ekstrem. Menurut Junaidi Gafar pada opini Kompas 24/3/2008, tindakan pemerintah ini sama saja dengan membeli sawah petani dan menjadikan mereka sebagai buruh semata. Dengan kata lain, pemerintah ingin menskak mat penerbit buku pelajaran.
Harga Rp 6.000 hanyalah harga biaya cetak. Padahal komponen biaya tidak semata ditentukan oleh harga cetak. Dalam bisnis air mineral atau minuman botol, misalnya, biaya distribusi dapat dipastikan lebih mahal daripada harga memproduksi airnya. Harga sebotol air mineral ukuran 600 ml senilai Rp 2.500, jangan-jangan harga produksi airnya tidak sampai Rp 300. Belum lagi ditambah biaya pengelolaan merek, promosi, over head, dll.
Menjelang pemilu 2009, kebijakan populis seperti ini tentu saja dapat digunakan oleh incumbent sebagai salah satu peluru untuk menghadapi lawan politik. Pemerintah telah mengambil sikap untuk membela secara berlebihan kepentingan rakyat banyak di atas penderitaan segelintir penerbit. Biarlah penerbit bubar, asalkan rakyat senang. Demikian barangkali prinsip pemerintah.
Merangsang Toko Buku?
Mendiknas beranggapan bahwa buku murah dapat merangsang tumbuhnya toko buku karena modalnya lebih rendah juga. Asumsi ini perlu dikritisi karena dengan harga Rp 7.500 tidak ada penerbit yang sanggup beroperasi. Mengapa?
Selama ini, diskon yang diperoleh toko buku dari penerbit sekitar 30%. Jadi, jika harga jual Rp 7.500, maka diskon yang diperoleh toko buku sebesar Rp 2.250. Hasil pengurangan harga jual dengan diskon diperoleh angka Rp 5.250. Padahal, harga cetak Rp 6.000.
Dari sini saja pencetak/penerbit sudah rugi. Belum lagi ditambah komponen biaya lain. Dengan demikian, asumsi bahwa harga buku murah akan merangsang tumbuhnya toko buku adalah asumsi yang terlalu prematur dan tidak berdasarkan fakta di lapangan.
Menguntungkan Penulis?
Kebijakan pembelian hak cipta oleh pemerintah ini disebutkan telah merangsang guru untuk menjadi penulis. Bahkan, pemerintah akan menyelenggarakan pelatihan penulisan buku kepada guru.
Jika melihat imbalan yang diterima penulis yang menjual hak ciptanya kepada pemerintah sejumlah Rp 75 juta per buku, sepertinya nilai ini cukup besar. Tapi jangan lupa, uang ini diterima penulis hanya sekali saja dalam masa 15 tahun, tidak setiap tahun. Nilai ini juga belum dipotong ongkos produksi seperti honor ilustrator, honor layouter, biaya cetak buku contoh, biaya riset dan pembelian referensi.
Padahal, selama ini penulis bisa memperoleh royalti setiap tahun dari penerbit. Bagi penulis buku best seller, nilai royaltinya bahkan bisa membuat sang penulis dapat berfokus menjadi penulis profesional dan meninggalkan profesi awalnya.
Selain itu, kebijakan pemerintah ini dapat menghalangi kesempatan penulis lain untuk berkreasi. Jika kita pukul rata ada 150 penerbit buku pelajaran, maka ada 150 orang penulis untuk satu mata pelajaran.
Sementara itu, jika naskah dibeli pemerintah, paling banter pemerintah hanya mampu membeli maksimal 5 naskah dari 5 penulis untuk satu mata pelajaran. Bayangkan berapa penulis yang menjadi korban, sekitar 145 (150-5) penulis.
Di samping itu, selama ini sudah banyak guru yang menulis buku pelajaran. Ibu Retno Listiyarti yang berperkara dengan Akbar Tanjung merupakan penulis buku Kewarganegaraan pada salah satu penerbit dan sekaligus seorang guru pada sebuah SMA Negeri.
Kualitas Pendidikan?
Di tengah era informasi saat ini, peluang siswa untuk memperoleh bahan ajar yang berkualitas sangat terbuka. Dari internet, semua bahan pelajaran dapat diperoleh. Bahkan banyak penerbit yang mulai menjajagi kerjasama dengan Google sehingga bisa diakses pada Book Search. Meskipun demikian, tidak semua isi buku dapat ditampilkan di internet. Google hanya membatasi 20% dari isi buku sehingga penerbit juga tetap dapat menjual edisi cetaknya.
Kebijakan pemerintah untuk meng-upload naskah yang telah dibeli hak ciptanya dari penerbit secara penuh (100%) dapat dianggap sebagai sebuah terobosan yang berani. Dengan demikian siswa di daerah terpencil tidak terkendala dengan biaya distribusi buku yang mahal, meskipun timbul masalah lain seperti biaya koneksi internet yang masih relatif mahal. Bagi penerbit, buku dalam bentuk e-book ini merupakan ancaman yang serius terhadap edisi cetaknya.
Pemerintah berharap agar penetapan harga eceran tertinggi buku pelajaran senilai Rp 7.500 dapat menimbulkan persaingan yang sehat di antara penerbit. Seperti yang telah dibahas di atas, harga ini tidak logis. Jadi, alih-alih akan meningkatkan kompetisi penerbit, malahan mereka akan menurunkan spesifikasi sehingga kualitas fisik buku semakin jelek.
Akibat dari kualitas fisik buku yang jelek adalah siswa yang kurang bersemangat dalam belajar. Pada akhirnya, kualitas pendidikan kita akan dipertaruhkan.
Selain itu, perlu disadari kembali bahwa daya beli setiap siswa/orangtua berbeda. Tidak semua siswa memerlukan buku murah. Di kota-kota besar banyak sekali orangtua yang berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di sekolah favorit, betapapun mahal biayanya akan mereka tabrak.
Semakin mahal uang sekolahnya, semakin banggalah orangtua. Di saat ada pertemuan keluarga atau arisan, dengan bangganya mereka bercerita tentang betapa mahalnya biaya sekolah anak mereka.
Saya, sebagai salah satu editor di penerbitan buku sekolah, agak ‘terganggu’ dengan ide ini yang menurut saya malah akan menurunkan kualitas buku pelajaran. Beberapa tahun terakhir ini, penerbit bersaing untuk membuat buku makin berwarna, makin luks supaya anak makin tertarik baca. Beda dengan zaman saya sekolah di mana buku B/W sudah cukup.
Saya menghargai niat pemerintah untuk membuat buku murah, tapi kok malah akhirnya jadi buku murahan.
Membeli buku dari penulis seharga 150 juta memang bikin ngiler penulis baru. Tapi tidak untuk penulis lama. La wong 150 juta itu untuk 15 tahun kok.
Jujur aja, kalau penerbit dipaksa jualan buku Rp 7.500 itu jadinya apa? Apa mau seperti LKS?
Sebenarnya pemerinta itu mitra penerbitan or musuh penerbitan sih?? menurut saya ga logis di tahun 2008 ada buku yang harganya 7500. sekali makan siang juga sudah minimal 6000. Dikhawatirkan mutu buku rendah banget!!! bagaimana bangsa ini mau maju kalau kualitas bukunya rendah????????????? ada-ada saja pemerintah………..
Kebijakan Menjelang Pemilu
Kebijakan buku murah di satu sisi agak meringankan konsumen (kedengarannya), namun tetap saja tidak logis ditengah merangkaknya harga bahan bakar, listrik,dan bahan-bahan pokok (multiplier effect). Coba kita kaji kelayakannya, penerbit harus menghitung ongkos produksi dan distribusi dengan harga Rp6000. Dan itu berlaku untuk seluruh buku pelajaran, sungguh tidak logis. Pertanyaannya, apakah ini kebijakan yang tidak tergesa-gesa untuk menjawab sekolah gratis dan buku murah sesuai yang disampaikan pada saat “janji politik”? Ataukah kebijakan ini masih ada hubungannya dengan santernya gaung menjelang Pemilu? Sekali lagi tidak logis.
Saya salut dan kagum atas tulisan Anda tentang “Buku Pelajaran Murah Jilid 2” (Jilid 1-nya mana?). Isi tulisan tersebut persis seperti yang saya pikirkan selama ini, cuma tidak pernah tersalurkan melalui tulisan. Jumlah pekerja di sektor toko buku itu belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka yang bekerja di sektor percetakan dan penerbitan. Apakah jumlah pekerja sebesar itu harus dikorbankan? Taruhlah jika asumsi Mendiknas benar, misalnya harga cetak buku Rp 6.000,00 dan harga jualnya Rp 7.500,00, kemudian penerbit menjual buku itu dengan harga Rp 26.000,00. Ini berarti ada selisih antara harga jual riil dengan harga jual penerbit sebesar Rp 18.500,00 (biasanya dalam bentuk rabat). Sebenarnya tugas Mendiknas itu gampang, yaitu memangkas yang Rp 18.500,00 itu. Sebab, ada atau tidak ada yang Rp 18.500,00 itu, penerbit tetap hanya dapat dari yang Rp 7.500,00. Jadi, seandainya rabat itu dihilangkan tidak berpengaruh pada penghasilan penerbit dan buku murah pun dapat terwujud. Asalkan law enforcement-nya benar-benar ditegakkan, saya kira penerbit oke-oke saja. Adil dan proporsional, bukan? (Ngomong-omong, kontak e-mailnya ke mana, ya?)
Benar kalo negeri ini disebut “Republik Mimpi” masak harga buku sama harga rokok malah mahal rokoknya. Walaupun ada juga orang yang PELIT untuk beli buku tapi untuk beli rokok setiap hari tidak mengeluh sama Pemerintah.
Untuk membeli buku dengan harga Rp 30.000,- / exp sebenarnya semua orang tua pun mampu, lihat saja uang saku anak SD sekarang saja minimal Rp 3.000,- s/d Rp 5.000,- per hari, kalo mereka menabung Rp 1.000,- per hari setahun untuk membeli buku sudah lebih dari cukup untuk membeli 10 buku mata pelajaran. dan si anak pun akan merasa ikut handarbeni (memiliki) di samping mendidik menabung untuk kepentingan diri sendiri.
Harga buku murah memang niat pemerintah membela kepentingan rakyat, tapi penerbit dan seluruh karyawannya juga rakyat yang tidak sedikit.
Kalo niatnya politik untuk pemilu 2009, justru bumerang karena saat ini ada 150an penerbit rata2 @ 100 karyawan berarti 1,5 jt orang pada pemilu 2009 tdk akan memilih Pemerintah yang sekarang.
Selamat Bermimpi….
Saya sudah baca tulisan tentang Buku Murah Jilid 2. Saya rasa tulisan ini sangat bagus dan perlu diketahui publik secara luas.
Saya sangat mendukung apabila tulisan ini dikirimkan ke salah satu media nasional agar masyarakat dapat informasi pembanding terhadap rencana pemerintah menetapkan harga jual buku teks pelajaran.
Junaidi Gafar
Penerbitan dan Grafika Politeknik Negeri Jakarta
(EKs Politeknik UI- Kampus UI Depok)
Bunuhlah penerbitan!
Niscaya bangsa ini akan semakin bodoh!
Pengangguran akan semakin banyak!
Jadi tergelitik buat curhat nih..
sebagai seorang ayah dari seorang pelajar SD, ide pemerintah ini nampaknya ga bagus-bagus banget deh.. ada yang harus kita pertimbangkan:
1. Berapa biaya beli komputernya (kalo blom punya)
2. Berapa biaya akses internetnya
3. kalo di warnet berapa biaya donlotnya
4. berapa biaya print per lembarnya (kertas ma tintanya kalo dijilid jg)
5. anak sekarang dikasih buku bagus2 aja jarang mau baca apalagi hasil print gitu.
jadi kayaknya ini peluang juga buat penerbit nih..
1. buka toko buku online yang nyediain e-book buku pelajaran gratis sekalian brand image juga
2. jual buku yg Rp. 7.500 tp biaya kirim konsumen yg tanggung (saya juga mau kok, daripada repot2 donlot trus ngeprint)
3. ada segmen pasar tertentu yang anak-anaknya pengen bukunya bagus… kenapa ga dimanfaatin aja. cetak buku edisi luks.. jual online aja
gitu lho masss…
ya tujuanpemerintu
bagus, pengen m
eringankan beban rakyatnya,tapi dengan harga buku 7.500 itu akan mematikan penerbit buku, dan karyawanya pasti akan nganggur, apakah karyawan penerbitan bukan rakyat Indonesia ? menurut saya itu bukan solusi yg tepat, kayaknya baru di negara kita yg harga bukunya pelajaranya semua 7.500
Ngomong-ngomong, di mana saya bisa mendapatkan buku pelajaran seharga 7.500? Apakah sudah ada yang mau menerbitkan/mencetaknya? Saya mau pakai buku itu sebagai pengganti minyak tanah yang biasa saya pakai untuk bakar sampah.
mana ada buku murah dinegeri kiti tuh bayak tikusnya jadi jangan berharap ada buku pelajara harganya 7500
numpang lewat ya…
eits, meski ada program buku murah, ternyata banyak kasek yang menjual buku dari terbitan lain lo.Dan ini memaksa siswa harus beli buku seperti yang ditetapkan sekolah, misalnya IPA terpadu terbitan ****.Bukannya murah, tapi tetap aja mahal (rata-rata buku daari terbitan yang punya loyal sekitar Rp 27 ribu).Bukannya itu memaksa.Padahal,aturan permendiknas no 2 2008 menyebutkan, kasek dilarang jual buku.(kalau murah, boleh)
aku kerja jadi jurnalis, ini kabar aja dari GM.Aku disuruh investigasi kesekolah favorit yang katanya bertindak “pemaksaan” buku.Serem juga ya….hi…hi ii
buku murah tidak perlu tetapi buku harga terjangkau diperlukan di negeri ini.Menurut pengamatan saya, yang bikin harga buku itu mahal adalah aparat pemerintah.Kayaknya depdiknas mau tangani buku lagi nih,habis enak sih berbisnis buku.Hai petinggi depdiknas ! masyarakat menunggu pikiran sehat anda.Tolong survey dululah bagaimana kehidupan pemilik toko buku di negeri ini, kayaknya belum layak deh kehidupannya .Ngak mungkinlah toko buku bisa hidup dengan rabat yang kecil itu. ngak mungkin, ngak mungkin.menurut saya harga buku biarkanlah pasar yang menetukan .Negeri ini harus banyak belajar ke negeri yang sudah duluan maju
Pembahasan yang menarik.
Makasih đŸ™‚
Ah.. copi paste dari forum Kaskus niy.. kaga kreatif..