Musik jazz sering diidentikkan dengan kalangan menengah-atas. Padahal, di tanah asalnya, Amrik sono, jazz lahir dari kalangan negro yang dianggap terbelakang. Di Indonesia, melihat profil penggemarnya, apalagi jika menimbang tiket konser seperti Java Jazz yang mahalnya naudzubillah, tak pelak lagi jazz merupakan sebuah gaya hidup yang “borju”.
Meskipun demikian, pasar jazz bagi musisi Indonesia memang sangat kecil (niche market), sehingga musisi jazz kawakan seperti Indra Lesmana rela menyanyikan lagu pop agar periuk nasinya tetap menyala. Dulu, lagu-lagu jazz Indonesia memang kurang menggembirakan penjualan kaset dan CD-nya.
Kini, perkembangan musik jazz Indonesia mulai menggeliat dengan semakin dikenalnya Maliq and D’Essential, sebagai pengusung aliran ini, oleh para ABG. Tentu saja jazz mereka masih berbau pop, sweet jazz atau light jazz (aha sok tau, benar nggak ya?). Bos Nh18 tolongin dong!
Ada kisah menarik tentang musik jazz ini. Saat pulang kantor, saya menyetel sebuah stasiun radio. Kebetulan, mereka mendatangkan musisi jazz dari luar negeri dan main secara live di studio tersebut.
Untuk mengakrabkan pemain band dengan penonton, diadakanlah sesi tanya jawab. Seorang penonton ngacung dan bertanya dengan pedenya, “I am very like David Benoit (maksudnya saya suka David Benoit), what’s your opinion?”.
Langsung saya ngakak berkepanjangan. Ngakunya penggemar jazz, tetapi tidak bisa membedakan LIKE sebagai VERB yang artinya SUKA dengan LIKE sebagai ADJECTIVE yang artinya SERUPA.
Wah, malu-maluin penggemar jazz aja nih orang. Kalau penggemar dangdut (maaf) yang seperti ini sih saya maklum karena sampai saat ini belum ada lagu dangdut yang dinyanyikan orang bule pake bahasa Inggris.
Tapi kalau penggemar jazz, gimana gitu loh? Secara lagu jazz kebanyakan dinyanyiin bule dan pake bahasa sono pula.
Penggemar jazz tadi mungkin mewakili kebanyakan kita. Kalau Beny & Mice tahu, si orang tadi pasti akan dimasukkan ke dalam komik mereka yang berjudul “100 Orang Yang Berpengaruh di Jakarta”.
Terkadang kita memang silau dengan tampilan daripada isi. Kita suka menilai buku dari covernya; menilai film dari posternya; menilai orang dari pakaiannya; menilai sukses dari tongkrongannya, dsb.
Kita memang lebih menyukai gincu yang warnanya menggoda tapi tidak memiliki rasa dari pada garam yang tidak menarik, tetapi memberikan rasa kepada makanan. Begitulah kita. Bagaimana menurut Anda?
JAZZ sejatinya adalah musik “perlawanan”
namun beda sama ROCK … kalo rock itu vulgar dan frontal …
Kalau JAZZ (dan juga BLUES) ini lebih pemberontakan introvert dan agak malu-malu … karena emang sejarahnya Jazz diciptakan dari kalangan budak-budak negro (kalo gak salah …) jadi mereka main pun sembunyi-sembunyi dan tidak frontal … mereka main untuk menghibur diri mereka sendiri … dan juga sedikit “berteriak” akan nasib mereka …
So JAZZ pada hakikatnya dulu muncul dari kalangan bawah justru … kalangan buruh/budak yang tertindas … yang benci kemapanan dan feodalism …
Cuma kalo di Indonesia jadi kebalik … JAZZ identik dengan kalangan atas … (hehehe)
I am very arrogant know yah !! … (maksude si Trainer sok tau )(hehehe)
Satu lagi … Aliran Jazz menurut saya hanya ada dua …
1. Mainstream … (ini aslinya dulu … yang juga terdiri dari beberapa aliran, ada beebop, NewOrleans, Dixieland, BigBand, Combo, Swing Jazz dan model-model orkes Glenn Miller
2. Modern Progresive … (kalo ini udah yang jaman sekarangan … dari Fussion, NuJazz sampe Acid Jazz dan yang sejenisnya)
But I think music is universal kind of human being … (hah)
I can not brake if talking about music … yang artinya … Saya tidak bisa direm kalo bicara tentang musik … (hihiiii)
Kasusnya hampir sama / paralel dengan fast food Pak. Di negara asalnya fast food kan murah meriah dan bahkan dicap sebagai junk food. Kalau di kita kalau fast food justru mahal (karena impor atau franchise) dan oleh karenanya dianggap sesuatu yg ‘wah’ … Memang dunia kita sudah kebalik-balik …
yups bener banget om..
kita memang tidak bisa menilai hanya dr penampilannya saja
Dan orang selalu maunya mengikuti arus mayoritas, tidak berani menjadi diri-sendiri dan melawan arus menjadi bagian minoritas. Karena sejak kecil saya selalu minoritas, maka sampai sekarang saya selalu berpihak pada kaum minoritas. Memang minoritas belum tentu bagus, tapi mayoritas pun belum tentu bagus. Tergantung kita pantas tidak kita berpihak pada sebuah kubu. Be yourself.
Maaf tidak menyinggung jazz nya (karena ngga pede ada pak NH), dan salam kenal pak.
Bang …
Just drop by …
RSS nya udah bisa ya … ???
Asssiiikkk …
Tenk kyu ya Bang …
Saya tidak tau harus berkomentar seperti apa, karena saya suka mendengarkan lagu jazz bahkan sampai ke lagu2 klasik..beberapa lagu dangdut yang “enak didengar” o telinga saya,saya suka..pop..rock.., etc..bahkan suara air mengalir pun jika memberikan “warna” di telinga saya…saya suka….Selama nyaman di telinga saya..saya suka. Di konsep saya tidak ada pemetaan musik.