Setiap ada kesempatan ke Bandung saya selalu merindukannya. Udara Bandung, meski tidak sedingin dulu, tetap menyimpan atmosfir yang menyegarkan pikiran.
Kali ini, kakak iparku yang tinggal di Bandung akan mengadakan syukuran khitanan anaknya, Fauzan, yang belum berumur 2 tahun. Bapak dan ibu mertuaku juga akan datang. Sekalian silalturahmi dengan keluarga besar pihak istri.
Tradisi Khitan
“Ah, anak sekecil itu kok sudah dikhitan. Aku dulu dikhitan pada saat aku duduk di kelas 5 SD”, demikian gumamku dalam hati.
Memang ada perbedaan tradisi antara orang Sunda dan Jawa. Meskipun tinggal di Medan, lingkungan keluargaku adalah orang Jawa sehingga aku dikhitan dalam usia yang cukup “berumur”. Bahkan temanku ada yang dikhitan pada saat kelas 3 SMP. “Wah, udah alot tuh. Nanti memotongnya pakai kampak”, canda kami saat itu.
Sebaliknya, pada tradisi Sunda, anak-anak sudah dikhitan paling lambat sebelum masuk SD. Begitulah perbedaan tradisi. Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Yang juga menarik dalam urusan perkhitanan ini adalah kesembuhan pasca khitan. Kalau dulu, kami baru sembuh total setelah seminggu sampai sepuluh hari. Kini, hari ini dikhitan, besok sudah bisa berlari. Memang perkembangan teknologi kedokteran sudah sedemikian canggihnya sehingga luka bisa dikeringkan dengan cepat.
Syukuran diadakan di rumah iparku yang asri. Pada tengah hari, udara yang berhembus tetap segar. Oh, terbayang jika acara seperti ini diadakan di Jakarta, pasti keringat sudah bercucuran.
Tenda tidak menutup semua hidangan sehingga kalau hujan pasti bubar. Untunglah alam bersahabat, sehingga hujan baru terjadi esok harinya. Syukuran berjalan dengan lancar. Menu nasi tutug oncom, ayam bakar, karedok yang dihidangkan dari piring bambu sangat menggoda. Selain itu masih ada sate padang, mie kocok, dan siomai. Perpaduan yang menggairahkan.
PR Yang Merepotkan Orangtua
Yang menarik perhatianku pada liburan kali ini adalah mendapatkan fakta bahwa sistem sekolah saat ini terlalu banyak melibatkan orangtua, terutama dalam mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Perasaan, dulu waku aku dan adik-adikku sekolah, kami tidak pernah merepotkan orangtua dengan PR. Kami selalu mengerjakannya sendiri. Memang, saat itu PR kami tidak terlalu banyak.
Saat ini, orangtua sering kewalahan dalam membantu anaknya menyelesaikan PR. Banyak PR yang aneh-aneh. Menurut mereka, untuk kelas 3 SD ke bawah mereka masih sanggup membantu, tetapi kalau sudah kelas 4 SD ke atas, rasanya semakin berat, sehingga harus dimasukkan ke bimbingan belajar. Halah, apalagi ini….
Dari beberapa teman kerja saya juga mendengar cerita yang sama. Orangtua mengeluh, mereka merasa sudah membayar kepada sekolah untuk mendidik anaknya, kok sekarang malah beban ini dikembalikan kepada mereka. Saya tidak tahu, apakah sekolah yang berlebihan dalam memberi PR atau orangtua yang terlalu sibuk sehingga keberatan dengan hal ini.
Internet Bagi Anak SD
Anak SD masa kini sudah mulai mendapatkan pelajaran TIK. Salah satu materinya adalah internet. Keponakan saya, Acal dan Thaya yang baru kelas 2 SD sudah harus menyelesaikan tugas lewat internet.
Pada suatu ketika, Acal bersama papinya, bermaksud mencari gambar sepeda dari internet sebagai tugas dari gurunya. Maka, diketiklah kata “bicycle” di Om Google.
Apa yang keluar? Memang sebagian besar gambar sepeda. Yang membuat papi Acal terperanjat, ternyata ada gambar wanita (maaf: bugil) yang duduk di atas sepeda. Langsung saja papi Acal menutup layar pencarian tadi.
Di internet segala kemungkinan bisa terjadi. Meskipun kita tidak berniat mencari sesuatu yang negatif, dia bisa datang sendiri tanpa disangka-sangka.
Karena itu, tidak heran kalau ada orangtua yang tidak mengizinkan anaknya membuka internet tanpa ditemani orangtua. Bahkan yang ekstrim, sang orangtua tidak berlangganan jaringan internet di rumah agar anak tidak dapat mengaksesnya. Akan tetapi, anak bisa saja mengaksesnya lewat warnet di depan sekolah atau rumah tanpa sepengetahuan orangtuanya.
Di luar manfaatnya yang luar biasa, internet memang bisa memberikan dampak negatif. Bahkan di Jepang, katanya ada website yang mengajak pembacanya untuk bunuh diri beserta trik-triknya. Wah, gawat tuh…
Saya tidak tahu apakah sudah ada program yang bisa memfilter gambar dan website yang kurang sesuai dengan norma masyarakat. Sayang memang, jika manfaat internet dalam pembelajaran terhapus oleh ketakutan kita akan dampak negatifnya terhadap anak.
Mungkin karena guru-guru ingin mengembangkan metode praktek, bukan hanya membaca buku saja maka diberikanlah PR yang aneh-aneh. Di sini juga sama kok, biasanya si anak akan laporan pada ortunya untuk sediakan sesuatu barang yang merupakan tugas sekolah. atau bekerja kelompok untuk menyelesaikan PR. Tapi karena biasanya tempat tinggalnya berdekatan maka tidak ada masalah. Orang tua yang sibuk atau tidak tahu barang yang dimaksud akan menghubungi orang tua teman anaknya. Di sini yang bagus ada sebuah daftar telepon, jaringan telepon bersambung (mungkin kalo pernah baca Lima Sekawan ada sistem jaringan telepon bersambung, ya seperti itu). Jadi orang tua juga menjaga hubungan dengan orang tua teman anaknya. Ini sih menurut yang saya dengar, nanti kalau anak saya sudah SD, akan saya laporkan bagaimana sesungguhnya ya….
BTW…Ichiban desu hehehe
Tambahan utk Filter bagi anak-anak. Sebetulnya banyak yang bisa dilakukan, terutama dari firewall. Biasanya kita bisa masukkan kata kunci utk kata-kata yang menjurus ke situs 17th ke atas itu. Atau bahkan seperti di Firewall saya sekarang (Zone Alarm) , kalau mengakses website yang baru/belum pernah dikunjungi, maka akan ada pesan, “Tidak bisa dibuka”. Baru setelah kita lepaskan “kunci”nya, baru kita bisa akses ke website tersebut.
Orang tua yang harus canggih dan mengerti komputer sebelum memberikan ijin pada anaknya. Yang bagus sih memberikan komputer khusus untuk anak-anak, yang sudah disetting securitynya. Dan bisa juga dipasang software monitoring, (atau yang extrem pasang camera cctv hehehe) sehingga kita bisa melihat apa yang sedang mereka kerjakan dari komputer kita. Jadi seperti hacking sih, tapi demi keselamatan anak-anak apa salahnya. Yang tidak bisa dimonitor ya jika mereka bermain di rumah temannya. Karena itu saya bisa mengerti sekarang kenapa dulu waktu saya kecil tidak boleh keluar rumah. Kalau teman datang ke rumah boleh hehehe.
(Kalau seperti papi Acal yang ketemu gambar wanita bugil memang shock, tapi mungkin masih lebih mending (di Jepang biasa sih melihat orang bugil misalnya di pemandian umum) daripada misalnya ketemu gambar sepeda disamping mayat telanjang berdarah-darah kan. Nah di Jepang tuh banyak yang begituan, tapi carinya memang harus pakai huruf Jepang bukan alfabet. Karena itu penting sekali Parent Control di Jepang)
Waaah pak Hery…kok jadi canggung saya panggil pak…mending Mas aja deh. Kalau bicara soal tanggung jawab orang tua dan sekolah memang tidak ada habisnya dan tidak bisa dipisahkan secara tegas. Lagipula kan anak kita sendiri, apa bisa kita serahkan 100% pada sekolah? Karena kekhawatiran ini pulalah maka timbul bimbel kan?
Yang lucu kejadian di Jepang begini. Ada murid yang bunuh diri di rumah. Alasannya di-ijime (bullying) Yang tampil di TV minta maaf adalah Kepala Sekolah…. Memang ijime nya terjadi di sekolah, tapi bunuh dirinya di rumah loh… Di mana orang tua? Dan kenapa si anak tidak bisa cerita kepada orang tua bahwa dia di bully? berarti hubungan/komunikasi dengan orang tua juga tidak bagus kan? Kenapa hanya pihak “Sekolah” yang dipersalahkan? Saya merasa aneh, tapi suami saya bilang ya memang begitu di Jepang.
Ada satu lagi seorang mahasiswa almamater Universitas saya yang sebetulnya sedang cuti kuliah dan sebetulnya terancam DO. Dia ditawan di Irak dan sudah hampir setahun lebih belum dibebaskan. Yang disorot? Tentu saja Universitas saya itu, dan kebetulan dia mengikuti seminar (semacam penjurusan) di profesor saya. Jadi prof saya itu sekarang tidak bisa bebas karena disorot mass media.
Wah maaf jadi kepanjangan ya… tapi kalau begini saya lebih semangat menulis daripada kalau harus membeberkan pendidikan di Jepang..hehehe.
(Apalagi kalau sambil ngobrol, bisa lupa waktu deh ….)
Iya saya tahu ada Hari Kebangkitan Nasional jadi kebanyakan blogger sedang libur. Saya juga disuruh menulis di http://www.marsinah.com tentang Harkitnas, tapi kok malas yah.
bang…aku nulis dari hp nih. asik ya. gratisan dari axis. emiko memang canggih soal it.
kalo aku milih gak masang internet di rumah. walau si anak bisa ke warnet. namun at least mengurangi.
gitu aja dulu bang. repot juga pake hp hehehe. besok aku sambung lagi ya
Ah ternyata message ku masuk juga Bang …
Iya bang sampe dengan tgl 31 Mei … Internetnya gratis … (lumayang cuma tinggal beli kartu perdananya 10 rebu doang …)bisa internet ampe jontor … (hehehe)
Kalo pake hape … wah kayak SMS an bang …
Yang celakanya aku gak pandai or tepatnya kurang begitu piawai di bidang per sms an …
Soalnya aku kalo jawab SMS … itu cuma max tiga huruf … YA, NO, OK, YUP ato SIP … (hehehe pelit ya ???)(tepatnya malas sms an…)
Tapi sumprit kemaren aku gatel untuk segera ngasih komentar ke Blognya Abang … jadi lah komentar diatas itu merupakan SMS terpanjang yang pernah aku buat … HUahahahha … (memang virus blog sudah mendarah daging ini …)
Jadi korelasi liburan dengan Axis jika kita amati adalah….(aaalaaaaaah..)
Pendidikan jaman sekarang memang lebih maju dibanding dulu, saya mencoba u mengambil positifnya yaitu dengan rajin membaca dan mempelajari lagi materi2 dasar, tapi kalau SMP dan SMA…kelihatannya cukup berat karena disibukkan dengan kerja sehari-hari.
Ooh saya kangen sekali dengan Bandung terutama jalan-jalan dekat tempat tinggal saya dulu di Jalan Kalimantan di belakang BIP. Bagaimana ya kondisi terakhir daerah sekitar taman lalu lintas itu? Apakah masih preserved? Terakhir kali saya kesana sekitar tahun 2002. Akh God itu kan lima tahun lalu .. Anyway Pak minta izin saya masukan ke list link saya boleh?