Minggu ini ada banyak hal yang harus aku lakukan. Di samping harus mempersiapkan stan Grafindo pada Indonesia Book Fair, aku juga dapat “order” untuk membaca doa pada pembukaan Indonesia Book Fair dan menjadi moderator pada seminar tentang Reproduction Right yang disponsori oleh WIPO. Dua kegiatan ini sebenarnya agak bertolak belakang, tapi bagiku, kalau orang percaya mengapa tidak aku terima.
Sehari sebelum pembukaan IBF 2008, panitia mengirim sms kepadaku untuk melakukan gladi resik. Aku pun datang, di tengah suasana assembly hall yang hiruk pikuk karena kontraktor sedang membangun stan masing-masing. Debu beterbangan dengan dahsyatnya. Bau cat menusuk hidung. Keringat pun bercucuran. Sedikit sekali pekerja yang memakai masker, termasuk panitia yang mempersiapkan acara pembukaan.
“Besok dress code-nya apa, Bos?” tanyaku kepada produser acara, Mr Robinson.
“Pake jas, terus pake peci.”
Panitia yang lain malah menyarankan,”Kalau bisa pake sorban.”
Aku mengiyakan. Tapi dalam hati ada keinginan untuk menyalahi tradisi yang sudah dianggap pakem. Haruskah pembaca doa memakai peci?
Besoknya, aku memutuskan berpakaian sesuai kata hatiku, yakni memakai batik tangan panjang tanpa peci. Produser acara tidak berkomentar mengenai kostumku. Setelah giliranku tiba, aku dengan yakin membacakan doa yang telah kukonsep sehari sebelumnya. Semua baik-baik saja. Tidak pakai peci bukan berarti kurang greget.
Di masyarakat kita kayaknya sudah tertanam dalam bawah sadar bahwa tokoh agama harus memakai sorban, memakai peci, berjanggut panjang, memakai gamis, memakai baju koko, dsb. Padahal, semua itu hanya sisi luarnya saja untuk memperkuat image atau citra. Di dalamnya hanya Allah yang tahu.
Moderator
Besoknya, aku diminta menjadi moderator untuk satu sesi dalam seminar internasional tentang reproduction rights. Intinya, Indonesia akan mendeklarasikan diri sebagai anggota RRO, dalam bentuk Yayasan Cipta Buku Indonesia. Melalui yayasan ini, penulis dan penerbit bisa memperoleh tambahan income dari royalti yang diperoleh dari setiap buku mereka yang difotokopi. Hal ini terutama untuk mengakomodasi mahasiswa di kampus perguruan tinggi yang biasanya enggan membeli buku dan senang memfotokopi.
Kepastian menjadi moderator baru aku dapatkan pagi harinya dari ketua panitia.
“Saya dapat sesi berapa, Bu?”
“Anda nanti sesi yang siang”.
Sambil mendengarkan materi aku pun mempelajari materi yang akan disampaikan oleh Mr Michael Lijic dari Australia. Wah, topiknya berat bow, tentang New Publishing Models in Digital Era.
Pada sesi awal, moderator dibantu oleh interpreter, sehingga pembicara menguraikan makalahnya perlahan dan kalimat per kalimat. Akan tetapi, kemudian hadirin merasa tidak puas atas hasil terjemahan.
Pada sesiku akhirnya, tidak ada interpreter sehingga aku harus lebih cermat lagi mendengarkan omongan Mr Michael. Karena tidak menggunakan interpreter, Mr Michael berbicara nyerocos dengan kecepatan normal. Akibatnya, semakin sulit memahami apa yang disampaikannya. Untunglah ada makalah dalam bentuk power point yang bisa dijadikan pedoman.
Sudah lama tidak mempraktekkan bahasa Inggris dalam sebuah forum resmi memang membuat lidah jadi kelu. Rasanya berat sekali mengeluarkan kata yang kita maksudkan. Di otak sudah keluar, tapi di mulut tak kunjung keluar.
Aku mencoba menyarikan presentasi Mr Michael dalam bahasa Indonesia sehingga agak sedikit ringan. Setelah itu ada dua orang yang bertanya dan coba kusimpulkan. Saat aku bicara dalam bahasa Inggris, semua hadirin yang tadinya ngobrol sendiri-sendiri, terdiam. Suasana ruangan sunyi senyap selama beberapa menit. Ini beneran lho. Entahlah, apakah mereka tersihir oleh perkataanku atau mereka kagum kali ye…Ih geer bin narsis.
Yang penting, setelah bertugas selama satu jam, akhirnya sesiku selesai juga. Setelah turun aku menyalami ketua panitia.
“Selamat, well done.” (emang masak steak). At least, better than before”
Entahlah, ini sekedar menghibur atau beneran. Bagiku, yang penting pengalaman ini sangat berharga. Jarang-jarang ada kesempatan bisa memoderatori acara bertaraf internasional.
Seminar ini juga menghadirkan Chandra Darusman, mantan pianis Karimata, sebagai pembicara. Chandra saat ini bermukim di Geneva, Swiss, sebagai konsultan teknis WIPO (World Intellectual Property Organization).
Sekian dulu postingan narsis hari ini…
Besok-besok harus belajar bahasa Inggris lagi ah…
Biar kalau ada “order” semakin manstab…
Wow… pekerjaan yg asik bos…
So.. lidahna udah fasih dunk!
Quote:
Padahal, semua itu hanya sisi luarnya saja untuk memperkuat image atau citra. Di dalamnya hanya Allah yang tahu.
Benar Bang….. setuju sekali
soal bahasa Inggris….. ah cuman perlu diasah aja kan
pengen denger abang bicara yang bisa memukau penoton tuh….
kapan saya ke jkt kasih tau ya kalau ada acara-acara gitu:)
EM
Biar narsis tp tetap informatif Pak. Sukses terus.
Salam
~ ez
wah… udah mulai go international neh…
good job bro… kalau bikin steak, bagi2 ya, halah gak nyambung… 🙂
i know lah, bahasa inggris elu, apik tenanan mundzu zaman, huahaha…. rusak banget bahasanya..!!
aku gak heran kalau hadirin terpukau dg bahasa inggris ente, soalnya kan ente dah latihan sejak zaman doeloe, bahkan sampai bela2in jadi kernet bis anak bule (eh, sorry lupa namanya), ternyata hasilnya sukses abis….!!
salut buat dikau bro…
Salut Bang. Meskipun ada narsis-nya (namanya juga blog, buat apa hayo kalau nggak buat narsi-narsisan hehehe… ) tetep reportasenya manstab, juga soal talking-talking english yg sempat menghipnotis audiens …
Manstab betul bang…
Meskipun kelu tapi mampu menyihir penonton, apalagi kalau lidahnya udah lengket… (ga bisa ngomong dong.. 😛 )
weeleh weleeeehhhhh
aku ketinggalan teruuuuuus neeeeeh, harus banyak belajar sama kang herry rupanya
selamat yaa kang herry
sukses selalu
Aww. Bang Hery,
mbok tolong saya dikirimi naskah (contekan kata2 pokok) yang wajib ada selama jadi moderator in english…
saya besok tgl 27 juni jadi moderator internas ptama kali…tapi blum pede juga…tolongin diriku ya…maturnuwun n wsm