Perempuan Berkalung Sorban

Didera oleh rasa penasaran akibat promonya yang cukup gencar, akhirnya aku sempatkan menonton film “Perempuan Berkalung Sorban” yang dibesut oleh sutradara Hanung Bramantyo. Film ini berupaya untuk mengangkat kesetaraan gender. Di bawah sadar sebagian besar umat Islam, perempuan selalu dinomorduakan.

Lewat tokohnya Anisa yang diperankan dengan pas oleh Revalina S Temat, film ini berupaya untuk mendobrak tradisi bahwa perempuan diciptakan untuk melayani laki-laki. Lewat mulut Lek Khudori, misalnya, diungkapkan jika perempuan dan laki-laki berbeda secara NATURE, tetapi sama secara NURTURE.

Perbedaan secara NATURE misalnya, perempuan bisa melahirkan, laki-laki tidak. Sementara yang besifat NURTURE seperti memasak di dapur adalah masalah budaya. Begitu juga dengan kesempatan meraih pendidikan dan karir. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Dalam film ini diceritakan betapa Anisa yang sangat senang berkuda sejak kecil dilarang oleh orangtuanya yang merupakan kyai pemilik pesantren kecil Al Huda. Anisa yang kritis juga selalu bertanya di kelas yang terkadang membuat merah muka gurunya. Pada suatu ketika sang guru menyitir sebuah hadits, “Apabila seorang suami meminta istrinya untuk berjimak, tetapi istrinya menunda-nunda sehingga suaminya tertidur, maka nerakalah bagi istri tersebut”.

Bukannya puas dengan ungkapan tersebut, Anisa malah bertanya kepada sang guru, “Bagaimana jika sang istri yang meminta dan suaminya menunda-nunda?”

Sang guru langsung menjawab,”Mana ada istri seperti itu. Kalau ada istri seperti itu berarti dia istri yang GATAL”. Meledaklah tawa seluruh santriwati di kelas.

Setelah tamat Aliyah, Anisa kepingin kuliah. Dia mengirim dua lamaran: satu ke Al Azhar Kairo, satu ke sebuah universitas di Yogyakarta. Ternyata Anisa diterima di Yogya, tetapi malang baginya karena abinya tidak setuju dia kuliah. Anisa malah dinikahkan dengan anak kyai sobat abinya yang juga merupakan donatur tetap pesantren.

Di sinilah konflik suami istri berlangsung. Bagaimana Anisa yang sedang tidak fit dipaksa melayani suaminya. Bagaimana Anisa menjadi sangat tertekan dihina habis suaminya hanya karena dia tidak juga hamil. “Kamu kok nggak bisa bunting seperti perempuan lain. Aku sampai dibilang tolol sama keluargaku”.

Di samping memperjuangkan kesetaraan gender, film ini juga mengingatkan bahwa kebebasan semata bukanlah menjadi tujuan. Saat mengunjungi tempat kos teman pesantrennya yang kuliah di Yogya, Anisa terkejut mendapati temannya tersebut sedang bermesraan dengan pacarnya. Dengan santai sang teman berdalih,”Aku ini masih mending, masih pakai kerudung. Si Anu itu, sekarang sudah pakai baju seksi”, seraya membenahi bajunya yang kusut masai dan membetulkan letak kerudungnya. Anisa hanya bengong menyaksikan ini.

Pokoknya, film ini sangat cocok ditonton oleh semua kalangan yang sudah dewasa, terutama pasangan muda yang sangat rentan dengan KDRT. Pengalaman saya yang mempunyai adik korban KDRT meninggalkan kesan yang sangat mendalam pada film ini. Seandainya para suami bisa menyaksikan film ini, pemahaman mereka terhadap relasi suami-istri bisa lebih baik.

Terlepas dari muatan misi yang lebih kental daripada film Hanung sebelumnya Ayat -Ayat Cinta, akting para pemain cukup proporsional. Widyawati yang berperan sebagai ibu Anisa sangat pas. Revalina tampak sangat cantik dengan berjilbab. Halah….Sesekali ungkapan dalam bahasa Arab juga terdengar.

Buku-buku kiri seperti Bumi dan Manusia juga sempat menghiasi film ini. Anisa yang gemar membaca dan menulis berupaya membangun perpustakaan di pesantren, meski ditentang oleh kakak-kakaknya. Bahkan suatu ketika buku-buku ini dibakar beramai-ramai karena dianggap meracuni para santriwati.

Pada suatu adegan kakak Anisa berdebat,”Untuk apa buku-bukumu itu. Semua sudah ada di kitab yang paling lengkap, Al Quran.” Sebuah pemahaman naif yang banyak dipeluk oleh sebagian besar umat Islam. Padahal, Al Quran memerintahkan kita untuk membaca apapun, tidak terbatas pada Al Quran saja.

Selamat menonton.

31 tanggapan untuk “Perempuan Berkalung Sorban

  1. aku juga dah nonton film ini, tadinya mau kasi review juga, tapi keduluan ente, ya sudahlah, komen aja di sini… hehe…

    salah satu yg menarik bagiku adalah sepertinya film ini mencoba untuk mengatakan bahwa tidak ada jaminan seorang santri tidak akan melakukan seks bebas. terbukti dari perilaku sahabat anisa setelah dia berada di luar pesantren…

    menurutku, pendidikan itu haruslah “menyadarkan”. kenyataan yg ada di pesantren al-huda itu bahwa santriwati haruslah menerima apa saja yg disampaikan gurunya, tanpa harus memahaminya; “kerjakan saja, tidak usah membantah”

    film ini sebaiknya ditonton oleh banyak kalangan pesantren, karena kebanyakan pesantren masih bersikap seperti itu…

    terakhir, sebagai orang jogja yg udah hapal seluk beluk daerah jogja, aku merasa sedikit terganggu dg settingan lokasinya. mereka hanya berputar2 sekitar parangtritis, sementara dalam ceritanya, para tokoh melakukan perjalanan yg cukup jauh; jombang-jogja… 🙂

    oya, satu lagi, suasanya di studio cukup ramai, ketika disebutkan beberapa nama universitas di flm itu… maklum, karena yg nonton adalah para mahasiswa universitas tersebut…… 😀

    ramainya karena bangga atau karena malu, bro?…

  2. Saya suka Paragraf terakhir Bang …
    Ini bener banget …

    But yang jelas … kalo lihat resensi, behind the scene dan trailernya …
    kayaknya memang ini film yang layak untuk di tonton …

    Dan satu lagi …
    Saya kepingin dengar kritik mengenai Film ini dari sisi yang lain …
    kok belum ada ya …?

    Salam saya

    Salah satu kritik mungkin settingnya yang kurang pas. Katanya pesantren terletak di Jombang, tapi kok ada lautnya. Malah lautnya seperti di Yogya selatan.

  3. Wah ga ngajak2 nih si abang nonton… Ntar ajak ya bang, kita nobra… hehehe..
    Belum nonton uy, banyak juga temen bilang ceritanya PBS ini bagus…
    Tapi ripiunya keren bang… jadi ga usah nonton kalau gitu… 😛

    Wah, harus nonton juga, Mang. Jangan baca review-nya aja. Pasti bedalah sensasinya antara nonton dan baca review tok.

  4. Aku nggak pernah kepikiran untuk nonton film ini, Bang, tapi dari resensinya, aku jadi tertarik nih… *tinggal nyari temen buat nonton* 🙂

    Oh ya, aku sedih juga saat membaca adegan ketika teman Anisa yang berkerudung malah melakukan seks bebas. Sungguh, kenapa kerudung malah dijadikan tameng ya?

    Ini wajib tonton buat pengasuh-pengasuh di Pesantren karena memang seperti inilah gambaran real-nya di masyarakat. Supaya semua yang ada di situ, benar-benar mengerti agama, memahami, bukan kemudian malah menganggap kaki mereka terpasung dan melakukannya sembunyi-sembunyi…

    KDRT….
    Oh my.. aku jadi inget sama adikmu, Bang..
    Apa kabar dia sekarang? Semoga dia baik-baik saja ya…

    Adikku sudah kembali lagi dengan mantan suaminya. Doakan mudah2an dia bahagia…

  5. Saya jadi teringat sebuah buku di rak buku yang belum sempat saya baca (malah Gen sudah baca separuh hehehe)

    The Caged Virgin by Ayaan Hirsi Ali — A Muslim Woman’s Cry for Reason.d. Abang tahu buku ini?
    (Maaf kalau misalnya dengan penyebutan judul buku ini lalu mengundang kontroversi, karena saya memang belum tahu penilaian orang Indonesia mengenai buku ini. Karena endorsementnya ditulis oleh Salman Rushdie)

    EM

    Aku pernah dengar penulisnya yang kontroversial itu. Tapi kalau bukunya belum tahu. Mungkin buku baru ya…
    Memang kalau yang endorse Salman Rushdi pasti akan jadi kontroversial di sini

  6. uhuhuhu..ak dah ntn film ini, dan air mata saya terkuras 2 kali. Pertama, Saat tokoh annisa meminta maaf pd alm Abi dlm mimpinya. Kedua, saat Lek khudori meninggal.
    Film ini memperluas khazanah pengetahuan saya bahwa Islam tdk mengungkung kaum wanita. Yah tiap2 org mempunyai interpretasi yg berbeda2 dalam menterjemahkan ayat2 al qur’an. Saya sih setuju2 saja jika kaum istri hrs berbakti pada suami tp tergantung suaminya seperti apa dulu. Hehehe..tul ga?
    Oh ya..setelah saya ntn ini, dan suka bgt liat revalina yg cantik memakai jilbab kain, saya pun kini jarang memakai bergo (kerudung yg lgsg pakai) n menggantinya dgn jilbab. Terlihat lebih cantik n rapih ^_^

    Yup, Revalina memang pas banget dengan jilbabnya. Lebih cantik daripada nggak pake. He he he…

  7. wah belum nonton ni saia..
    sblmny ga tertarik bwt nntn,tp stlh liat infotaintment yg ngebahas kontroversi film ini, saia jd tertarik utk nntn..
    apalagi ditambah baca review di blog ini..
    harus scepatnya nntn neh,tkt kburu basi..
    hehe,,

  8. hmm….iya bener….(maksudnya bener, ceritanya bagus dan ngena banget, kehidupan dalam pesantren gak selamanya seperti yang terlihat dari covernya,,,maaf kalo salah…)

    jadi penasaran juga….(sebelumnya temen saya bilang filmnya gak bagus…tapi, )

    salam kenal

  9. Sebuah pemahaman naif yang banyak dipeluk oleh sebagian besar umat Islam.

    Kalimat ini menarik dan cerdas! Itulah yang menyebabkan sebagian umat “tertinggal” dan “terbelakang”. Karena sudah merasa puas dengan tempurungnya sendiri. Bukan bermaksud menyodorkan sekulerisme. Tapi cara padang serta wawasan umat memang mesti luas. Mesti bisa melihat dengan cerdas pula.

  10. Saya malah terima sms dari seorang teman, katanya jangan nonton film ini, karena mesum banget. Ada adegan ML segala, menodai agama, dst.
    Wah, gimana sih yang bener? Saya memang belum nonton …

  11. Abang …
    Saya kemarin nonton film ini …
    And yes … banyak perenungan yang layak untuk di kaji …

    @ibu tutinonka …
    mmm kalau gambar mesum saya tidak melihatnya ibu …
    memang ada … tapi hanya suara …
    penggambaran dimana si Annisa diminta untuk menjagai anak suaminya dari istri kedua … sementara di kamar sebelah Sang suami sedang “bersama” istri keduanya …
    (hanya itu saja …)

    Salam saya

  12. wah, sebuah fil yang layak ditonton, mas azwan, lebih2 bagi para pejuang perempuan. tapi kok ada pihak yang mempersoalkan film ini, karena dianggap bisa menimbulkan masalah dalam dunia pesantren. tapi, hal itu di-conuter secara cerdas oleh hanung bramantyo agar melihat sisi film ini secara dewasa dan jangan setengah2 agar tak menimbulkan kontroversi.

  13. hmm… kayaknya bagus ya filmnya. belum nonton sih, tp kalau dilihat dari bbrp review, film ini mungkin baik untuk perempuan muslim. soalnya saya kadang berpikir sptnya perempuan dlm islam “agak dinomorduakan”. kan kasihan…

  14. Jangan mencoba mengubah dunia tapi coba ubah diri sendiri dulu. Kalo mau ubah dunia, jangan maksa. Siapa yang suka dengan pola pikir pesantren tsb, ya silahkan ini demokrasi, jangan anggap yang gak sepaham dibilang konservatif. Kadang penyandang demikrasi lebih tiran dari tiran sesungguhnya. Kebebasan berpikir hanya alat untuk gencet pikiran orang lain yang gak sepaham, tapi gak berlaku sebaliknya. Contoh, kalanganfeminis pernah bilang, semua perempuan berhak berpakaian apasaja, seseronok apapun, laki2 yang harus menahan diri, jangan karena laki2 gak mampu nahan diri perempuan yang ‘dikorbankan’ untuk nutup aurat. Hal ini dipake hanya untuk kepentingannya saja, tapi begitu ada perempuan yang setuju dan milih tetap berpakaian sopan, mereka bilang perempuan ini kuno, konservatif, perlu dicerahkan (ditelanjangkan). Ini pemikiran egois, mereka dukung aminah wadud, fatima mernissi, dll, tapi benci dengan yang gak sepaham. demokrasi adalah bentuk titan mayoritas (yang kaya akses ke sentra kekuasaan karena punya duit banyak) terhadap minoritas (yang miskin akses dan duit), ini lebih tepat daripada istilah mayor dan minor dari segi jumlah.

  15. Jangan mencoba mengubah dunia tapi coba ubah diri sendiri dulu. Kalo mau ubah dunia, jangan maksa. Siapa yang suka dengan pola pikir pesantren tsb, ya silahkan ini demokrasi, jangan anggap yang gak sepaham dibilang konservatif. Kadang penyandang demikrasi lebih tiran dari tiran sesungguhnya. Kebebasan berpikir hanya alat untuk gencet pikiran orang lain yang gak sepaham, tapi gak berlaku sebaliknya. Contoh, kalanganfeminis pernah bilang, semua perempuan berhak berpakaian apasaja, seseronok apapun, laki2 yang harus menahan diri, jangan karena laki2 gak mampu nahan diri perempuan yang ‘dikorbankan’ untuk nutup aurat. Hal ini dipake hanya untuk kepentingannya saja, tapi begitu ada perempuan yang gak setuju dan milih tetap berpakaian sopan, mereka bilang perempuan ini kuno, konservatif, perlu dicerahkan (ditelanjangkan). Ini pemikiran egois, mereka dukung aminah wadud, fatima mernissi, dll, tapi benci dengan yang gak sepaham. demokrasi adalah bentuk titan mayoritas (yang kaya akses ke sentra kekuasaan karena punya duit banyak) terhadap minoritas (yang miskin akses dan duit), ini lebih tepat daripada istilah mayor dan minor dari segi jumlah.

  16. Film bagus! Salut buat Hanung (dan tentu saja Bung Hery). Yang nglarang film ini pasti pikirannya cupet dan tak pernah “ngilo”

  17. ikut comment neh …belum pernah nonton film nya tp menarik juga film ini jadi kontroversi di masyarakat ….bagi yg mau nonton film ini sah2 saja namun harus hati-hati melihat background dari lembaga yg donasi novel dan film ini denger2 seh dari luar entahlah mungkin ada suatu pesanan yg ingin disampaikan di film ini wallahua’alam…
    kalo ada penggambaran jelek Islam disini dan anda jadi ‘terpengaruh’ bahwa Islam itu memang seperti itu (jelek melecehkan wanita) padahal itu sebenarnya hanya kelakuan oknum saja hati2 anda sudah terpengaruh!!
    opini laen bs baca disini:
    http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8623:sutrada-chaerul-umam-ada-bau-liberalisme-di-film-pbs-&catid=1:nasional&Itemid=54

  18. Aku sih memandang film ini hanya mengedepankan pendapat dan rasional, jadi menurutku ini adalah penghinaan terhadap ajaran agama yang murni.
    Bertaubatlah kalian dari perbuatan kalian!!
    Kembalilah ke jalan yang benar!, tak ada ajaran yang kolot dalam islam, ajaran yang berlaku hingga akhir zaman.
    Wahai pemuda islam, jangan kalian hinakan islam dengan kelakuan dan kebodohan kalian, belajarlah kalian tentang agama ini dengan benar, kalian akan temukan kebahagiaan yang hakiki. ketahuilah film ini penuh fitnah dan para pelakunya kelak akan di minta pertanggung jawabannya atas perbuatan mereka.

  19. Feminisme Berkalung Sorban

    Jika menyimak dua film sebelum “Perempuan Berkalung Sorban” (PBS) yang – maunya – dikemas dalam setting ‘religius’ yaitu “Ayat-ayat cinta” (AAC) dan “Doa yg mengancam”, dlm film PBS seperti ada upaya Hanung utk berubah haluan, balik ‘memberontak’, atau ‘nyleneh’ (demi atau tanpa sensasi?) dgn membuat film yg kontroversial. Karena dua film sblmnya relatif tdk menimbulkan reaksi yg kontra di ranah publik.

    Mungkin film PBS memang sengaja dimuati unsur kontroversial utk menarik perhatian publik agar film itu setidaknya ‘dibicarakan’ atau ‘direken’ publik. Asumsi subyektifnya, mungkin Hanung frustrasi, ‘cemburu’, melihat sambutan publik yg begitu fenomenal thd film “Laskar Pelangi” dibanding film AAC (yg mutunya emg jeblok), dan sbg ‘pelarian’ atau ‘kompensasi’ dari rasa kejengkelannya, dibuatlah film kontroversial yakni PBS. Ibaratnya, Hanung spt anak kecil yg sdg merajuk, ngambek, bete, krn tdk ada yg memperhatikan film-filmnya. 😀

    Atau karena hanya ada dua pilihan agar direken publik yaitu bikin film bagus (spt “Laskar Pelangi”) atau bikin film jelek tapi kontroversial. Tapi krn pilihan pertama terlalu sulit utk Hanung maka dibikinlah film jelek bin kontroversial (spt PBS) yg emang relatif lbh mudah tanpa harus mempertimbangkan teknik sinematografi, estetika, relevansi, intelektual, dsb.

    Dan lagi ternyata film PBS diproduksi oleh Starvision milik Chand Parwez dan Raam Punjabi yg dikenal sbg ‘mafia’ sinetron di negri ini yg kerjanya memproduksi film/sinetron sampah. 😀

    Belum lagi jika diskusinya menyangkut paradigma, ideologi, yg membingkai film PBS yg agaknya sarat dg visi klasik kaum feminis yg memang terkenal lebay dlm soal emansipasi dan menggugat budaya patriarki. Meski para feminis lebay tsb lbh sering kebablasan dan keblinger krn jika emansipasi benar2 murni dipraktekkan akan jadi bumerang bagi kaum wanita dan para feminis itu sendiri. Bahkan sangat mungkin kaum wanita akan balik mengutuk para feminis.

    Apalagi jika membahas kenaifan visi Hanung dlm upaya mengaplikasi simbol termasuk saat ‘mencomot’ karya sastra universal “Bumi Manusia” yg dlm PBS diposisikan sbg representasi komunisme. Sementara komunisme sendiri sdh lama habis.

    Agaknya pihak produser, juga Hanung, perlu belajar/kursus membaca karya sastra, latihan menganalisis novel “Bumi Manusia”. Atau jika perlu mereka ikut kuliah matrikulasi kesusastraan aja dulu. 😀

    Dari segi tema film PBS termasuk kesiangan dan garing. Bahkan Siti Musdah Mulia seorang aktivis perempuan yg ‘membela’ PBS, dlm suatu debat di TVONE ‘keceplosan’ bilang bhw PBS mestinya dibuat 20 th yg lalu. Secara implisit itu dpt diartikan bhw di era spt saat ini tema2 spt yg ada dlm PBS, apalagi mengkonfrontir pesantren dan komunisme (dg cara2 yg dangkal pula) adalah sdh sangat kesiangan dan tdk relevan.

    Tidak jelas apakah Hanung, pihak produser, juga si penulis novel, sblmnya melakukan survei data yg representatif thd pesantren2 di negri ini dan melakukan check and recheck di lapangan sblm ‘mendiskreditkan’ institusi pesantren sbg contoh kasus tempat berlangsungnya apa yg oleh aktivis feminisme dilabeli sbg budaya patriarki.

    😀

    Terima kasih atas komennya, Mas…
    Barangkali bisa menjadi tambahan atau opini pembanding..

  20. Mmmm …
    Bukunya kok ndak di kecam ya ?
    Kok boleh beredar ?
    Kok boleh dicetak ?
    Kenapa baru sekarang menjadi polemik ?

    Hhmmmm …

    Thanks Bang …
    Aku datang lagi …

    Bukunya udah terbit tahun 2001.
    Memang kurang booming saat itu…
    Menurut penulisnya, apa yang ditulisnya berdasarkan riset pada beberapa pesantren tradisional.

  21. wah, aku juga jadi penasaran neh…pingin bca bukunya juga 🙂

    aku nonton bareng ibuku, sementara aku sempet trenyuh n ngeri melihat adegan semi perkosaan, ibu malah nyante aja kayak nonton sinetron hueheee…*padahal dah siap2 bwa tissue, jaga2 kalo nangis bombay coz kata tetangga yang udah liat pilemnya mengharu biru banget*

    tapi biar bagaimanapun, dengan adanya pilem2 seperti ini maka orang2 seumuran ibuku mau nonton bioskop deh *lha masa aku mau ngajak Ibu nonton pilem abg??*

  22. Membaca beberapa komentar di atas sangat menarik…ya kita boleh berbeda pendapat bukan?
    Saya menikmati film ini, tak pernah memikirkan yang lain-lain..nontonnya sendirian pula, hanya agar bisa menulis resensinya buat si sulung yang tinggal di LN, yang maniak film Indonesia.

  23. “Bagi yang ingin menonton film ini, berangkatlah dengan anggapan bahwa kita akan melihat suatu tontonan dan bukan tunutunan.”’

    bener banget…….!
    dibilang nyesel nonton ya..gk juga krn emang penasaran gmn kronologis filmnya!
    tapi bener bgt, ada banyak kronologis dalam film ini yang gk sesuai dengan tuntunan Islam……!

  24. tidak ada komunikasi yang berimbang, jika memang film itu memandang sudut pandang oknum agakny aperlu diluruskan,misalnya ucapan anisa”islam tidak adil pad wanita, maka tidak ada jawaban yang membandingi kata-kata itu, misalnya islam tidak memihak laki-laki kok, tapi justru kata lain , bahkan yang paling menyakitkan anisa bilang bahwa pesantren adalah tempat kedua setelah penjara dalam hal terbelenggu.ini sungguh pemahaman naif dan dangkal.

  25. riset??? yang benar aja, saya pikir justru yang terjadi adalah novel itu hanya fiktif belaka, tidak memiliki footnote yang jelas, namanya juga imaginasi aja.

Tinggalkan komentar