Dalam jagad dunia lukis, ada dua orang pelukis terkenal yang sangat bertolak belakang. Yang satu bernama Vincent Van Gogh, satunya lagi bernama Pablo Picasso. Semasa hidupnya, Van Gogh tidak berhasil menjual satupun lukisannya sehingga hidup sebagai orang yang miskin. Karena miskin, tidak ada perempuan yang sudi hidup dengannya. Bahkan, untuk membuktikan cintanya, Van Gogh memotong daun telinganya dan mengirimnya kepada sang pujaan hati. Apa lacur? Alih-alih cinta atas pengorbanan dan tanda cinta sang pelukis, sang pujaan malah ketakutan.
“Gila kali ni orang ye? Masa ike dikirim kuping bow”, demikian mungkin ungkapan ketakutan dari sang perempuan pujaan.
Setelah Van Gogh meninggal, rupanya ada orang kreatif yang bisa menemukan potensi pada lukisannya dan berhasil menjualnya seharga USD 40 juta. Sebuah angka yang fantastis. Tetapi sayang, pemiliknya sudah meninggal sehingga tidak bisa menikmatinya.
Sementara kebalikannya dengan Picasso. Meskipun menurut kacamata awam lukisannya sulit dimengerti, tetapi dia berhasil menjualnya dengan harga fantastis sehingga hidupnya berkecukupan.
Biasanya Picasso mengundang tokoh terkenal seperti gubernur, dokter, artis di hotel terkenal . Di ruangan khusus dia bertanya kepada mereka satu persatu berapa harga yang mungkin mereka bayar untuk sebuah lukisan. Setelah semua menyebutkan harga Picasso mengumpulkan mereka semua dalam sebuah ruangan dan melakukan lelang. Tentu saja setiap orang termakan gengsi sehingga harga lukisannya bisa mencapai angka yang maksimal.
Apa yang terjadi dengan Van Gogh barangkali banyak juga terjadi dengan kita semua. Coba lihat sekeliling kita. Berapa banyak orang yang pintar bahkan bersekolah tinggi, tetapi tidak berhasil memanfaatkan kepintarannya untuk dirinya. Atau barangkali mereka ini orang yang ikhlas sehingga tidak terlalu memikirkan penilaian orang lain terhadap mereka.
Kalau mereka menganggap ini sebagai jalan hidup dan menikmatinya itu sih nggak masalah. Ini banyak terjadi dengan beberapa dosen yang tidak mau mengurus administrasi kepegawaian sehingga pangkatnya tidak naik-naik. Tetapi jika mereka menjalani hal ini dengan keluh kesah atau bahkan nelangsa seperti Van Gogh, rasanya kok miris banget.
Barangkali, orang yang bertipe seperti Van Gogh ini terlalu kaku atau pasif. Mereka menganggap jika bekerja dengan baik saja sudah cukup. Padahal, masih banyak aspek lain seperti menjalin relasi, determinasi, dan kepintaran menjual diri (atau bahkan menjilat?) yang harus dimiliki.
Sebaliknya, banyak juga orang yang sekolahnya tidak tinggi tapi karena kreatif dan terus belajar akhirnya mampu mencapai posisi puncak. Di sini endurance sangat dibutuhkan. Di sebuah BUMN ada seorang Direktur Utama yang sekolahnya cuma SMA. Bayangkan, hari gini jadi Dirut cuma tamatan SMA. Saya kurang mengerti apakah dia punya back up politik atau tidak. Yang pasti, seorang anak buahnya mengisahkan kepada saya kalau ybs memang pintar. Dia membuat sendiri materi presentasinya tanpa bantuan anak buah. Ybs juga haus belajar dan ikut seminar, serta pintar menjalin hubungan dengan orang lain.
Kata seorang teman yang cuma lulusan D3, tetapi kini berhasil menjadi Direktur pada anak perusahaan kami, dia memperoleh nasehat dari bapaknya sbb,”Hidup ini tidak perlu pintar, tetapi harus pintar-pintar”.
Teman yang dikenal sebagai mister packaging ini memang memulai karirnya dari bawah. Dedikasi dan prestasinya terhadap perusahaan membuatnya menjadi orang kepercayaan pemilik perusahaan.
Pintar adalah IQ, sementara pintar-pintar adalah EQ. Sebagaimana, kata Anthony Dio Martin,”IQ membuat anda diterima bekerja, tetapi EQ membuat Anda dipromosikan”. Barangkali bisa ditambah lagi, “EQ membuat Anda bisa mempromosikan” (Anda jadi pemilik perusahaan).
Pertanyaannya bisakah IQ saja membuat anda dipromosikan? Mungkin ya jika jenis pekerjaannya yang memerlukan IQ tinggi seperti peneliti di lab. Tetapi akan berat halnya jika pekerjaannya banyak melibatkan interaksi dengan manusia.
Sekarang terserah Anda, mau jadi Van Gogh atau Picasso? Endingnya garing ya?
Mending pertanyaannya gini aja kaleee,
Sharing dong, adakah teman di sekitar Anda yang karakternya mirip seperti Van Gogh dan Picasso. Kalau bisa yang rada ekstrim biar gampang diingat.
Aku mau pilih Rembrant atau Monet saja deh
EM
Raden Saleh juga lumayan, apalagi lukisan berburu harimaunya. Soal pinter2, itu sama ga sih dgn minterin? Jangan2 dirut SMU itu tukang minterin orang. Oya, kalo ga salah Picaso mati tragis juga kan?
Van gogh juga mati tragis. Gara-gara kecanduan uap cat lukisnya sendiri. maklum orang miskin, maboknya aja ga modal 🙂
Eh kalau ga salah kisah kecilnya Picasso ini yang diceritain Ayah Edy ya Bang. Hebat sekali ibunya sama kaya ibunya Thomas Alpha E.Jadi pengen kek Picasso. Eh tapi ga mungkin ya gw udah tua. Ya udah, pengen jadi orangtuanya kek orangtua Picasso aja deh…
Siapa ya Dirut BUMN itu? Penasaran mode ON om. Bocorin dong!
Nice post dengan sudut pandang yg jeli Bang.
Kalau karakter saya mirip siapa ya ? kayaknya sih saya tengah2 saja dan jadinya ya biasa2 saja … hehehe
Hidup ini tidak perlu pintar, tetapi harus pintar-pintar”.
Hmmm aku tersenyum Bang …
Betul juga ini …
hehehe
Salam saya Bang
hmmm… aku masuk yg mana ya?
kayak si pandir dan si cerdik ya…
sebuah perbandingan yg cerdik bro.. 🙂
saya jadi diris endiri aja lah hihihi
ada salah satu senior manajer kami.. sangat pintar..
lulus summa cum laude dari delft university..
karirnya terakhir satu tingakt dibawah direksi (BUMN)
beliau dulu sering ditawri menjadi direktur BUMN
maklum dirjen dan menteri teman kuliahnya
tapi gak pernah mau karena merasa gak pas
untuk menjadi direktur..
beliau cukup puas dengan jobnya pada saat itu..
gak tau yah hubungannya dengan van gogh
tapi yg perlu digaris bawahi adalah saya rasa beliau sangat paham dengan kondisi diri sendiri yang mungkin merasa EQnya kurang..
walaupun IQnya mentok..