Aku dilahirkan di Kebun Tanjung Keliling PTPN II Tanjung Morawa, sebuah BUMN yang bergerak di bidang perkebunan sawit, karet dan coklat. Kebun ini terletak sekitar 40 km dari Binjai, ibukota Kabupaten Langkat saat itu.
Kalau kita ingin berpelesir ke Bukit Lawang, Tanjung Keliling akan lebih dulu dilewati setelah melewati Padang Brahrang dan Kuala. Dari Tanjung Keliling, tinggal sekitar satu jam lagi menuju Bukit Lawang jika jalanan tidak rusak. Bukit Lawang merupakan tempat pariwisata yang terkenal dengan penangkaran orangutan dan pantai sungainya yang indah. Tempat ini menjadi tujuan utama turis mancanegara di Sumut setelah Danau Toba dan Berastagi. Di dekat Bukit Lawang juga ada perkebunan miliki PTP II yang bernama Marike.
Masa prasekolah aku habiskan di sini. Tidak banyak ingatan yang masih tersimpan di benakku. Apalagi aku tidak masuk sekolah TK karena dulu belum ada sekolah sejenis di sini. TK ku dikejar di SD. Kok bisa? Di SD selama sebulan kami tidak pernah belajar menulis dan membaca, tetapi hanya menyanyi dan bermain. Kurang jelas apakah ini strategi untuk membuat murid betah belajar di SD karena belum pernah merasakan TK ataukah ada maksud lain.
Yang kuingat hanyalah beberapa fragmen ketika aku yang masih berumur sekitar 5 tahun kurang, diajak ayah dan mami menonton tv umum. Saat itu, tv hitam putih berukuran 14 inchi dipasang di atas kayu setinggi 2 meter menjadi pusat hiburan di pondok (perumahan karyawan). Acaranya tentu saja masih didominasi oleh TVRI.
Yang menarik, ada tetangga kami yang bernama Turi, sehingga orang-orang banyak yang memplesetkan TVRI menjadi TURI. Jadi, kalau ngajak nonton tv, mereka sering berteriak. Yuk nonton TURI yuk…Apalagi, saat logo TVRI pada setiap awal dan akhir acara muncul. Maka gemparlah atrium pondok. Eh, ono Turi ono Turi. Meskipun demikian, tidak ada acara tv favorit yang bisa kuingat. Semua ingatan tampaknya sudah hilang.
Fragmen lain yang kuingat adalah bahwa air sangat sulit di sini. Tidak ada PAM atau air mengalir yang difasilitasi oleh perkebunan. Jika ingin menggali sumur, kita menggali dalam sekali karena daerah ini terletak di atas bukit. Selain itu, biayanya pasti mahal, sehingga karyawan rendahan pasti tidak mampu membayarnya.
Untuk mandi, setiap karyawan perkebunan harus pergi ke sumur umum yang terletak di dasar bukit. Di sini setiap orang bisa menimba air dari sumur yang berdiameter sekitar 2 meter. Air bisa dibawa pulang dengan cara membawanya dengan pikulan. Jasa pemikulan air sangat laris. Anak muda lajang tanggung yang sudah tidak bersekolah lagi sering mendapat orderan memikul air ini.
Bagi yang malas membawa air ke rumah atau tidak mau mengeluarkan uang untuk membayar tukang pikul, mandi di tempat adalah pilihan yang paling jitu. Tempat mandi dipisah antara laki-laki dan perempan, tetapi sumurnya tetap satu. Setiap yang mandi memakai kain basahan. Terkadang ada juga yang tidak tahu malu mandi tanpa basahan. Hi hi…
Jalan menuju sumur berjenjang. Di musim hujan kita harus hati-hati. Di sepanjang perjalanan kita temani pohon karet, rumput dan pakis. Tak jarang ibu-ibu sambil pulang ke rumah meramban daun pakis yang enak digulai ini. Di pagi hari embun masih menempel di atas dedaunan. Indah sekali.
Selanjutnya adalah kisah saat aku diajak ayah ke kantor pada hari gajian. Gajian di perkebunan diadakan sebulan dua kali: gajian besar dan gajian kecil. Gajian kecil di pertengahan bulan, sementara gajian besar di awal bulan. Sebagai seorang bocah, tentu aku paling senang diajak ke kantor saat gajian karena biasanya ada saja karyawan baik hati yang memberiku uang. Nggak jelas, apakah mereka memberinya dengan ikhlas atau karena ada maksud terselubung.
Uang paling besar yang pernah kuterima sejumlah Rp 500. Kalau dulu sering disingkat limrat (alias lima ratus). Tentu saja, uang segitu sangat besar nilainya saat itu. Kalau sekarang setara dengan berapa ya? Rp 20.000 kaleee…
Berikutnya ada cerita yang menarik tentang Saha seorang penjual koran. Meskipun karyawan biasa, tetapi ayahku bisa menyisihkan uang untuk dapat membeli koran dari Saha. Saha mengambil kulakan koran dari Binjai dan berjalan kaki sambil terkadang menumpang bus sejauh hampir 40 km. Bayangkan perjuangannya. Di perkebunan atau perkampungan yang menurutnya banyak pembeli potensial, dia turun dari bus dan menjajakan korannya berjalan kaki. Sebuah pekerjaan gila jika diukur dengan time frame saat ini. Hebat benar stamina dan keteguhan hatinya.
Aktivitas masa kecil yang paling menarik adalah mandi di sungai. Sungai Namun Datuk terletak sekitar 2 km dari rumah kami. Untuk mencapainya kami bisa berjalan berombongan atau naik sepeda. Biasanya para ibu membawa nasi beserta lauknya di dalam rantang sehingga di sungai kita bisa makan-makan.
Dengan menu hanya nasi putih dan sambal lado telur nikmatnya tiada tara. Air sungai yang dingin membuat perut lapar lebih cepat sehingga nafsu makan meningkat.
Di sungai yang airnya masih jernih ini kami anak-anak bermain. Pura-pura berenang, padahal tangan menyangga dasar sungai. Berkejar-kejaran sambil bersiram-siraman sungguh sebuah pengalaman yang mengasyikkan.
Beberapa orang dewasa dan remaja tengkurap atau duduk di atas ban dalam mobil. Mereka mengikuti arus air. Setelah sampai di bawah, ban dibawa lagi ke atas. Lalu adegan dimulai dari awal lagi.
Sebagian bapak ada yang menembak ikan dengan cara menyelam. Mereka menggunakan senapan lontar yang bermatakan besi lancip. Dengan google yang kedap air mereka bisa leluasa melihat ikan di dalam air. Sebuah wisata murah meriah yang sulit ditemukan lagi saat ini karena air sungai mulai keruh dan populasi ikan semakin sulit ditemukan.
Btw, mengais-ngais masa lalu ini penting nggak sih?
Mengais Masa Lalu ?
Itu menurut saya Penting …
Kita bisa banyak belajar dari sana ..
Atau paling tidak untuk menghadirkan senyum kebahagiaan jika kita mengenangnya …
BTW
TURI … ini persis seperti adik ku Bang …
Adikku (Tante NH aka Sruntul)
Juga selalu menyebut TVRI itu TURI …
Hahahaha …
Wempi serasa larut dengan tulisan om, merasakan kehidupan di perkebunan 😀
Seru bang, masa lalu yang ga dikenal sama orang kota.
Menurutku, menulis itu bukan masalah penting atau ga penting, yg penting itu kita menulis maka kita senang… 😀
Kayaknya anak-anak kecil di mana-mana hampir sama ya Bang, yaitu membaca logo TVRI jaman dulu itu sebagai TURI … hehehe. Juga kalau nyanyi lagu wajib apa itu yg ada kata-katanya “pribadi bangsaku” hampir semua yg saya tanya waktu kecil kita-kita kedengarannya sebagai “pribang pribangsaku” … 🙂
@pak oemar bakrie:
kalau saya dulu nyanyikan lagu itu begini: “dibang dibangsaku”, huahaha… 🙂
@bro hery:
kalau aku dulu jajannya LIMPER alias lima perak… wah, itu sudah dapat macem2; es lilin, permen, dll… kalau sekarang, anakku juga disangu LIMPER alias limaribu perak! 🙂
Bukit Lawang ?
ya, saya tahu itu
sebab saya pernah ke sana
sayangnya Bukit Lawang
tak seindah doele lagi 😦
@ Bukit lawang
Temen-temen yang pernah ke sana, dengan sumringah menceritakan tentang arus sungainya yang masih asri, cocok sekali untuk arum jerang… eh salah arung jeram maksudnya. Dan beberapa monyet dan orang utan yang acap kali muncul menyapa para wisatawan. Sayang, bukit lawang tergerus banjir dahsyat pada tahun 2006. Tahun 2008 kemaren ada teman yang rekreasi ke sana, “masih asri koq” katanya.
@TVRI
Jadi inget acara-acaranya; ada aneka ria safari, ACI, Album minggu kita, telenovela little missy, CHIPs, the A team dll. Apalagi ketika ada tanding tinju ellyas Pikal atau Tyson, sekolah bisa diliburkan lho.
artikel yang bikin larut terbawa jauh… keren.
salam kenal pak..
@Pak Oemar … @Uda Vizon …
“Pribadi bangsaku …”
Kalo jaman aku dan teman-temanku dulu berubah menjadi …
“Ribaaaa Ribangsaku …”
(en swer … tak ada muatan pulitik waktu itu … )(belum ngerti lageee …)
Indahnya kehidupan anak-anak yang masih dikelilingi kehijauan.
Saya pernah melewati Tanjung Morawa, dalam satu kesempatan ke Prapat, dan ke Kisaran
wahh ky mengingat waktu ortu sy masih muda
ky nya berita TVRI doeloe lebih unik yah dri pada program berita lain . saya menyampaikan untuk TVRI agar meningkatkan program News nya yah
nice share…
Salam kenal mas Hery Azwan,
Saya lahir tahun 1961 di Tanjung Keliling. Masa kanak2 yang indah hingga thun 1969. Sampai sekarang saya masih ingat asyiknya mandi di Ramerina (mandi di Namu Datuk cuma 1x bersama murid dan guru SD Negeri habis terima Rapor).
Masanya Mas Hery tahun berapa ya?