Tadi malam di sebuah televisi ditampilkan acara yang menelusuri kecurangan dalam ujian nasional di pelbagai daerah. Bagaimanakah modusnya? Macam-macam.

Ada yang dengan cara membagikan pinsil yang sudah diselimuti selembar kertas contekan. Ada juga juga yang terang-terangan membagikan satu lembar contekan ke siswa, lalu menggilirnya ke siswa lain. Bahkan yang lebih parah, ada yang membacakan jawaban dan siswa tinggal menyalinnya.
Mengapa ini bisa terjadi? Alasannya pasti klise, agar marwah sekolah tetap terjaga. Jika banyak siswa yang tidak lulus, pasti sekolah juga yang kena getahnya. Tak akan ada lagi orangtua yang sudi menitipkan anaknya ke sekolah tersebut. Maka, dibuatlah persekutuan busuk tadi untuk mendongkrak nilai siswa.
Sebenarnya apakah tujuan ujian? Sejauh yang saya pahami, ujian bertujuan untuk mengukur apakah siswa sudah menguasai pelajaran yang diberikan selama periode waktu tertentu. Karena itu, ujian memang bersifat me-recall memori yang lalu. Tidak ada dalam ujian pertanyaan dari pelajaran yang belum diujikan.
Yang jadi masalah dalam Ujian Nasional adalah penyeragaman. Sebagaimana diketahui, siswa di seluruh Indonesia sangat beragam. Ada yang sekolahnya mahal sekali dan sudah dilengkapi fasilitas canggih, ada yang biasa-biasa saja, bahkan ada yang memprihatinkan karena ruang kelasnya seperti kandang sapi. Sementara, standar kelulusan diseragamkan. Soal yang dipakai didrop dari Jakarta. Padahal, guru kelaslah yang tahu bagaimana kapasitas siswanya, apa yang sudah dipelajari dan apa yang belum.
Saat saya “sekolah” di Gontor dulu, ujian dinantikan sebagai peristiwa luar biasa. Pada papan pengumuman di bawah mesjid, tertulis seperti ini dalam bahasa Arab atau Inggris: “Ujian akan tiba 30 hari lagi”. Setiap hari jumlah hari diupdate laksana count down American Top 40. Benar-benar seperti peristiwa sakral.
Dua minggu menjelang ujian, semua kegiatan ekskul seperti olahraga, kesenian dan keterampilan dihentikan. Semua energi dihimpun untuk menyukseskan ujian. Setiap malam, para guru berkeliling asrama laksana dokter yang sedang praktek. Setiap santri boleh bertanya semua pelajaran yang kurang dipahaminya.
Setiap malam, setelah listrik dimatikan (dulu masih pakai genset), kita dapat melihat suasana pondok seperti dirubungi kunang-kunang. Apa pasal? Banyak santri yang begadang dan menyalakan lampu teplok atau sentir sebagai pendukungnya. Mereka belajar hingga pagi, ditemani sekadar kopi dan kacang garing. Mie instant cukup dibuat dengan cara menyiram air panas ke bungkusnya (dulu belum ada popmie). Setelah itu bungkusan diikat dengan karet. Tiga menit kemudian, siaplah mie untuk disantap.
Ujian di Gontor ada dua, yakni ujian lisan dan tulisan. Ujian lisan biasanya berlangsung selama sekitar tiga hari sampai seminggu. Setiap santri berhadapan dengan dua atau tiga orang penguji dan harus menjawab pertanyaan dalam bahasa Inggris dan Arab untuk beberapa pelajaran utama. Sesi ujian lisan ini sering membuat santri sakit perut karena dicecar pertanyaan laksana sidang pengadilan. Sambil menunggu giliran ujian lisan, santri dapat mengulang pelajaran lainnya.
Pada ujian tulisan, yang cukup unik di Gontor adalah peraturannya yang sangat keras, yaitu “Barangsiapa ketangkap basah mencontek, maka ganjarannya adalah dipulangkan ke orangtua”. Di ruang ujian, siswa dari beberapa kelas digabung sehingga teman sebangku biasanya bukan teman sekelas, sehingga kemungkinan mencontek dari teman sebelah bisa diminimalisir.
Yang juga unik adalah tidak ada ujian bersistem muliple choice. Semua soal dalam bentuk essay, laksana anak kuliahan. Hal ini secara tidak langsung juga menutup kemungkinan untuk saling mencontek karena alangkah sulitnya mencontek banyak tulisan, bukan sekadar jawaban a, b, c atau d. Biasanya jumlah soal tidak terlalu banyak, sekitar 5 hingga 10 soal.
Ada kejadian menarik tentang ujian ini. Menjelang minggu tenang, saya biasanya belajar dengan menuliskan kembali beberapa kata kunci. Di Gontor kebetulan banyak pelajaran berbentuk hapalan, terutama yang berbahasa Arab. Saya biasa menuliskan hapalan saya di papan tulis saat kelas kosong.
Lama-lama saya berpikir, kenapa tidak menuliskan di buku tulis. Maka, saya mulai menuliskan ringkasan pelajaran di lembaran kecil kertas yang ukurannya sekitar seperempat dari buku tulis. Hurufnya saya tulis kecil-kecil sehingga dapat dibawa kemanapun saya pergi: sambil makan, sambil jajan, maupun sambil ngobrol. Saat ada waktu luang, saya membukanya, mungkin seperti orang sekarang yang sedang update status di facebook. Kata kunci tadi dapat mengingatkan saya konsep atau pengertian sebuah teori.
Eh, tidak dinyana, ada teman yang melihat ringkasan (khulasoh) ini cukup bermanfaat. Akhirnya dia mengkopinya dari saya. Tak lama, teman-teman lain ikut menggandakannya. Menurut kabar yang saya dengar, teman saya tadi akhirnya menjual ringkasan tadi ke seluruh santri setelah menggandakannya dengan cara foto copy. Rupanya ada yang melaporkan hal ini kepada guru BP. Akibatnya dia dipanggil dan disidang. Akhirnya dia dibotak. Kurang jelas apa salah dia. Bukankah dia hanya ingin menolong teman-teman lain?
Sebagian teman meniganalisa kalau guru BP melihat bahwa ringkasan tadi kurang mendidik karena santri akhirnya malas membaca buku, tapi hanya membaca ringkasan. Uniknya, aku sebagai pembuat ringkasan tidak dihukum atau bahkan dipanggil sekalipun.
Akhirnya dia dibotak. Kurang jelas apa salah dia. Bukankah dia hanya ingin menolong teman-teman lain?
>>mungkin karena dia jual bang… jadi bukan salah abang, tapi dianya
cara menghapal begitu memang jitu buat belajar bhs Jepang dan sejarah. Kalau ilmu lainnya belum pernah coba hehehe.
Saya pernah baca di kuliah, sebuah buku (dalam bahasa Jepang) mengenai apa sebenarnya ujian itu (selain sejarah ujian di jepang).
1. Ujian untuk menjatuhkan …. supaya guru tetap nomor satu, karena yang dikeluarkan di soal ujian adalah yang belum pernah diajarin. Yang bisa jawab hanya guru
2. Ujian yang mendidik, dengan pemahaman ujian adalah “pengecekan” apakah murid sudah memahami apa yang disampaikan guru.
dsb (lupa musti buka diktat dulu hehehe)
Jepang nomor satu deh soal ujian… terutama license. Semua ada licensenya. Sampai penjaga gedung(janitor) aja ada licensenya loh.
EM
dengan essay bisa berimajinasi, makin panjang jawaban essaynya makin tinggi nilainya, wekekeke….
wah, mo komen terang, selesai komen mati lampu, gelap oi…
roziiii… ente digosipin hery… huahahaha….!!! 😀
jujur, aku harus akui bahwa sistem ujian di gontor sangat efektif. nilai yg disampaikan ke orangtua tidak ada yg direkayasa, berapapun itu. dapat 3 ya ditulis 3.
satu lagi yg menjadi motivasi dulu adalah, di gontor tidak ada ijazah. belajar adalah untuk ilmu, bukan untuk ijazah. suka silahkan lanjut, tidak suka silahkan pulang… maka oleh karena itu, kita tidak peduli dengan ijazah, yg penting telan sebanyak2nya pengalaman di gontor. barangkali karena inilah maka pemerintah mengakui ijazah gontor, tanpa harus mengikuti UAN…
kayaknya boleh juga tuh sistem ujian UAN di negara kita ini meniru ala gontor, gak pake multiple choise, tapi essay, sehingga kebocoran bisa diminamilisir…
oot dikit… tampilan blog ente cihuy bro… bikin gak jenuh kan…? hehehe… 🙂
Sebetulnya jika essay, itu akan sulit menyontek, karena menyontekpun harus pakai mikir nggak bisa sama persis. Apalagi jika dosen pintar bikin soal, soal yang sama hasilnya bisa berbeda. Emang di PT ada ujian multiple choice ya…seingatku saya dulu tak kenal mulitiple choice saat ujian…lha bagaimana wong ujian nya ada praktikumnya dan berupa soal-soal yang sulit. Bahkan ujianpun bisa istirahat makan dulu…
Anakku di UI, malah soalnya bisa diakses lewat komputer, masing2 anak berbeda..jika selesai dan dikirim lewat email sebelum jam 5 pm dapat bonus, jika sebelum jam 7 malam nilai normal, dan jika lewat jam 7 malam dipotong…..
ya, selain cara ujian yang pantas ditiru, saya rasa juga cara belajar di Gontor juga bisa dijadikan model. Jadi ingat waktu ujian sertifikasi Medical Representatif di PEDFI, semua soalnya berkaitan dengan ilmu kedokteran dasar. Saya yang tidak pernah ketemu pelajaran biologi dan obat-obatan dipaksa mencerna 14 modul ujian yang dipelajari dalam waktu tiga minggu kurang. Terpaksa deh, nerapin cara belajar Gontorian, hasilnya lumayan. Dari 14, hanya 2 yang heir dan bisa diselesaikan hari itu juga. Efek negatifnya, setelah ujian malah lupa semua pelajaran yang diujikan. 😀
Itulah kalau sekolah tujuannya hanya mencari ijasah, bukan ilmu / pengetahuan, sehingga cara apapun dijalankan … Imbasnya hal semacam itu dan varian-nya kebawa terus sampai ke perguruan tinggi bahkan sampai kerja dan nantinya sampai cara mendidik anaknya kelak …
Bang …
Dari tulisan abang ini …
yang nancep dikepala saya adalah …
Suasana malam hari …
Genset dimatikan …
Yang ada tinggal kelap-kelip lampu teplok milik santri yang sedang belajar …
Aaahhh ini pasti indah sekali …
Salam saya
pak nh…
itu memang indah sekali…
tapi sayang, sekarang sudah tidak ada
karena gontor sudah dielimuti listrik pln jutaan volt 😉
Memang ada plus minus nya, minus nya lebih gde sih …. tapi klo ga dimulai sekarang kapan lagi ? biar para guru juga meng up grade kwalitasnya…
hebat juga penarapan aturan utk enhindari pencontekan : yang ketahuan mencontek dipulangkan ke orang tuanya….salut
“Saat ada waktu luang, saya membukanya, mungkin seperti orang sekarang yang sedang update status di facebook.”
Beda anak jaman dulu sama orang tua sekarang (hahaha sama aja dong… :P).
BTW mengenai kecurangan ujian sebenernya sudah berlangsung lama, termasuk pas zaman gw (psst… jangan bilang2), tapi teutep dasar gw PD banget, gw cuwekin tuh jawaban dr guru…. 😛
Bener-bener luar biasa…. (apanya?..) membangun kepercayaan publik dan pemerintah yang dilakukan Gontor bukanlah waktu yang singkat namun hasilnya menghasil model yang patut ditiru oleh pemerintah terutama oleh bidang pendidikan. Sementara ini yang saya tahu (dari mengawas ujian-ujian di sekolah-sekolah) tidak sedikit guru yang justeru mengajarkan siswanya untuk mencontek bahkan memberikan contekan. Pelajaran tentang kejujuran yang selama ini mereka tanamkan, akhirnya mereka mentahkan kembali di babak akhir pembelajaran yang sesungguhnya. Lantas, mau jadi apa dan bagaimana mentalitas bangsa ini kemudian jika gurunya sendiri yang mengajarkan ketidakjujuran pada siswa.
Memang benar, salah tiga dari sekian kesalahan pendidikan kita adalah karena kejar nilai, kejar ijazah, dan takut tidak lulus. Bukan karena mengejar ilmu pengetahuannya, kalaupun ada masih sangat sedikit. Hal ini pun tidak lepas dari peran dan kesadaran masyarakat sebagai pengguna jasa lembaga pendidikan, tegas orang tua yang menitipkan anaknya.
Para orang tua sendiri, BAGAIMANA PENDAPAT ANDA TENTANG HAL ITU ??????
Para Guru, masihkah ada diantara Anda yang melakukan demikian???
Semoga mentalitas bangsa ini terus dapat diperbaiki…..
Salam Hormat untuk seluruh arsitek moral bangsa ini
Saya paling suka kalau ujian di ambang pintu, segala mahkamah (pengadilan disiplin) dihentikan 🙂 Yang paling diingat, petuah Alm. KH Imam Badri dalam pengarahan pra ujian di masjid Jami’ “jangan belajar di bawah pohon kelapa!….” dan “Jangan seperti Napoleon Bonaparte, takut diuji”
tak tanya sama Mbah Google dulu… hehehe
Tulisan yang indah…
Dulu…ujian adalah saat yang dinantikan, bahkan sejak menginjak kelas 3 SMA, semua tenaga dikerahkan.
Jika belajar saya biasa meringkas, membuat kerangkanya…untuk mempermudah belajar. Anehnya ada yang pinjam ringkasan ini, walau bingung, saya pinjamkan…bukankah lebih mudah jika kita membuat sendiri, karena itu sekaligus belajar.
Dulu, ujian juga menakutkan…buat yang tidak siap….dan bagi sekolah tak masalah muridnya tak lulus 100%, namun nilai yang tercantum di hasil ujian dan raport menunjukkan kualitas sekolah tsb.
Saya masih ingat, suatu SMA di daeah tertentu di black list dari IPB (oleh alm Andi Hakim Nasution), karena dua tahun berturut-turut siswa yang termasuk 5 % tertinggi nilainya di sekolah tsb, begitu dipanggil IPB tanpa test, tahun pertama langsung tengkurap…dan IP nya di bawah 1, 5…artinya nilainya banyak di katrol. Bagi saya, saat tahun Persiapan Bersama adalah tahun yang berat, karena keberhasilan saya juga merupakan standar keberhasilan sekolahku di SMA. Begitu saya lolos, maka Institut itu tak ragu memanggil adik kelasku….namun begitu ada kegagalan, memerlukan waktu lama untuk membuktikan bahwa SMA itu tak curang.
Maksudnya guru BP itu apa ya he he di Gontor kan gak ada Guru BP, apa bagian Pengasuhan santri atau KMI he he, tapi ada juga yg berhasil nyontek tuh orang yg duduk di depan ane anak jakarta, waktu itu kelas 5 plajaran mustolahul hadits masih inget tuh wkwkwk karna ane dapat nilai 1 itu plajarn. dan alhasil yg nyontek naik kelas 6 ane harus ngulang di kelas 5 jadi mujiddin bray wkwkwkwkwkwkwkk