Dalam sebuah rapat RT menjelang HUT RI kemarin saya sempat bertukar pikiran dengan beberapa orang tetangga merespons kasus teroris belakangan ini. Tentu saja, sesuai dengan persepsi masing-masing yang terkadang bias.
Seorang Bapak yang cukup dandy berkata, ”Kalau kita-kita ini susah banget bikin anak. Paling banyak dua sudah syukur. Kalau mereka yang di kampung-kampung, maaf-maaf seperti tukang bakso, mereka bisa punya tujuh anak. Lalu anaknya dimasukin ke sekolah mana? Paling-paling ke pesantren, karena dia tidak akan mampu di sekolah umum. Terus di sana diajarin apa? Aliran keras?” Oow, ada kata pesantren di sana.
Saya diam saja mendengarkan ungkapan sang tetangga ini dan tak pernah berupaya mengklarifikasi kalau saya pernah belajar di pesantren. Nanti kalau ditanggapi khawatir suasana jadi tidak nyaman.
Dalam sebuah kesempatan lain, seorang tokoh masyarakat dengan bangganya mengisahkan kalau di masa kecilnya dia dan teman-temannya dipaksa mengaji oleh orangtuanya di surau. Kalau mereka malas mengaji, orangtua mengancam untuk mengirim mereka ke pesantren di Jawa.
Demikianlah, bagi sebagian orang yang tidak mengerti, pesantren sering disamakan dengan kekolotan, keterbelakangan dan kaum sarungan yang gaya hidupnya sangat tradisional dan tempat buangan anak nakal. Apalagi ini diperkuat oleh beberapa tokoh yang pernyataannya cukup ekstrem sehingga masyarakat sering berkesimpulan demikianlah pada umumnya karakter lulusan pesantren. Citra pesantren sebagai tempat buangan anak-anak nakal dan mereka yang tidak dapat bersaing di sekolah umum juga masih tetap melekat hingga saat ini.
Hadirnya buku Negeri 5 Menara yang ditulis oleh A Fuadi saya anggap merupakan sebuah anti tesa terhadap citra buruk di atas, meskipun awalnya tidak dimaksudkan demikian oleh penulisnya. Dalam buku ini, seluk beluk kehidupan pesantren dengan pendidikannya yang berlangsung 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, dikupas habis beserta romantikanya. Disiplin yang ketat bak kuil shaolin, kehidupan yang sederhana, jadwal padat yang diatur dengan lonceng, kyai yang jago bermain bola, semuanya dikupas habis di novel ini.
Sbagai murid yang pintar dan berpeluang masuk SMA Negeri, sebenarnya Alif setengah hati untuk belajar di pesantren. Namun akhirnya dia mulai betah karena ada teman sepenanggungan Atang, Said, Raja, Dulmajid dan Baso. Mereka memulai mimpi mereka dari awan yang mereka lihat dari menara medjid jamik, berbekal mantera Man Jadda Wajada , Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Kelak mereka akan bertemu lagi di London dalam kesempatan yang tidak terduga.
Bagi saya yang pernah mengecap kehidupan di sana selama beberapa tahun, novel ini menyegarkan kembali ingatan masa-masa bersekolah di sana. Bagi orang tua yang bermaksud memasukkan anaknya ke pondok, novel ini bisa menjadi tour guide yang sangat representatif. Bagi orang luar yang tidak pernah bersentuhan sama sekali dengan dunia pondok, mereka akan lebih mengerti apa yang terjadi di dalam tembok pesantren, meskipun tidak bisa digeneralisir.
Beberapa pesantren yang belum menerapkan sistem klasikal, memang menerapkan disiplin yang sangat longgar. Setiap santri bebas untuk mengikuti pengajian atau tidak. Mereka juga bebas bersekolah di sekolah umum. Ibaratnya, pesantren hanya seperti tempat kos plus ada pengajian setelah sholat wajib.
Penulis buku ini, Fuadi, merupakan contoh sukses dari alumni pesantren. Aktif menjadi wartawan majalah santri, eh akhirnya bisa menjadi wartawan majalah terkenal Tempo. Bermula dari senang mendengar siaran radio VOA, eh akhirnya bisa menjadi penyiar VOA dan meliput peledakan WTC tahun 2001. Bermula kepingin masuk ITB, eh malah bisa meraih gelar dua master dari universitas luar negeri, satu dari Amerika, satu dari Inggris. Sebuah pencapaian yang luar biasa dari alumni pesantren. Selamat bro Fuadi. Gue bangga ame loe…
gw bangga juga, hehe…
Aku terkesan sekali dengan salah satu kalimat dari Amak si Alif: “Karena banyak orang yang bersekolah agama karena tidak diterima di sekolah negeri, maka lulusannya tidak mumpuni menjadi ulama. Oleh karenanya, orang pintarlah yang harus belajar agama, agar terlahir ulama-ulama yang benar-benar pintar” (eh, itu versiku sendiri, tapi kira-kira begitulah intinya).
Aku suka dengan ungkapan itu, dan memang begitulah seharusnya.
Bro, barangkali kesan kita sama ketika membaca halaman demi halaman novel itu. Benar-benar mampu menyeret kita ke era 20-an tahun lalu… 😀
Tanpa bermaksud menggurui … namun kalau boleh saya berkomentar …
Pendapat tetangga Bang Hery ini perlu kita luruskan Bang …
Bukannya apa-apa … mereka mempunyai persepsi yang sangat salah terhadap apa yang disebut sebagai pesantren …
Bagi saya pribadi …Maraknya Boarding School saat ini … saya yakin konsepnya mengambil konsep Pesantren … cuma dibungkus dengan kata-kata “modern” … agar lebih trend …
Pada hakikatnya Boarding School (terutama yang bersifat islami) itu sama dengan Pesantren …
Mungkin pendapat saya salah … tapi itulah yang saya pikirkan …
Salam saya bang …
Pendapat Mr. Dandy juga tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Sebab di pelosok-pelosok negeri ini, masih banyak pesantren yang memang mirip ‘tempat buangan’. Makan seadanya, nyaris tanpa gizi. Pakaian kumal, berpeci lusuh, kurikulum ‘asal bisa ngaji cangkem’ bahkan santri selalu identik dengan kudisan. Karena air yang dipakai berwudhu dan MCK dari situ-situ saja: kolam yang airnya tidak mengalir dengan baik.
Maaf, itu sekedar cerita dari salah seorang saudara yang pernah mesantren di ‘pesatren tradisional’. Tapi memang banyak pesantren lain juga yang berkualitas, yang berhasil menelurkan alumnus-alumnus yang hebat….
Stereotiping, persepsi dll. umumnya bisa salah, tapi counter frontal kayaknya juga kurang efektif malah bisa kontra-produktif (halah !). Saya pikir melalui karya nyata dan sesekali usaha public awareness / public relation seperti melalui novel ini (yg tentu saja didasarkan hal-hal riil) tentu akan lebih positif.
Salam.
Terimakasih info NOVELnya bang, InsyaAllah dicari dan dibaca dibulan Ramadhan kayaknya mengena deh…..hbs kebanyakan baca novel2 roman religi sih (AAC, KCB,dan yg sejenisnya berbondong2 terbit)…….Nanti kan taruh diatas meja biar anak2ku ikut membaca (yg mungkin juga mereka hanya setengah2 mengerti ttg dunia kePESANTRENan)………
Mohon maaf lahir&bathin, selamat beribadah Puasa (Karma.S)
Pesantren–seperti yang pernah saya rasakan–tidak hanya mencekcoki otak santri dengan ilmu-ilmu agama atau barisan abjad arab. Lebih dari itu, pendidikan mental serta pola pikir lah yang menjadi inti dari pembentukan insan kamil. Itu semua ada di pesantren….
sebagai alumni pesantren dan keluarga yang semua pendidikan pesantren tradisional, saya merasakan semua itu. mulai sikap negatif sampai dengan pelecehan. bahkan yg bersekap demikian adalah orang dekat dan keluarga kita juga. tetapi dengan bergulirnya waktu apa yang pikirkan dan pahami mereka ternyata tidak semuanya benar. bahkan banyak keluarga yng meledek saya tidak sukses dalam mendidik keluarganya bahakan sekarang memuji orangtua saya. bahkan saya di kantor untuk urusan internet dan komputer dijadikan rujukan, walaupun bisanya sebisa-bisanya. ya… setiap orang memang mempunyai persepsi tersendiri terhadap suatu objek yang orang lain tidak bisa mengintervensinya. faktalah yang akan bicara….
Kalau punya anak banyak….dan tidak bisa ngopeni ( merawat,mendidik )…ini masih banyak di negri ini.
Kalau pesantren….tidak semua jelek,apalagi saat ini sudah banyak pesantren modern,pendidikan agamanya OK,pendidikan formalnya juga berkualitas.Sehingga para alumni pesantren mampu berpikir realistis,dan memahami kehidupan dan jaman yang sedang berkembang.
Bang..aku sdh baca buku Negeri 5 Menara, bagus memang, tapi kenapa di buku itu tidak di ceritakan ya bagaimana Alif Fikri bisa bersekolah di Amerika dan London setelah lulus dari Pondok Madani, atau akan ada kelanjutannya kah? Bang Hery kan pasti tau infonya, karena termasuk yang andil dalam pembuatan Novel tersebut..
Salam kenal
IJuliars
wah aku no comment deh… ngga ngerti soalnya bang. sorry ya
EM
saya punya putra usia 4th, ada rencana ingin memasukkannya ke pesantren, tetapi setelah membaca kasus kekerasan di beberapa pesantren dr okezone.com rasanya agak takut jg ya..
dari mulai kekerasan fisik sampai kekerasan yg bersifat intim karena mereka kurang berinteraksi dengan lawan jenis. Apa ada solusi menangani rasa takut saya..? dan mohon rekomendasinya untuk pesantren terbaik dan bisa saya percaya untuk putra saya.. trims, wass.