Tour de Sumbar

Tour de Sumbar

Tepat pukul 09.35 Citilink yang membawa kami dari Jakarta (CGK) touch down di Minangkabau International Airport. Sambil pesawat berjalan di taxiway menuju terminal kedatangan yang tak begitu besar, awak pesawat mengucapkan salam perpisahan yang diselingi pantun, ciri khas maskapai Citilink. Sayang pantunnya lupa euy…

Tak sampai 20 menit, bagasi yang dinanti sudah ditemukan semua, sehingga kami langsung keluar terminal. Mataku menyisir setiap pembawa papan nama, mencari namaku sebagai pemesan layanan rental mobil. Namun rupanya belum ada yang menjemput. Langsung saya menelepon kontak yang akan menyerahkan kunci mobil pesanan kami. Rupanya beliau masih di luar bandara dan akan tiba 10 menit lagi. Kami pun menunggu.

Tak lama Om Yose yang membawa mobil datang dan menghampiri kami. Kunci pun diserahterimakan. Kami sengaja tidak menggunakan sopir karena jumlah kami 6 orang. Jika menggunakan sopir, plus 3 koper ukuran sedang, maka kapasitas mobil tidak mencukupi.

Mobil yang kami pesan Inova tahun 2017. Jadi masih lumayan baru. Hanya saja aku lupa memastikan untuk meminta jenis matic. Ternyata yang dikasih mobil jenis manual, sehingga otakku harus bekerja keras untuk me-recall keahlian yang sudah lama tak dipakai. Pelan-pelan aku starter mobil sambil menginjak pedal kopling. Padahal di mobil matic yang diinjak saat starter biasanya rem.

Pelan-pelan kami keluar dari area bandara menuju Bukittinggi. Bahan bakar lumayan banyak, lebih dari setengah, sehingga kami tidak perlu buru-buru mencari SPBU.

Jalanan relatif sepi dengan kendaraan. Di kiri kanan mulai terlihat baliho para caleg yang akan bertarung di Pemilu 2019. Sepanjang jalan yang banyak terlihat adalah rumah beratapkan seng berwarna merah. Rel kereta api berada di sisi kiri jalan. Salah seorang kami bertanya apakah rel ini masih berfungsi. Aku menduga rel yang dibangun di masa penjajahan Belanda ini masih berfungsi. Dugaanku terbukti benar ketika sebuah rangkaian kereta berjalan di atas rel. Klaksonnya dibunyikan berkali-kali sebagai isyarat keberadaannya, sehingga penduduk yang tinggal di sekitar tidak menyeberangi rel saat kereta lewat.

Baru berjalan 15 menit kami melihat SPBU. Tidak mau mengambil risiko kehabisan BBM, kami mengisi hingga tangki penuh. Oh, ya yang diisi Pertalite karena premium sedang kosong. Kekosongan premium ini sepertinya berlangsung hingga besok di hampir semua SPBU di Padang dan Bukittinggi.

Menjelang masuk Sicincin jalan lurus menuju Bukittinggi diblokade. Kita diarahkan ke kiri melewati Malalak. Namun kami tetap bisa melewati blokade, mengikuti mobil di depan kami.

Tak terasa dalam satu jam kami sudah tiba di Kayu Tanam, tempat jembatan yang hanyut terbawa banjir bandang. Kami mengikuti antrian dengan pasrah. Apalagi kami tahu kalau prioritas jembatan darurat adalah untuk mobil dari arah Bukittinggi karena mereka akan mengejar pesawat (nggak semua mau naik pesawat keles…).

Setengah jam kemudian, kami belum bergerak banyak. Entah sampai kapan. Terjadi perdebatan antar kami apakah mau tetap antri ataukah mencari jalan alternatif seperti yang disarankan Google Maps. Masalahnya, kami merasa tidak melihat jalan alternatif yang disarankan Mbah Google. Kami pun memutar arah, yang dilakukan juga oleh beberapa mobil, sambil mencari jalan alternatif. Karena tertutup mobil yang antri, jalan alternatif tidak terlihat. Akhirnya, kami memutar lagi dan larut dalam antrian. Pelan-pelan kami mencocokkan Google Maps dengan kenyataan. Akhirnya ketemu juga. Kondisi jalan tidak ada aspalnya, hanya jalan tanah. Kontur jalan juga bergelombang sehingga sangat tidak nyaman untuk jenis sedan. Untunglah kami mengendarai Inova sehingga semua gelombang dapat diatasi dengan baik. Untungnya juga cuaca sangat bersahabat sehingga jalan kering. Dapat dibayangkan jika hujan tiba. Pasti jalan akan menjadi kubangan.

Sekitar 20 menit kami melewati jalan alternatif ini. Tak sampai 15 menit kami tiba di Lembah Anai yang seminggu lalu airnya meluap sampai ke jalan. Kami berfoto sebentar di sini. Tiket masuk hanya Rp5.000. Tampak tangga di depan pintu masuk sedang diperbaiki. Mungkin sedikit tergerus kena terjangan air. Beberapa group wisatawan lain juga tampak keluar masuk dari tempat ini.

Tujuan berikutnya tempat makan yang sangat legendaris, yaitu Sate Mak Syukur di tempat asalnya, Padang Panjang. Tak sampai 5 menit sate sudah tersedia. Ternyata di pusatnya memang lebih enak dari cabangnya yang bertebaran di mall-mall Jakarta. Sudah begitu harganya lebih murah, hanya 27.000 per porsi. Yang lucunya, kita boleh pesan setengah porsi dengan harga 17.000. Makan berenam hanya Rp260.000 (sudah termasuk minuman jus beraneka). Maknyus bin wareg….

Awalnya kami akan melanjutkan perjalanan ke Puncak Lawang dengan pemandangan indah danau Maninjau. Berhubung para jamaah sudah mulai lelah, kami memutuskan langsung ke Bukittinggi, tepatnya ke Ngarai Sianok. Sebelumnya kami sholat Zuhur dan Ashar di mushola restoran.

Perjalanan ke Bukittinggi dari Padang Panjang mulai ramai, di beberapa tempat bahkan harus merayap karena ada acara pernikahan. Mobil diparkir sembarangan di sepanjang jalan mendaki sehingga menyulitkan pengendara lainnya.

Dengan kecepatan lambat kami memasuki kota Bukittinggi yang mulai padat. Di kiri kanan mulai banyak restoran, bahkan ada Surabi Enhai asal Bandung.

Sejurus, tibalah kami di Ngarai Sianok. Tiket masuk 15.000 per orang. Tempat ini sudah didandani sedemikian rupa sehingga tampak lebih indah dibanding saat kunjungan saya beberapa tahun lalu. Bahkan kini ada spot khusus untuk foto dengan latar ngarai. Dua anggota rombongan masuk ke gua Jepang, sedang sisanya menikmati rujak Sutan Mudo di seberang pintu masuk ngarai. Rujaknya asoy geboy. Bumbu kacangnya nikmat.

Setelah peziarah gua Jepang kembali kami pun langsung check in di Hotel Novotel. Setelah masuk kamar dan beristirahat sejenak, kami memutuskan untuk menjelajahi Pasar Atas. Karena ada orangtua kami memutuskan naik mobil, keputusan yang ternyata salah. Akhirnya kami memutar sampai 2 kali untuk mencapai Pasar Atas. Ujungnya, mobil diparkir di hotel karena di sepanjang Pasar Atas tidak ada lahan parkir. Di sepanjang jam gadang yang sedang direnovasi juga tak ada tempat parkir.

Dasar emak-emak, melihat pasar bagaikan itik melihat comberan. Padahal, di Bandung-Jakarta kurang banyak apa mall, coba. Di sela-sela lorong Pasar Atas yang gerah, pasukan emak-emak ibu kota dengan semangat empat lima mendatangi toko lambat-lambat.

Hampir 2 jam di sini, energi mulai terkuras dan minta diisi lagi. Pilihan makan malam jatuh pada Simpang Raya di depan jam gadang. Menu rendangnya beda dari resto lain. Serasa lebih gurih. Semua jamaah happy dengan menu favorit masing2, ada ayam pop, paru, ayam gule, dsb. Makan di sini ternyata juga relatif murah. Berenam hanya 198.000.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s