Tidak seperti buku sebelumnya yang berkutat dengan ide dan pemikiran yang mencerahkan, buku ini sangat kental mengungkap unsur pribadi Gede Prama, resi manajemen Indonesia. Tentu saja, walau tidak banyak, masih ada irisan pemikiran yang tersenggol dalam wawancara yang dikumpulkan dari berbagai media ini, misalnya tentang ‘Agama saya Cinta’ yang selalu didengungkannya.
Gede kecil tidak begitu pintar. Bahkan, untuk masuk SMP Negeri sekalipun Gede tidak lulus, sehingga terpaksa masuk sekolah swasta. Setelah itu, di SMA Gede juga memaksa masuk jurusan IPS, meskipun dia disarankan gurunya masuk jurusan bahasa. Padahal saat itu, anak pintar pasti masuk jurusan IPA.
Hidup adalah keterpaksaan. Gede selalu memaksa dirinya agar cepat terangkat ke atas. Gede selalu bergaul dengan teman yang umurnya jauh lebih tua. Mungkin ini yang menyebabkannya cepat dewasa. Gede menikah di umur 20 tahun, saat mahasiswa lain sedang asyik2nya menikmati masa muda. Dengan menikah, menurutnya, orang akan menjadi lebih bertanggung jawab. Hanya orang yang ndableg yang membiarkan anak istrinya kelaparan sementara dirinya berleha-leha.
Setelah menikah, Gede tetap mendapat kiriman dari orangtuanya sebesar Rp 75.000, tidak ditambah dan tidak dikurangi. Tentu saja uang ini tidak cukup untuk membiayai kuliah dan keluarganya, apalagi setelah anak pertamanya lahir. Menghadapi hal ini, Gede termotivasi untuk memperoleh tambahan penghasilan dengan cara mengirimkan tulisannya ke beberapa media yang terbit di Bali.
Pekerjaan sampingan sebagai penulis ini tidak langsung membuahkan hasil. Tulisannya berkali-kali dikembalikan yang membuat istrinya hampir bosan setiap kali menerima pengembalian tulisan Gede dari media. Tulisan pertama Gede dimuat, namun honornya tidak cukup untuk membeli sabun dan shampo bayi sekalipun. Walaupun begitu, Gede tetap bersemangat sehingga semakin banyak tulisannya yang dimuat.
Setelah menamatkan kuliahnya di Universtas Udayana Gede memutuskan hijrah ke Jakarta untuk mengadu nasib. Berpuluh surat lamaran disebar namun belum juga ada perusahaan yang memanggil. Untunglah ada orang Bali yang berusaha sebagai pemilik angkot memberikannya kesempatan kerja menarik angkot jurusan Pasar Minggu-Depok.
Tak sampai satu bulan bekerja sebagai sopir angkot, datanglah panggilan kerja dari sebuah perusahaan ternama. Setelah bekerja bukannya tanpa masalah. Gede ternyata tidak lulus masa percobaan tiga bulan sehingga harus diperpanjang lagi masa percobaannya. Gede juga harus ikut mengangkut-angkut barang di pasar. Seringkali Gede mengendap-endap agar tidak kelihatan saudaranya yang ada di Jakarta.
Cobaan di tempat kerja juga tak habis-habisnya. Bonus yang menjadi haknya dimakan oleh bosnya. Ingin rasanya Gede mengundurkan diri jika tidak memikirkan kewajiban memberi nafkah anak istri. Setelah bekerja empat tahun Gede sudah bisa membeli mobil Jimny bekas dengan jabatan asisten manajer. Sementara, banyak teman kuliahnya yang masih ke sana kemari membawa lamaran kerja.
Dasar Gede tukang cari penyakit, dia memutuskan mengambil program MM di Prasetiya Mulya. Sebelum kuliah selesai modalnya untuk biaya kuliah hampir habis. Untunglah ada yang membantu. Setelah tamat Gede diminta menjadi dosen di almamaternya. Sambil menjadi dosen, Gede juga menjadi konsultan di Pindad. Di sini dia bertemu dengan Habibie yang mengomporinya untuk sekolah ke luar negeri. Menurut Habibie, untuk menjadi konsultan yang bonafid perlu ada “tongkrongan” embel2 dari luar negeri. Maka, bertekadlah Gede mencari beasiswa British Chevening Award.
Dengan bahasa Inggris terbatas, Gede berusaha mencari tahu trik untuk lulus tes dari pegawai di sana. Dengan kemampuan menulisnya yang sudah teruji di berbagai media di Indonesia, Gede tertolong dan mampu membuktikan kepada tim penguji bahwa dia merupakan ‘The Future Leader’ yang layak mendapat beasiswa ke Inggris.
Gede tidak kuat berpisah dengan keluarga sehingga dia bersikeras membawa keluarganya ke Inggris. Beasiswa yang sejatinya untuk Gede seorang harus menopang empat orang anggota keluarga: Gede, istri dan dua orang anaknya. Di Inggris mereka selalu membeli jeroan, karena tak sanggup beli daging. Di sana jeroan dianggap makanan anjing orang miskin. Bahkan anjing orang kaya saja makannya daging. Untungnya selama setahun makan jeroan di Inggris Gede tidak pernah terjangkit asam urat. Mungkin karena Gede banyak jalan kaki dari apartemen ke kampus universitas Lancaster pp. Apartemen yang ditinggali Gede adalah apartemen paling murah yang orang Inggris sendiri tidak mau tinggal di dalamnya.
Setelah tamat dari Lancaster dalam bidang Organisasi Perusahaan Gede kembali mendapat tawaran beasiswa program MBA Refreshment dari Universitas INSEAD, Perancis selama 4 bulan. Beasiswa ini juga diperoleh karena kepiawaian Gede dalam menulis. Saat itu kebetulan sponsor UE ingin membuat majalah dan Gede menyanggupi untuk membantu kelahiran majalah tersebut.
Setelah pulang ke Indonesia Gede jadi pengangguran intelektual. Mau kembali ke Prasetiya Mulya tidak diterima karena Gede sudah indisipliner diam-diam berangkat ke Inggris tanpa menunggu antrian. Melalui mahasiswanya dulu dia mulai menjadi konsultan dengan memberikan materi Supervisory Management di BDN. Gede juga aktif menulis artikel di media massa. Awalnya dia menulis bidang manajemen. Setelah itu beralih ke marketing. Dan akhirnya Gede mulai mantap untuk menulis spritualitas lintas agama yang dianggap menyerupai Stephen Covey. Ceruk pasar yang belum ada di Indonesia inilah yang diisi Gede dan membawanya menjadi resi manajemen sampai saat ini.
Gede diundang di mana-mana, baik sebagai pembicara publik maupun lewat in house training. Salah satu perusahaan yang menggunakan jasanya adalah IBM, Citibank, Tupperware. Tidak hanya sebagai konsultan, Gede ternyata mendapat kesempatan untuk menjadi profesional di sebuah perusahaan jamu. Di perusahaan keluarga ini Gede diuji ilmunya. Yang selama ini hanya memberikan saran, tetapi sekarang harus menjalankan sendiri dan mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang diambil. Kejujuran Gede membuatnya dipercaya oleh komisaris yang terdiri dari 3 orang. Namun uniknya, pemilik perusahaan tetap mengizinkan Gede berbicara sebagai public speaker di mana-mana.
Kesuksesan materi tidak membuat Gede terlena. Gede mampu menjaga keseimbangan antara materi dan spiritual. Dulu, ketenaran dan kesuksesan seringkali menggoda dirinya, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Dengan meditasi yang dilakukan rutin setiap hari selama lebih kurang satu jam Gede telah merasakan keheningan yang membuatnya tidak tergoda lagi dengan keangkuhan dan kesuksesan duniawi. Mungkin seperti para sufi yang telah mencapai hakikat. Kalau Gede meninggal, dia ingin dikenang sebagai ayah dan suami yang baik. Begitu sederhana.
Buku Gede yang ke 22 ini merupakan kumpulan wawancara Gede yang dimuat dalam kurun waktu yang cukup lama sehingga kita dapat melihat perkembangan pemikiran Gede. Sayangnya di sana-sini banyak sekali pengulangan, terutama tentang sejarah hidup Gede yang bisa muncul berkali-kali. Memang, inilah kelemahan buku yang hanya mengumpulkan tulisan yang sudah beredar, bukan pemikiran yang utuh. Begitupun, buku ini layak dibaca untuk menambah motivasi kita. Motivasi yang kuat dan visi yang jelas dapat mengubah setiap kesulitan menjadi kesuksesan. (Hery Azwan, Jakarta, 2006)
saya selalu membaca karya Gede Prama dari artikel di internet dan Buku. i applouse with him. jalan kejernihan tujuan terakhir makhluk berakal.
Thank’s so muach
sy salah satu pengagum gd prama, dan juga salah satu yg mengaplikasikan sebagian kecil motivasinya….karena sy belum siap!!!sy jg sempat mengikuti seminarnya di jakarta, benar2 kagum saya,,gd prama tidak blok manapun, dia bertutur layaknya mahluk tuhan…..sikap sederhananya sulit sy contoh, susah mencari orang serupa beliau di zaman yang mementingkan suku, ras, dan agama seperti sekarang ini…semoga gd prama menjadi inspirasi lintas suku, agama, dan ras di masa kini dan masa depan….
Hi, Pak pa kabar? Kpn ke Surabaya lagi?
Suksess u.Bp & keluarga.