Setiap selesai shalat kita selalu berdoa agar diberi panjang umur. Beberapa hadis menyebutkan bahwa salah satu tips untuk panjang umur adalah dengan menyambung tali silaturrahmi. Namun, peristiwa saat lebaran kemarin menyadarkanku, benarkah umur panjang merupakan suatu yang layak kita dambakan?
Aku mempunyai seorang kakek yang umurnya dua tahun lebih tua dari mantan orang nomor satu di republik ini. Di masa mudanya beliau seorang yang gagah dan ikut membela perang kemerdekaan. Posturnya cukuplah untuk ukuran orang zaman baheula. Atas jasanya tersebut sampai saat ini beliau berhak menikmati tunjangan sebagai veteran yang jumlahnya tidak seberapa.
Di masa mudanya kakek pernah nyantri dan menjadi pemain sepakbola di klub yang dimiliki Sultan Deli. Sayangnya, sebagai santri kakek tidak menekuni tugas mengajarkan agama seperti teman-temannya yang berprofesi sebagai ustadz. Kakek lebih memilih bekerja sebagai tukang kayu.
Hasil kerja kakek sangat rapi halus. Peralatan rumah tangga seperti kursi, meja dan kusen bisa dibuatnya. Bahkan beliau dapat membuat biola. Ada empat biola terakhir yang dibuatnya dan dibagikan untuk anaknya yang kebetulan berjumlah tiga, di samping untuk dirinya sendiri.
Di samping pintar membuat biola, kakek juga pintar memainkannya. Waktu aku masih SD dan tinggal bersamanya, kakek sering memainkan biola di waktu malam menjelang tidur. Dari kamar sebelah aku mendengarkan gesekan biola kakek sampai aku tertidur.
Kakek sering berpindah tempat, tergantung proyeknya, bisa di luar kota maupun di kota lain. Kakek sering diajak oleh pemborong yang sebagian besar keturunan Tionghoa. Sebagian besar kota di Sumut pernah ditinggalinya. Salah satu gedung yang dibangunnya adalah tempat peristirahatan pengusaha beken Pardede yang terletak di atas bukit kota Parapat, Danau Toba.
Jakarta juga pernah ditinggalinya. Banyak gedung yang ikut dibangunnya di sekitar kawasan Senen, tetapi aku tidak sempat bertanya di mana persisnya. Yang selalu dikenang kakek dan menjadi bahan pembicaraannya kepada orang lain maupun kepada kami cucunya adalah saat dia bekerja di Arab Saudi selama 2 tahun 7 bulan.Saat pulang dari Arab Saudi umur kakek sudah 60 tahun. Pada tahun itu belum banyak orang yang haji di lingkungan kami sehingga kakek termasuk tokoh yang disegani masyarakat.
Lebaran kemarin, saat aku mendatanginya kakek sudah tidak kenal lagi denganku. Padahal aku termasuk cucu yang lama tinggal bersamanya. Ngomongnya sudah ngelantur. Dia hanya asyik dengan dirinya sendiri. Makannya masih lumayan banyak, meski fisiknya jauh menyusut. Punggungnya kelihatan bungkuk. Waktu aku datang, kakek sedang duduk di tempat tidurnya yang telah dilapisi perlak atau lapisan plastik agar kalau dia pipis tidak meresap ke kasur.
Dia sedang asyik dengan peralatan tukangnya. Pendengarannya sudah tidak normal lagi. Kita harus berteriak dan mengulang berkali-kali jika ingin berkomunikasi. Itupun belum tentu nyambung. Menurut the nanny yang kebetulan istri dari sepupuku, kakek tidak bisa lagi mengontrol pipisnya. Belum sempat ke kamar mandi sudah ngocor duluan. Karena itu di samping tempat tidurnya disediakan pispot.
Walaupun begitu kakek cukup sensitif. Ketika ditanya air apa yang ada di tempat tidur dia marah karena merasa menjadi tertuduh. Padahal air itu air mineral yang tumpah di tempat tidur. Begitulah, sesekali kakek bergumam terbata-bata tentang pengalamannya di Arab.
Saat itu, katanya, dia ingin memukul seorang Arab yang arogan karena makanannya diludahi. Untung saja kakek dicegah oleh temannya. Kalau tidak, tentu kakek sudah tinggal nama karena dihukum qishosh atau hukum mati. Di Arab Saudi siapa yang membunuh akan dibunuh juga. Cerita yang dulu pernah diceritakan kepadaku itu, selalu diulanginya. Mungkin cerita ini sangat berkesan sehingga melekat terus dalam long term memory meskipun dia sudah pikun.
Menurut kakek, saat itu mereka berada di ketinggian, sekitar lantai 4 sebuah gedung yang sedang dibangun. Orang Arab tersebut adalah salah satu mandor yang juga bekerja di situ, tetapi sok tahu dan sok jago. Sebagai orang yang pernah belajar silat Cimande kakek mungkin berpikir inilah saatnya mempergunakan kebisaannya. Untung saja akhirnya kakek bisa menahan emosinya.
Menurut cerita pengasuh kakek, beliau pernah bicara kalau masih ada satu ilmunya yang belum dibuang sehingga beliau susah meninggalkan dunia ini. Katanya sih ilmu pukulan gledek yang bisa membuat orang pingsan. Entahlah, apakah benar cerita ini atau hanya rekaan sang pengasuh saja.
Setahuku dulu kakek pernah belajar silat yang hanya mengandalkan fisik saja, tidak memakai aji-ajian. Menurutku sih, jika Allah belum menentukan ajal kita maka sampai setua apapun kita tidak akan mati. Sebaliknya, jika sudah sampai ajal, tidak ada yang dapat menolaknya.
Melihat keadaan kakek saat ini yang sudah seperti anak-anak aku jadi berpikir apa benar umur panjang itu nikmat. Kondisi kakek saat ini memang menjadi ujian kesabaran dan ladang amal bagi orang yang mengasuhnya. Tapi aku tidak mau jika aku tua nanti menjadi beban dan menyusahkan orang lain, meskipun orang tersebut cucuku sendiri, apalagi orang lain.
Jika Allah menghendaki aku ingin diambil ke haribaannya dalam usia yang tidak terlalu tua. Barangkali usia Rasulullah saat wafat bisa menjadi standar yang ideal (plus minus beberapa tahun). Yang penting dalam hidupku di dunia ini aku bisa mengoptimalkannya untuk kepentingan manusia.
Kalau tidak bisa minimal untuk kepentingan lingkungan sekitar, keluarga. Yang penting tidak menyusahkan orang lain. Khairu annnasi anfa’uhum li annasi. Jadi, doaku sekarang ini tidak lagi meminta panjang umur, tetapi agar diberi umur yang berkah dan bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Kalau bisa seperti Prof Mohammad Yunus yang mendapat Nobel Perdamaian 2006 karena dedikasinya untuk menolong masyarakat miskin di Banglades dengan sistem simpan pinjam tanpa agunan. Tabik. (Hery Azwan, Jakarta, 2006)