Membaca Sang Pemimpi kita akan serasa mengikuti training dari pakar motivasi kondang seperti Anthony Robbin dengan “Awaken the Giant Within”, Andrie Wongso Wisdom and Motivation ala Tionghoanya, Aa Gym dengan Manajemen Qalbunya, Jansen Sinamo dengan delapan etos profesionalnya, dan Stephen Covey dengan Seven/Eight Habits-nya
Dengan mimpinya untuk menjelajahi Eropa dan Afrika, seperti yang selalu ditanamkan oleh guru sastranya di SMA, Ikal dan Arai seolah mendapatkan energi yang melimpah untuk terus belajar. Bayangkan, pada pukul 02 pagi, di saat anak lain tengah dibuai mimpi, tiga sekawan Ikal, Arai dan Jimbron harus bangun dan bekerja di dermaga agar mereka cukup punya uang untuk menopang hidup dan biaya sekolah mereka.
Suatu kali Ikal lelah dengan mimpinya dan mencoba realistis dengan keadaan. Secara logika tidak mungkin anak Melayu kampung nan miskin bisa sekolah di Sorbonne Perancis, tempat intelektual dunia seperti Sartre menimba ilmu. Ranking Ikal yang tadinya nomor 3 dari 160 anak terlempar ke nomor 72. Untung ada Arai, kerabat sekaligus teman baiknya, yang mengingatkannya untuk tetap bermimpi sehingga pada saat kelulusan SMA Ikal kembali menjadi rangking 3.
Dalam novel ini Andrea melukiskan dengan baik betapa orang Tionghoa perantauan memiliki sikap yang khas dalam menjalani hidup. Meski sudah punya bioskop satu2nya di kota tersebut tetapi saudagar ini tetap hidup sederhana. Pun, dia masih mencari tambahan penghasilan dengan membungkus kacang dengan plastik yang dibakar lilin pada waktu malam.
Selain itu, perantau Tionghoa selalu berpikir ke depan serta mampu merealisasikan ide. Saat Pulau Belitong sudah mulai kehabisan isi perutnya, saudagar pemilik toko kelontong mulai mencari alternatif penghasilan dengan memelihara kuda, sesuatu yang tidak pernah terbayang dalam benak orang Melayu Belitong. Saya sangat mendukung jika mata pelajaran merealisasikan ide harus masuk ke dalam kurikulum di sekolah menengah seperti yang ditulis Andrea.
Sebagai orang Melayu Andrea juga berusaha melakukan otokritik terhadap sikap orang Melayu yang terlalu banyak omong atau banyak berteori. Otokritik ini kerap dilakukan oleh orang yang telah mendapat pencerahan pendidikan seperti Andrea. Raja Ali Haji yang masyhur dengan Gurindam 12 dulu juga pernah mengkritik kaumnya yang lekat dengan budaya amok sehingga kosa kata ini masuk ke dalam bahasa Inggris dan dilekatkan kepada orang Melayu.
Sikap saling menghargai antara umat beragama juga menjadi tema penting dalam novel kedua dari tetralogi ini. Hal ini dapat ditemukan pada kisah pendeta Geo yang mengangkat Jimbron, teman baik Ikal yang terobsesi dengan kuda, sebagai anaknya tanpa mengkonversinya menjadi Kristen. Di tengah meningkatnya komunalisme dan fundamentalisme akhir2 ini, semangat saling menghargai antara umat beragama semakin penting dipromosikan. Kecurigaan harus digantikan dengan sikap saling memahami yang tulus, bukan sekadar pemanis mulut.
Semua orang di Magai saling peduli dengan kemaslahatan umat, tidak cuek seperti yang terjadi saat ini di kota besar seperti Jakarta. Di Magai, kota kecil di Belitong, pelajar dilarang menonton bioskop. Semua komponen masyarakat mulai dari penjual karcis sampai pemilik bioskop konsisten mendukung kebijakan tersebut meskipun konsekuensinya mereka kehilangan potensi pemasukan. Bahkan tidak hanya itu, tukang jagung di depan bioskop sekalipun mau bersusah payah melapor kepada Pak Mistar, guru SMA Ikal, bahwa ada pelajar yang menerobos masuk ke dalam bioskop secara ilegal meskipun pelajar ini sudah menyamar sebagai orang pulau yang menutup mukanya dengan sarung. Bandingkan dengan kita di Jakarta yang cuek saja melihat seorang ibu-ibu dirampok di Metro Mini.
Setelah berburu di Gunung Agung Arion, Gramedia Lippo Karawachi akhirnya kutemukan buku ini di Gramedia Matraman. Aku tak bisa berhenti menikmati halaman per halaman dari buku ini. Rasa penasaran terus muncul sehingga aku menamatkannya hingga pukul 02.30 tengah malam. Bahkan tak terasa air mataku mengalir saat Arai dan Ikal berhasil mendapatkan beasiswa di Sorbonne. Buku ini sangat layak dibaca oleh semua siswa di Indonesia termasuk santri pondok pesantren, terutama yang otaknya encer tapi tidak punya cukup biaya untuk meneruskan sekolah. Jangan takut bermimpi, Indonesia. (Hery Azwan, Jakarta, 2006)
Bang Hery…
Kalo EDENSOR sudah baca belum? Ceritanya lebih seru lagi loo…
Salah satu yang menarik ialah kisah P Toha yang menyelamatkan Ikal dan Arai saat di Rumania. Tahu gak? Toha itu orang Banyumas yang terdampar di Rumania sebagai petugas pengendali hama.
Hal yang menarik juga tentang novel EDENSOR yang berkaitan dengan Banyumas, yaitu pemikiran Arai tentang perilaku teman-teman dari negeri Fuhrer yang mirip suasana sepinya Purbalingga pukul sepuluh malam.
Tapi, aq masih bertanya-tanya dari mana munculnya komentaar Purbalingga? Mungkin ada ceritanya di buku ke-4 (Maryamah Karpov) kali?
Mas Janumur,
Makasih udah berkunjung ke blog saya.
Saya udah baca Endensor, tapi belum sempat menulis revew-nya.
Ntar saya usahakan buat resensinya, secara saya juga sangat excited membacanya (maaf, kalau kata “secara” dipakai tidak sebagaimana mestinya).