Hard Work Vs Smart Work

Menarik juga mendengarkan uraian FX Hadi Tjokro Susilo pagi ini (23/1/2008) di Smart FM tentang ‘Can Smart Work be Implemented in Workplace‘. Menurut beliau, orang sering salah kaprah dengan istilah smart work. Istilah ini sering dijadikan excuse untuk tidak bekerja keras (hard work).

Padahal smart work dan hard work, keduanya harus diterapkan secara bersamaan. Smart work jangan menjadi alasan untuk bermalas-malasan.

Kebiasaan kita, menurut Hadi, adalah bekerja sesuai dengan apa yang kita dapatkan. Dengan kata lain, kita cenderung hitung-hitungan. Memang hal ini sangat manusiawi, tetapi jika menerapkan hal ini, jangan salahkan atasan atau orang lain jika pribadi maupun karir kita tidak berkembang.

Hadi mencontohkan dirinya yang sepuluh tahun bekerja di sebuah perusahaan sejak dari salesman, supervisor, junior manager sampai menjadi sales manager. Di perusahaan ini dia tidak pernah mendapatkan insentif tambahan atau bonus.

Meskipun demikian dia tidak kecewa. Dia tetap bekerja memberikan terbaik yang dia mampu. Pekerjaan itu sendiri, pengembangan diri dan kepercayaan dari atasan merupakan penghargaan baginya.

Saat dipromosikan menjadi supervisor dengan fasilitas vespa, bangganya bukan main. Begitu juga saat dipromosikan menjadi junior manager dengan fasilitas mobil bak terbuka. Apalagi saat dipercaya sebagai pelaksana manager saat bosnya keluar kota selama dua hari. Tentu saja, bangga di sini harus diartikan secara positif, bukan sombong atau arogan.

Dalam menyikapi setiap tambahan tugas dari perusahaan seringkali terjadi pergolakan batin. Pengaruh hitam akan selalu menggoda kita untuk bekerja seadanya.”Buat apa kamu bekerja keras dan mendapatkan tambahan kerjaan, wong gaji kamu tetap. Jangan mau dikadali”.

Sementara itu, pengaruh putih selalu memotivasi bahwa tanggung jawab lebih besar yang diberikan kepada kita merupakan kepercayaan yang harus dipegang teguh.”Kamu harus memberikan yang terbaik meskipun kamu tidak memperoleh insentif tambahan. Suatu saat kami akan mendapatkan ganjarannya”.

Hal ini tentu berbeda dengan kebanyakan karyawan yang bekerja hitung-hitungan. Kalau diminta kerja after office hour tanpa lembur tidak akan bersedia. Akibatnya, karyawan seperti ini tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan dirinya.

Pertanyaan dari pendengar yang kebetulan bekerja di BUMN sangat mengharukan. Si penanya merasa dia sudah memberikan lebih bagi perusahaan. Tetapi sampai sekarang dia belum menikmati hasil jerih payahnya, baik melalui promosi ataupun insentif tambahan. Dalam kultur BUMN, menurutnya, promosi hanya berdasarkan kedekatan, bukan prestasi. Sehingga dikenal RMSS (Rajin Malas Sama Saja), atau PGSP (Pintar Goblok Salary Podo).

Mendengar pertanyaan ini, sebagai orang sales dan marketing yang terkenal grusak-grusuk, ternyata jawaban dari Mr Hadi sangat spiritual. Menurutnya, jika kita telah melakukan yang terbaik pada pekerjaan kita, tetapi tidak mendapatkan balasan di dunia, maka jangan khawatir karena perbuatan kita pasti dibalas oleh Tuhan. Semua agama mengajarkan bahwa bekerja adalah ibadah.

Pertanyaan dari pendengar lain adalah tentang anak buahnya yang kurang antusias. Sebagai atasan dia sudah capek memberi motivasi tetapi mereka tetap ‘memble’.

Menyikapi hal ini, menurut Hadi, kita harus berpikir positif. Sebagai atasan sudah sewajarnya kita memberikan teladan kepada anak buah. Wajar saja anak buah bersikap demikian. Jika mereka lebih antusias dari kita, jangan-jangan merekalah yang berhak menjadi atasan kita.

Yang perlu digarisbawahi lagi dari uraian Hadi adalah bahwa dalam bekerja kita tidak semata-mata mencari uang. Seringkali Hadi mendapatkan passion yang lebih saat dia bekerja untuk kegiatan sosial dan berceramah tanpa dibayar.

Demikian sedikit resume dari acara Smart Talk on Sales and Marketing. Bagi mereka yang tidak mendengar mudah-mudahan mendapatkan gantinya dari tulisan ini. (Hery Azwan, Jakarta, 23/1/2208)

Tinggalkan komentar