Kategori: Self Development

Ketinggalan Kereta Eurostar di Gare du Nord

Kejadian ini terjadi di bulan April 2019, setahun sebelum pandemi Covid19. Menurut jadwal tiket yang kami beli, kereta Eurostar berangkat pukul 07.04 dari Gare du Nord Paris menuju St Pancras, London. Di tiket sudah diberi warning agar penumpang datang 45-60 menit sebelumnya.

Dari hotel kami bergerak pukul 06.05. Tak sampai 10 menit dengan berjalan kaki sambil menggeret koper yang sudah mulai “bunting”, kami tiba di stasiun. Cuaca pagi ini sangat menusuk kulit. Sepertinya di kisaran 4-6 derajat Celcius.

Di stasiun antrian sudah panjang. Kami berlima cukup mengisi satu form imigrasi saja.

Proses clearing perlahan sekali. Mulai dari check in tiket. Tiket yang sudah saya kirim ke anggota tim dengan file foto ternyata tidak berespons di mesin. Untunglah saya juga menyimpan e-ticket dalam aplikasi Wallet. Akhirnya satu persatu saya bantu check in.

Setelah itu, kita harus melewati imigrasi Perancis. Lalu, melewati imigrasi Inggris. Di sini kita diambil sidik jari jempol dan telunjuk. Barulah terakhir kita harus melewati xray bea cukai. Terpaksa koper segede gaban diangkat satu persatu. Tak lupa juga tali pinggang dilepas.

Waktu hampir menunjukkan pukul 07.00. Istriku yang sudah duluan berteriak agar kami mempercepat langkah. Aku dan adik iparku Temy yang ketinggalan berlari sekuat tenaga. Akhirnya kami berdua tidak boleh masuk. Pintu sudah ditutup. Alamaaak. Padahal cuma telat sedikit dan kereta belum berangkat. Perasaan berkecamuk tak menentu antara khawatir jika harus beli tiket baru dan khawatir dengan 3 orang anggota yang sudah selamat di kereta.

Alhamdulillah, ternyata kami berdua bisa berangkat dengan kereta berikutnya: 07.39 tanpa membayar lagi. Lega hatiku.

Setelah dapat boarding pass baru, aku mengirim pesan ke WA agar istriku jalan duluan dan menunggu di stasiun St Pancras jika sudah tiba di London.

Eh, tak berapa lama kemudian, tiba2 istriku muncul dan bercerita kalau mereka memutuskan kembali ke ruang tinggi dan tidak jadi berangkat. Padahal koper gede sudah masuk kereta. Di saat genting begini entah tenaga dari mana yang membuat istriku dan kakaknya, Teh Evy, kuat mengangkat koper dan menurunkannya kembali. Sebagai info, jarak antara lantai ke kereta cukup terjal, lho. Tidak rata.

Akhirnya aku kembali meminta boarding pass untuk 3 orang yang tidak jadi berangkat. Eh untungnya petugas bisa menerima. Malahan, tempat duduk kami bisa tetap berdekatan. Boarding pass sebelumnya dengan nomor kereta berbeda tidak jadi dipakai.

Lima menit kemudian pengumuman boarding ke kereta berkumandang. Akhirnya kami bisa naik kereta Eurostar bersama lagi.

Sejak bulan Maret 2019 kereta Eurostar memang sering trouble karena petugas bea cukai demo naik gaji. Dengan demo ini, antrian memanjang. Waktu 45-60 menit tidak cukup untuk clearing imigrasi dan security check.

Bahkan sampai tanggal 31 Maret 2019 lalu Eurostar membuat pengumuman agar penumpang menunda keberangkatan jika tidak penting2 amat. Tidak tahu apakah ini juga imbas dari Brexit yang belum jelas ujungnya.

Selama pandemi 2020-2021 keberangkatan Eurostar dikurangi karena memang tidak banyak penumpang yang bepergian dan juga akibat pembatasan mobilitas. Akibatnya Eurostar terancam bangkrut. Pemerintah Perancis dan Inggris tidak mau mem-bail out atau menolong Eurostar dari kebangkrutan. Kita tunggu nasib Eurostar. Semoga masih diberi umur untuk menikmati Eurostar di jurusan yang berbeda.

Di atas kereta Eurostar (April 2019)

Sopir Bis Seoul Yang Baik Hati

Seoul minggu ini memang terus dilanda hujan, meski di musim kemarau. Kemana-mana warga Seoul terlihat membawa payung, tak terkecuali para pria. Mereka tidak takut kehilangan kemacoannya dengan payung panjang yang tidak dilipat.

Sore itu, usai kunjungan ke sebuah kantor pusat produsen skincare, saya dan istri dari hotel kami daerah Gangnam berniat ke sebuah pertokoan. Pulangnya baru kami makan di The Halal Guys. Karena hujan sudah reda dan posisi payung di kamar hotel juga tak jelas di mana, kami nekad keluar hotel tanpa payung. Lanjutkan membaca “Sopir Bis Seoul Yang Baik Hati”

Lost in Berlin

Lost in Berlin

Ceritanya bermula saat kami bermaksud mengunjungi Designer Oulet yang terletak jauh di luar kota Berlin. Mengunjungi factory outlet di luar negeri tampaknya menjadi tujuan wisata baru.

Sebelum check in hotel kami sudah bertanya kepada resepsionis hotel mengenai akses ke tempat ini. Dia tidak menyarankan kami ke tempat ini karena lokasinya sangat jauh, bisa menempuh waktu lebih dari 1,5 jam. Sebagai gantinya dia merekomendasikan pertokoan di dekat Kebun Binatang. Kami pun akhirnya menuruti nasehatnya, daripada menunggu waktu check in yang masih sejam lagi. Lanjutkan membaca “Lost in Berlin”

Sa’i di Shinjuku

Sa’i di Shinjuku

Shinjuku merupakan stasiun yang paling ramai saat ini di Tokyo. Setiap hari lebih dari 3 juta penumpang keluar masuk melalui stasiun ini. Bayangkan betapa ramainya jika dibandingkan dengan penumpang seluruh KRL Commuter Line di Jabodetabek (Bekasi, Bogor, Tangerang, Rangkasbitung) yang belum mencapai 1 juta penumpang per hari. Dulu Shinjuku merupakan daerah pinggiran di Tokyo. Saat olimpiade Tokyo 1964 Shinjuku disulap menjadi daerah pertokoan dan perkantoran baru. Lanjutkan membaca “Sa’i di Shinjuku”

Mengabaikan Yang Dekat

Usai makan di sebuah rumah makan di jalur Priyangan Timur saya bergegas menuju wastafel yang terletak agak jauh dari posisi kami makan. Setelah selesai membasuh tangan saya kembali ke meja dan mendapati satu unit wastafel di dekat meja saya. Saya terbelalak. Mengapa saya tidak melihat wastafel yang lebih dekat ini? Mengapa saya malah melihat wastafel yang jauh? Lanjutkan membaca “Mengabaikan Yang Dekat”