Gabus Pucung Yang Bikin Penasaran

Sudah lama aku mengenal nama menu yang satu ini, tetapi selalu gagal mencobanya. Pertama kali menu ini kukenal lewat Pesta Jajanan Bango. Frekuensi iklan acara ini di Trans TV yang cukup sering membuatku tergoda.

Ada dua hal yang membuatku penasaran.

Pertama, gabus mengingatkanku pada masa SD kelas 1-3. Hampir setiap sore aku memancing ikan gabus di sawah milik tetangga. Memang tidak selalu gabus yang kudapat. Terkadang ada ikan betok (kalau orang Medan bilang ‘betik’).

Di perkebunan kelapa sawit tempat aku tinggal memang masih banyak sawah dan rawa-rawa. Tempat ini merupakan habitat yang disenangi gabus. Melihat umpan kodok bancet digoyang, lalu disambar gabus, merupakan pemandangan yang menakjubkan. Dengan sekali terkam, gabus menyambar bancet dengan bersemangatnya. Maka, tamatlah riwayat si gabus malang di tanganku.

Sesampai di rumah biasanya gabus ini langsung digoreng oleh mamiku. Gabus juga enak disambalado dan digulai. Dagingnya lembut, tetapi durinya sedikit lebih banyak dibanding lele. Kalau kurang hati-hati bisa kelolotan.

Kedua, aku penasaran kok masih ada gabus di Jakarta, secara sawah telah digusur oleh gedung jangkung dan real estate. Jangan-jangan gabus Jakarta bukanlah seperti gabusku waktu kecil.

Penasaran ini semakin menjadi saat aku tiba di arena Jajanan Bango di Lapangan Banteng. Aku tiba bersama istri sekitar pukul 09.00 malam. Ternyata menu gabus pucung sudah habis. Kalau mau, aku bisa mencarinya ke tempat biasanya mangkal, tetapi tempatnya jauh dari tempat tinggalku. Kalau nggak salah di Ciledug. Capek deh…

Penasaran ini dibangkitkan kembali saat Carrefour Cakung dibuka. Di samping Carrefour ada warung yang memasang display banner bertuliskan “Tersedia Gabus Pucung” . Harganya 18 ribu seporsi. Tanpa ba bi bu aku langsung duduk di situ dan menuliskan pesanan. Sepuluh menit kemudian datanglah yang kuidamkan bertahun-tahun.

Betapa terkejutnya aku setelah melihat sosok sang gabus. Ternyata kuahnya mirip rawon. Bukannya aku nggak suka rawon. Tapi rawon kan cocoknya menggunakan daging sapi. Dalam bayanganku, pucung itu sejenis gulai atau soto. Atau paling tidak, ditumislah dengan sedikit sambal tauco.

Meskipun tidak bersemangat lagi, aku berpura-pura memakannya dengan lahap. Soalnya, kalau istriku tahu aku tidak menikmatinya dia suka meledekku yang suka bereksperimen dengan menu baru. Sudah kubayangkan ledekannya,”Habisin tuh, gabus pucung”.

Pelan-pelan kuhabiskan menu gabus pucung tadi. Rasa kuah rawonnya yang kurang gurih membuatku berfokus menghabiskan daging gabusnya saja. Kuahnya tidak kuhabiskan, padahal biasanya aku selalu menghabiskan kuah apapun. Setelah dagingnya habis, kukatakan pada istriku,”Ehm, mak nyus”, menirukan Pak Bondan. (Hery Azwan, Jakarta,25/1/2008)

Satu tanggapan untuk “Gabus Pucung Yang Bikin Penasaran

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s