Memperingati World Book Day pada hari ini 23 April 2008, tak ada salahnya saya tampilkan tulisan seorang “mujtahid” perempuan yang kemarin berkunjung ke Jakarta dan bukunya dibedah di Perpustakaan Nasional (sayang saya tidak sempat hadir). Kebetulan juga dua hari yang lalu kita memperingati Hari Kartini. Dilihat dari semangatnya, kiprah Irshad Manji yang berani berhadapan dengan kaum konservatif dapat disamakan dengan Kartini.
Berikut ini saya tampilkan tulisannya yang saya kutip dari website www.irshadmanji.com dan coba saya terjemahkan (lagaknya…).
What Muslim Can Learn from the Pope’s US Tour
By Irshad Manji
When I ask Muslim-Americans what they appreciate most about living in this country, the answer usually comes back, “the First Amendment.” That’s the U.S. constitution’s guarantee of free worship, free assembly, free press and, ultimately, free speech.
Jika saya bertanya kepada muslim Amerika apa yang mereka syukuri dari negeri ini, jawaban mereka biasanya, “Amandemen Pertama”. Inilah konstitusi Amerika yang menjamin kebebasan beribadah, kebebasan berserikat, pers bebas, dan kebebasan berbicara.
This past week in America, Pope Benedict gave plenty of free speeches. We all expected him to be on his best behavior. But I hoped that his “best” would mean daring Americans of all faiths — Muslims, included — to use their constitutional freedoms and push their own religious leaders.
Minggu belakangan ini, Paus Benediktus memberikan kata sambutan di mana-mana. Kita semua berharap agar dia dapat memberikan keutamaannya. Bahkan saya berharap bahwa sisi terbaik ini akan membuat semua orang Amerika dari segala agama — termasuk kaum Muslimin — untuk lebih berani menggunakan kebebasan konstitusi mereka dan mendesak pemimpin agama mereka.
Push them to do what? To speak up for the human rights of all, from Muslims facing genocide in Darfur to Buddhists fighting Chinese occupation in Tibet to Christians struggling for survival in Iraq. Delivered from the podium of the UN general assembly, what a message this would have sent on the 60th anniversary of the Universal Declaration of Human Rights.
Mendesak mereka melakukan apa? Untuk menegakkan HAM bagi semua, dari kaum Muslimin yang mengalami genosida di Darfur, pengikut Budha yang berjuang melawan dominasi Cina di Tibet, hingga penganut Kristen yang berjuang mempertahankan diri di Irak.
His Holiness might even have celebrated American Catholics as an example of how constitutional liberties can elevate people of faith into people of conscience.
Paus barangkali sudah merasakan sendiri bagaimana umat Katolik Amerika, melalui kebabasan konstitusional, dapat mengangkat people of faith menjadi people of conscience (wah, ini sulit menerjemahkannya: mungkin kira-kira, umat Katolik tidak lagi melindungi “oknum” tokoh agama yang “menyimpang”).
For years, Catholics in the U.S. have exercised their freedom of expression to defend the dignity of young parishioners who’ve been molested by priests. In short, they pushed their religious leaders to respect human rights.
Selama bertahun-tahun, umat Katolik di Amerika telah menikmati kebebasan berekspresi untuk membela martabat paroki muda yang mengalami pelecehan oleh pastur. Ringkasnya, mereka mendesak pemimpin agama mereka untuk menghormati HAM.
They’ve finally succeeded: On his American tour, the Pope surprisingly — and repeatedly — acknowledged that the Church has abused Catholic children through sexual malfeasance and official silence. According to The New York Times, victims, many of them adults by now, may be getting more opportunities from the Vatican to report their experiences.
Mereka akhirnya berhasil. Pada tour ke Amerika kali ini, Paus mengakui berulang-ulang bahwa gereja telah melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak Katolik sementara gereja menutup rapat-rapat peristiwa ini. Menurut New York Times, korban, saat ini sebagian besar mereka sudah dewasa, akan memperoleh kesempatan lebih banyak dari Vatican untuk melaporkan pengalaman yang menimpa mereka.
The moral of my story is simple. Full-bodied use of the First Amendment can compel a Pope once known as “God’s rotweiller” to reveal his deeply human conscience.
Moral cerita ini sederhana saja. Amandemen Pertama dapat memaksa Paus yang selama ini dikenal sebagai pemegang mandat Tuhan untuk mengakui keterbatasannya sebagai manusia.
Muslim-Americans ought to follow the Catholic lead. And, having shown that he’s trying to practice what he preaches, the Pope should challenge them to do so. No doubt, many moderate mouthpieces of Islam would accuse Benedict of “offending” Muslim sensitivities. Let them howl.
Muslim Amerika seyogyanya mengikuti apa yang telah dilakukan oleh umat Katolik. Dan, setelah menunjukkan bahwa dia berupaya mempraktekkan apa yang dia ucapkan, Paus akan menantang mereka untuk berbuat yang sama. Tak diragukan lagi, banyak kalangan Islam moderat menuduh Paus mengkritik kaum Muslimin. Biarkan mereka berteriak.
The Pope’s past perceived slights against Islam have sparked new conversations between Muslims and Catholics. At seriously high levels, I might add: An open letter from 138 Muslim scholars, a response to it from numerous Christian authorities and, later this year, an unprecedented formal dialogue where the participants will be received by the Pontiff himself.
Masa lalu Paus yang pernah dipersepsikan sedikit menyerang Islam telah membuka pembicaraan antara Muslim dan Katolik. Pada tingkat yang lebih serius, saya dapat menambahkan: sebuah surat terbuka dari 138 cendekiawan Muslim, tanggapan dari petinggi Kristen dan, kemudian tahun ini, dialog resmi yang belum pernah ada di mana peserta diterima langsung oleh Paus.
To be sure, I’m no fan of scripted inter-religious dialogues, which usually amount to heart-tugging, mind-numbing gestures of little impact and less consequence. But I’m a huge partisan of unexpected conversations.
Saya sebenarnya bukan orang yang suka dengan dialog antara agama, yang biasanya tidak banyak berdampak. Tapi, saya adalah orang yang suka dengan dialog spontan.
Which is exactly what I had in Rome a year and a half ago with Pope Benedict’s then-deputy for inter-religious affairs, Cardinal Paul Poupard. At one point, the Cardinal grabbed my hand and showed me around his personal library. The 76-year-old effused about his books like a child who’d just decorated his room with the funkiest glow-in-the-dark planets. I say that affectionately: Cardinal Poupard couldn’t contain his joy at hosting a young Muslim woman who shared his love of big ideas. It was utterly charming.
Inilah yang saya alami di Roma satu setengah tahun yang lalu bersama Deputi Paus bidang urusan antar agama, Kardinal Paul Poupard. Pada satu kesempatan, Kardinal menggandeng tangan saya dan memperlihatkan perspustakaan pribadinya kepada saya. Orangtua berumur 76 tahun ini memamerkan bukunya bagaikan anak kecil yang baru menghiasi kamarnya dengan bahan funky yang bisa menyala di dalam gelap. Saya sangat terkesan. Kardinal Poupard tidak dapat menyembunyikan rasa senangnya bisa menjamu seorang wanita Muslim yang berdiskusi dengannya mengenai ide-ide besar. Sangat mengasyikkan.
It was also sincere. On the day that I met him, he and the Pope had just arrived home from a diplomatic mission in Turkey. They wanted to mend fences after the global uproar over Benedict’s speech at Regensburg University, in which he quoted an obscure Byzantine emperor who thought Islam had nothing to offer civilization. (In a minute, I’ll link you to a statement I made about why I don’t share Muslim anger about those remarks.)
Juga Tulus. Pada saat saya bertemu dengannya, dia dan Paus baru tiba dari misi diplomatik di Turki. Mereka bermaksud mengevaluasi dampak pidato Paus di Universitas Regensburg, yang mengutip seorang kaisar Byzantium yang mengatakan Islam tidak mempunyai kontribusi terhadap peradaban. (Dalam sekejap, saya akan merujuk Anda pada ucapan saya saat itu mengapa saya tidak ikut-ikutan marah terhadap pernyataan tersebut).
In the wake of a bridge-building breakthrough, and exhausted from the trip anyway, Cardinal Poupard could have canceled his appointment with a Muslim reformist. But he kept it. Truth is, I’m the one who had to beg off to make my next engagement! What can I tell you? I figured that my audience with the Cardinal would be 15 minutes of polite formalities. It became a hi-octane 90-minute exchange about the need for an intellectual renaissance in every faith, including that religion called atheism.
Saat berupaya keras untuk menerobos kebuntuan ini, dan kelelahan dari perjalanan jauh, Kardinal Poupard dapat saja membatalkan janji temunya dengan seorang mujtahid Islam. Tetapi dia menepati janjinya. Sebenarnya, sayalah yang harus memohon waktu pertemuan berikutnya. Apa yang dapat saya katakan? Saya membayangkan bahwa pertemuan saya dengan Kardinal berlangsung selama 15 menit dalam suasana yang formal. Ternyata, pembicaraan molor menjadi 90 menit dengan saling menyadari perlunya pencerahan intelektual pada semua keyakinan, termasuk pada kalangan atheisme sekalipun.
See my point about embracing unanticipated dialogues, even (or especially) when they emerge from “offensive” remarks?
Lihat pandangan saya yang menganut dialog spontan, bahkan (atau khususnya) ketika mereka muncul dari pernyataan yang menyerang?
With that in mind, here’s a TV commentary I delivered after the Pope’s controversial speech at Regensburg U. I’m addressing why, as a faithful Muslim, I don’t believe he should have to apologize for causing offense. Once you watch the video or read the text, tell me where you think I’ve gone wrong. Create a conversation where none would have existed before.
Dengan ini dalam pikiran saya, saksikan komentar saya yang disiarkan setelah pidato kontrovesial Paus di Universitas Regensburg. Saya berbicara mengapa sebagai Muslim yang salehah, saya tidak berpendapat dia harus minta maaf atas pidato yang dianggap menyerang itu. Jika anda telah menonton video atau membaca teksnya, katakan jika saya salah.
Meanwhile, may His Holiness continue to hear Catholic dissidents. In so doing, may he affirm that introspection is the enemy of dogma, not of faith. Buatlah sebuah forum di mana tidak seorangpun bisa hidup sebelumnya.
Sementara itu, mudah-mudahan Paus terus mendengar “kritikus dari kalangan Katolik sendiri. Dalam melakukan ini, dia harus yakin bahwa intospeksi adalah musuh bagi dogma, bukan keyakinan. (Wah, mabok gue nerjemahinnya. Salah-salah kata mohon dimaafkan, Hery Azwan)
wah..untung diterjemahin..kalau nggak, aq nggak ngerti neh (he..he..he..)