Zulaikha’s Effect

Bisnis oleh-oleh di Medan masih berputar pada bika ambon (belum tahu bagaimana sejarah bika ambon masuk ke Medan), bolu gulung, teri, sirup markisa dan kopi. Belakangan saya melihat dendeng aceh di etalase sebuah toko bursa oleh-oleh. Di antara semua oleh-oleh tadi, brand yang sedang naik daun adalah Zulaikha untuk bika dan Meranti untuk bolu gulung.

Senin 13 Oktober 2008, sebelum pulang ke Jakarta, saya menyempatkan diri mampir ke jalan Mojopahit yang dikenal sebagai pusat penjualan bika ambon. Saat itu sekitar pukul 12.00 siang, alangkah terkejut sekaligus mangkelnya saya setelah mendengar dari penjaga toko yang tidak ramah kalau stok bika ambon di toko Zulaikha sudah habis.

“Stok baru ada lagi pukul 13.30 siang. Nanti kembali lagi aja, Bang”

Alamaak, daripada harus kembali lagi atau pulang dengan tangan kosong, langsung saya beli bika dari toko sebelah yang bermerek Fatimah.

Setahun terakhir, pamor Zulaikha semakin membumbung. Setiap menerima kiriman bika dari teman yang pulang dari Medan, selalu saja mereknya Zulaikha. Padahal, beberapa waktu lalu pernah ada merek lain yang terkenal seperti Ati dan Ratna. Kurang jelas apa gerangan yang menyebabkan Zulaikha naik daun. Saking hebatnya, kita dapat menemukan dua toko Zulaikha di jalan Mojopahit. Ironisnya, toko bika lain banyak yang sepi, bahkan sudah ada yang bangkrut.

Banyak selentingan yang mengatakan kalau Zulaikha diuntungkan dengan imej pemiliknya yang nota bene seorang hajjah, sehingga konon bahannya tidak dicampur dengan tuak atau arak yang dianggap haram oleh umat Islam. Sementara, konon bika yang dibuat oleh toko sebelah dicampur dengan bahan tadi.

Tidak jelas benar apakah faktanya demikian, tetapi persepsi konsumen sangat kuat mengenai isu-isu ini. Tak heran, jika di bandara Polonia kita bisa melihat seorang teman Tionghoa bisa-bisanya juga menenteng bika Zulaikha. Barangkali dia merasa lebih aman saat memberikannya ke relasi yang muslim.

Menyikapi isu yang sensitif ini memang berat bagi pemilik toko lain untuk menetralisir. Kurang jelas apa upaya yang telah mereka lakukan. Apakah mereka pernah menjelaskan kepada publik seperti kasus Ajinomoto beberapa waktu lalu atau tidak. Yang jelas, bolu gulung Meranti yang saat ini sedang menjadi primadona, juga pernah mendapat isu bahwa bahannya dicampur minyak hewan tertentu. Dengan elegan, Meranti berhasil meyakinkan publik dengan sehelai sertifikat halal dari MUI yang dipajang di tokonya, mirip yang dilakukan oleh Hoka-Hoka Bento dan Breadtalk.

Belum jelas akan kemana arah persaingan dunia bika ini. Yang pasti, saat ini di sekitar Zulaikha mulai banyak toko bika yang menggunakan nama toko berbau Islam seperti Hajjah Fatimah dan Hajjah Lia. Kurang jelas apakah pemiliknya orang baru ataukah sekedar siasat pemilik lama yang memakai brand baru. Yang pasti, bagi konsumen semakin banyak alternatif semakin baik, sehingga kita tidak perlu sebel karena harus menunggu lama atau harus pulang dulu dan kembali lagi untuk membeli bika ambon yang gurih ini. Udah gitu, pramutokonya jutek lagi. Mengenai pelayanan di Medan, memang terkenal kurang ramah, hatta di hotel berbintang sekalipun. Mungkin karena orang Medan terbiasa bicara ceplas-ceplos dan kurang bisa berbasa-basi.

Fenomena Zulaikha ini mudah-mudahan bukan disebabkan oleh sentimen keagamaan yang tidak jelas tadi, tapi karena memang produknya yang berkualitas. Di samping bika standar yang berwarna kuning, rupanya Zulaikha mulai mengembangkan berbagai variasi seperti bika berwarna hijau yang beraroma daun pandan. Tidak saja bika, di Zulaikha kita dapat menemukan brownies, bolu gulung, markisa, kopi, manisan jambu biji, tengteng, dsb. Pokoknya komplit deh. Barangkali ini yang membuat konsumen menyukainya.

Beralih ke bolu gulung Meranti, saya juga kurang paham kapan tren ini bermula. Perasaan, waktu saya kecil pun sudah ada penjual bolu gulung, tapi memang tidak sefenomenal Meranti. Barangkali yang membuat Meranti naik daun adalah kelembutannya yang membuatnya serasa meleleh di bibir kita. Selain itu, barangkali kebosanan terhadap bika ambon yang itu-itu saja menjadi faktor lain yang menaikkan pamor Meranti. Awalnya Meranti hanya berintikan parutan nanas, tetapi lama-lama ada yang berintikan moka, keju, coklat, dsb.

Sebagai oleh-oleh konsumen ingin agar produknya tetap eksklusif. Artinya, oleh-oleh tersebut tidak dapat ditemukan di kota lain. Karena itu, bolu Meranti jelas-jelas menulis di kotak pembungkusnya, “Tidak Ada Cabang”. Hal ini sekaligus untuk mencegah jika ada pihak yang mengaku-ngaku atau meniru bolu Meranti. Sebagaimana hukum dunia oleh-oleh “Jangan pernah buka cabang di kota lain”. Jika sebuah produk oleh-oleh dapat ditemukan di kota laini, maka nilai sebuah oleh-oleh akan hilang, sebagaimana kini terjadi dengan Soes Merdeka yang sudah dapat ditemukan di Jakarta, atau Dunkin Donut yang dulu sempat menjadi primadona oleh-oleh bagi orang Jakarta yang mau bepergian ke Medan.

Lho, postingan ini mau kemana sih sebenarnya, kok muter-muter terus…

Hi hi….Biar aja deh menggantung dan lari ke mana aja. Udah lama nggak nulis, jadi kaku lagi tangan dan otaknya.

14 tanggapan untuk “Zulaikha’s Effect

  1. Udah lama ga nulis langsung bahas makanan….
    Ya sudah tinggal saya tunggu saja kiriman dari Abang, alamatnya udah ada di kartu nama saya Bang.. 😆

  2. hihihi si abang…kok jadinya binun sendiri….
    pegangan bang.

    tapi fenomena ini menarik untuk dipelajari loh bang.
    apalagi berkaitan dengan unsur agama..,,, seperti heboh kasus ajinomoto
    atau peuyeum
    atau……
    dan biasanya itu ada NAMI nya (gelombang naik turunnya) dan biasanya ada yang mendompleng untuk kepentingan pribadi atau golongan.

    take time bang…pasti banyak cerita yang bisa ditulis…
    EM

  3. Hai, Abang!
    Lama nggak muncul, tau-tau nulis soal Bika Ambon.. huaa… laper! 🙂

    Menanggapi soal isyu dan gosip seperti itu, memang ribet, Bang. Bukan soal halal dan tidak halal saja, tapi juga bahan bakunya. Misalnya: bakso yang enak itu dari borax… atau malah sate yang enak itu bukan ayam tapi tikus! Hah… serem! Malah sekarang ada isyu tentang melamin pula! Lah, repot ini… Mau makan sayuran, katanya pestisida… Haduh…

    Makanya, pilihan amannya: Lala makan ayam goreng KFC aja. Hihi, dari bentuknya aja udah ketauan kalau itu bukan tikus.. hihihi… ngaco, euy!

    Eniwei,
    Ini juga komentar yang muter-muter terus kayak isi postingya…
    Udah gitu, bikin bete lagi, soalnya nggak ada kiriman sama sekali ke Surabaya! Gemana seehhhh! 😀

  4. It’s all about Branding … Brand Reputation … Image … Brand Building dan yang sejenisnya …

    Mengenai Zulaikha …
    Ini susah-susah gampang Bang …
    Dan to be honest unsur keagamaan menjadi unsur penentu keberhasilan …
    terutama untuk kategori produk yang dikonsumsi mulut …

    Mengenai Meranti …
    Ini issue exclusivisme … trust … dan yang sejenisnya …
    Konsumen percaya … The Real Meranti is only one …
    Kelemahannya … product availabilitynya jadi rada tidak menyebar … but … ini sih mudah-mudahan tidak begitu menjadi masalah besar … karena ini adalah makanan oleh-oleh khas Medan … yang “ruhnya” adalah hanya dibeli orang ketika berkunjung ke Medan … (kalo di beli di Jakarta istilah betawinya … nggak aci binti nggak afdol …). Nilai “meranti” sebagai oleh-oleh menjadi tak berarti …

    Begitu kira-kira … (sok tau modeon …)
    huahhhaha
    Salam saya bang

  5. kalau soal branding semacam ini tidak hanya di medan.

    di jogja, semua bakpia pasti dikasi merek “pathok”, meskipun bikinnya bukan di daerah patuk.

    di bukittinggi, semua kerupuk sanjai diberi merek “mintuo”, meski yg bikin adalah menantu, sepupu, tetangga, de es be… 🙂

    di bukittinggi juga, nasi kapau kebanyakan diberi merek “Uni Lis”, padahal yg bikin ada uni piya, uni marni, atau uni uni lainnya…

    semuanya kembali ke lidah, kalau emang enak, ya beli aja, hehe… soal halal-haram? percayakan saja sama lembaga yg telah ditunjuk resmi. bila ada sertifikatnya, makan saja, toh bila mereka salah, kita bakal “termaafkan” oleh Tuhan, (cariaman.com)

    pertanyaannya: kenapa bika ambon jadi oleh-oleh khas medan?

  6. Aku ngakak baca kalimat terakhir Uda Vizon …
    Iya ya pak mengapa oh mengapa …
    Dan juga warna bika ambon itu kan kuning … how come coba …

    (maap bang just cannot help it … untuk komen lagiii )(gpp ya bang)

  7. Saya juga dulu sempat ada masalah dengan kue yang satu ini, bika ambon. Masalahnya harganya gk seberapa, sehingga saya beli sampai 1 dus besar. Pas di bandara malah kena biaya bagasi yang biayanya menjadi Rp 200.000-an. Lha … harga bika ambon cuma 150 rb-an. Biaya bagasinya lebih mahal … 😦
    Sejak saat itu saya gk beli lagi bika ambon, meranti aja.
    Btw orang Medan itu, keras bang, tetapi hatinya lembut kaya bolu meranti he he he…

  8. Hmmmm…………..makanan yang satu ini jg bikin kangen pingin kemedan terusss….btw aku kalo ke jalan majapahit suka beli kue2 basah spt risol lemper, tp lempernya dari ketan hitam, mantab! rasanya, blm pernah nemuin lemper dr ketan hitam kecuali di medan. Adanya di jalan majaphit no.99…

    Wakakak..kak..kak…(apa maksudnya ya…???)

    Lemper ketan hitam?
    Wah, saya aja belum tahu tuh…
    Ntar deh kalau ke Medan lagi beli deh..

  9. well..

    oleh oleh medan ya..

    Yessy lebih suka manisannya, entah kenapa di medan banyakk banget manisan..dan semuanya enak..

    Kalao masalah bolu dan mereknya..
    hemm..berhubung orang tua yessy di sini pengusaha kue (baca pemilik toko kue) jadi merasa biasa biasa aja..begitu akhirnya kita nyobain bolu itu..rasanya memang enak, cuma kita pernah merasakan yang lebih enak..dan itu ada di jakarta..jadi..heheh…biasa biasa aja.

  10. Bika ambon, bolu gulung…itu oleh-oleh yang selalu kutunggu-tunggu jika ada teman yang tugas ke Medan.
    Pergi ke Medan tak afdol jika tidak menikmati kuliner khas Medan…..wahh udah lama ya saya nggak ke Medan….

Tinggalkan komentar