Ranah 3 Warna

Ranah 3 Warna Hery Azwan
Kiriman buku Ranah 3 Warna langsung dari penulisnya

Sebenarnya buku ini sudah saya tamatkan lebih dari satu bulan yang lalu, tapi karena kesibukan (bahasa halus dari “kemalasan”), baru saat ini saya sempat merawikannya untuk blog yang mulai terbengkalai ini. Sulit juga menulis secara berbeda apa yang sudah dibicarakan oleh banyak bloggers di dunia maya dan tokoh nasional Remi Silado di Kompas Minggu ini.

Yang perlu digarisbawahi bagi pembaca yang belum pernah membaca tilogi pertama, Negeri 5 Menara, adalah bahwa benang merah dengan Pondok Madani tidak putus. Karena itu, bagi yang belum baca N5m mending ditunda dulu baca R3W. Tamatkan dulu N5M.

Mengapa sangat kental aura PM bahkan setelah Alif, tokoh utama novel ini, kuliah dan menginjakkan kakinya ke benua yang diimpikannya? Hal ini karena nilai-nilai yang diajarkan di PM senantiasa mewarnai kehidupan Alif.

Salah satu yang sangat mengesankan saya dalam novel ini adalah bahwa Man jadda wajada saja tidak cukup, karena jarak ntara jadda (kesungguhan) dan wajada (memperoleh hasil) tidak pernah kita ketahui. Kadang satu detik, kadang berpuluh tahun. Untuk itulah diperlukan mantra kedua, Man shabara zhafira (siapa yang bersabar akan beruntung). Mantra baru ini selalu menghibur Alif. Dengan mantra ini Alif terus berjuang menggapai cita-citanya meskipun dengan keadaan yang nelangsa.

Bisa dibilang, novel ini semacam chicken soup dalam edisi panjang. Jika cerita dalam buku chicken soup hanya penggalan cerita, dan dalam satu buku kita hanya membaca berbagai cerita yang tidak berhubungan, maka dalam novel ini kita bisa membaca satu cerita yang saling berangkai dan seolah terjadi secara kebetulan.

Memang, unsur fiksi merupakan komponen utama dalam novel ini, tapi saya yakin faktanya juga cukup kental. Semua kota dan negara yang dikunjungi Alif sepertinya merupakan pengalaman pribadi penulisnya.

Kisah 2 golok dalam novel ini juga mengusik saya karena dalam dunia nyata cerita ini sangat relevan.  Dalam sebuah kesempatan Kyai Rais membawa 2 golok ke dalam aula, tempat para santri berkumpul. Kyai Rais lalu mengayunkan golok tajam secara serampangan, tidak fokus, ke arah bambu. Akibatnya, bambu itu tidak pernah putus.

Selanjutnya, Kyai Rais mengayunkan golok yang tumpul ke arah bambu dengan sungguh-sungguh dan fokus. Sambil berkeringat dan mengeluarkan tenaga ekstra akhirnya bambu tersebut putus.

Dengan perumpamaan 2 golok ini Kyai Rais ingin menjelaskan kepada santrinya, terutama bagi santri yang pintar agar tidak terlena dengan kepintarannya. Jika tidak fokus, maka kepintaran tersebut tidak akan membawa manfaat.

Sebaliknya, bagi santri yang kurang pintar, mereka tidak usah berkecil hati. Asal mereka bersungguh-sungguh dan fokus, mereka dapat juga berhasil. Di Gontor, kelas memang dibagi berdasarkan nilai. Kelas B merupakan kumpulan anak pintar, sementara kelas dengan abjad berikutnya berarti semakin rendah nilai akademiknya. Tiap tahun kelas ini selalu dikocok ulang sesuai prestasi akademik siswa. Di dunia nyata, terbukti bahwa banyak teman-teman yang dari kelas “bawah” berhasil menaklukkan dunia.

Masalah memancing bisa menjadi perenungan yang mendalam. Saat memancing di sebuah danau di Kanada pada musim salju, Alif teringat kembali akan filosofi memancing yang didapatnya di PM.

Kyai Rais bilang, PM hanya memberikan kail, bukan memberi ikan. Di PM santri tidak diajarkan kitab kuning atau kitab tertentu seperti di pesantren pada umumnya, tetapi diajarkan cara yang efektif bagaimana membaca kitab kuning sehingga kitab kuning apapun bisa dibaca. Materi tatabahasa Arab juga yang standar dan aplikatif, bukan yang teoritis. Ibaratnya, PM hanya mengajari cara membuka komputer dan mengakses Google. Setelah itu, kita bisa mencari info apa saja dari Google.

Semangat dari PM yang sangat mewarnai adalah upaya untuk do extra mile. Hal ini dilakukan Alif saat ikut persamaan ujian SMA. Bagi seorang santri yang tidak belajar Matematika dan pelajaran eksak lainnya, mengikuti ujian persamaan SMA bukanlah suatu yang mudah. Perlu diketahui, bahwa di PM pelajaran umum juga dipelajari, tetapi frekuensinya sangat sedikit karena waktunya harus dibagi dengan pelajaran agama.

Saya jadi ingat saat saya ujian matrikulasi di Prasetya Mulya. Sebelum mengikuti perkuliahan reguler, para mahasiswa harus mengikuti matrikulasi atau penyamaan frekuensi. Ada 5 mata kuliah matrikulasi yakni Manajemen & Bisnis, Perilaku Konsumen, Ekonomi Mikro Makro, Akuntansi, Matematika & Statistika. Uang kuliah saat itu Rp 500.000, tetapi jika ikut ujian hanya bayar Rp 50.000. Lumayan kan bisa irit. Maka, saya putuskan untuk mengikuti ujian 3 mata kuliah saja karena ingin fokus dan tahu diri.

Sebagai santri dan alumni IAIN, saya tidak terlatih untuk pelajaran yang berunsur hitung-hitungan seperti Akuntansi dan Matematika/Statistika, karena itu pelajaran ini tidak saya ikuti ujiannya.

Dalam waktu sebulan saya mempersiapkan diri. Saya belajar sendiri dari buku terbitan Prentice Hall seperti yang disyaratkan. Sebulan kemudian, Alhamdulillah saya lulus atau P (Pass) semuanya atau 100% dari 3 mata kuliah tadi. Rekor tertinggi dipegang seorang teman dari Ekonomi Unpar yang lulus 4 mata kuliah dari 5 yang diikuti.  Ya wajarlah. Dia kan sudah mempelajari semuanya waktu S1. Beberapa teman dari ITB hanya lulus di pelajaran Matematika & Statistika. Mereka juga tidak berani ikut ujian di pelajaran lain.

Di kemudian hari, terbukti saya memang tidak piawai dalam hal angka. Pada mata kuliah Statistika saya harus mengulang ujian karena tidak lulus pada ujian pertama. Hampir mirip dengan Alif yang tidak piawai di pelajaran hitung-hitungan sehingga harus mengubur mimpinya untuk menjadi Habibie. Gubrakkkk….

Kesungguhan Alif untuk melakukan extra mile juga dapat dilihat saat dia  mengefaks permintaan wawancara kepada tokoh politik Quebec yang dilakukan berulang-ulang sehingga tokoh tersebut tak sampai hati dan jatuh iba kepada Alif. Akhirnya Alif diterima untuk mewawancarainya berkenaan dengan referendum provinsi Quebec, Kanada.

R3W juga lebih dramatis dibanding N5M, terutama pada adegan apak atau ayah Alif meninggal. Adegan ini pastinya membuat pembaca, terutama cewek-cewek pada mewek. Selain itu, adegan  Alif pingsan karena terlalu capek bekerja serabutan juga sangat mengharukan.

Saat itu Alif belum menemukan dirinya. Dia mencoba peruntungan sebagai salesman yang menjajakan barang dari pintu ke pintu sekaligus memberi kursus privat. Dalam hidup, terkadang kita memang harus mencoba sesuatu yang kelihatannya tidak bermanfaat, tetapi nantinya peristiwa tidak enak tadi menjadi penambah nikmat jika dikenang saat kita telah sukses.

Yang juga menarik adalah kisah kasih tak sampai yakni tatkala Raisa ternyata menikah dengan Randai. Di N5M kisah romansa baru sebatas cinta monyet anak belasan. Sementara di R3W kisahnya mulai serius. Tidak dijelaskan, apakah ini karena Alif yang tidak berani mengutarakan isi hatinya ataukah memang Raisa menyukai Randai. Yang pasti, dalam hal ini Alif gagal. Meskipun, beberapa tahun kemudian Alif menemukan pengganti Raisa, istrinya hingga saat ini, yang lebih baik dari Raisa. Uhuy….

Yang juga menarik adalah cerita blessing in disguise yang terjadi pada Rusdi, teman Alif dalam program pertukaran pemuda di Kanada, yang akhirnya bisa jadi copilot. Padahal di awal dia merasa paling sengsara karena bekerja di peternakan membersihkan kandang, memerah susu, memberi makan ternak, dan bergaul dengan lingkungan yang kotor. Padahal dia berharap bisa bekerja di stasiun tv. Begitulah Tuhan mengatur nasib, terkadang apa yang kita benci saat ini, bisa menjadi nikmat yang tak terkira di masa mendatang.

Petunjuk teknis juga patut diapresiasi dalam novel ini yakni petunjuk untuk program pertukaran pemuda. Setelah buku ini dibaca banyak orang, sepertinya yang daftar akan membludak karena banyak yang terinspirasi. Selama ini barangkali tidak banyak mahasiswa yang mengetahui informasi ini. Saya sendiri nggak pernah tahu kalau ada kegiatan seperti ini. Kalau tahu, pasti sudah mengikuti program ini, meskipun belum tentu lulus. He he….

Adegan saat Alif bersedih di Kanada juga sangat manusiawi sekali. Ternyata, meskipun cita-citanya ke luar negeri tercapai, Alif bisa juga diliputi kesedihan hanya gara-gara hal sepele, yakni Raisa. Dari sini sang penulis hendak menjelaskan kepada kita agar kita selalu bersyukur. Tidak sepantasnya kita yang sudah menikmati banyak kebahagian hidup, masih berkeluh kesah.

Dalam masalah seni pertunjukan, tampaknya sang penulis memang sangat ahli. Kalau di N5M ada pertunjukan Class Six Show tentang cerita Petualangan Ibnu Batutah, maka  di R3W ada adegan pertunjukan perayaan hari kemerdekaan di kota Saint Raymond, Kanada. Kejutan dari setiap adegan sangat menawan. Layaklah kalau sastrawan sekaliber Remi Silado memuja novel ini setengah mati. Selamat kawan…

8 tanggapan untuk “Ranah 3 Warna

  1. Warna penulisan bang Fuadi memang cerah, entah karena ia mendapatkan akhir yang cerah juga dengan kegontorannya. Kalau saya menulis Gontor, entah kenapa selalu muram ya, apa mungkin karena saya sudah menganilisis mantra2 Gontor tadi, dan memasukkannya dalam psikoanalisis kering yang menjemukan? Don’t know why, tapi kayaknya memang harus membaca novel yang baru ini. thanks for resume bang Hery. 🙂

    Ente dan ane kebanyakan ragunya, jadi tidak yakin dengan apa yang diajarkan. Ente kebanyakan baca buku filsafat yang mengkritisi segala hal. He he….

  2. Saya sempat membaca tulisan Uda Vizon mengenai buku kedua ini

    Saya belum punya buku ini …
    membaca ulasan Abang rasanya hari minggu nanti saya harus ngacir ke PI Mall nih …

    Perumpamaan 2 golok itu sangat sederhana namun pas bener …

    Salam saya Bang

    Selamat hunting ke PI Mall, Bos…

  3. Fuadi memang top dan udah ngetop juga, hehehe… 🙂

    Aku salutkan caranya merangkai cerita dan tetap dengan benang merah ke-PM-annya itu, sehingga antara N5M dan R3W tetap ada hubungan yang erat..

    Semoga buku terakhir jauh lebih dahsyat…
    Kita sama doakan ya Bro 🙂

    Semoga buku ketiga juga lebih mantap….

  4. saya belum baca yang ini. Tapi sungguh saya bangga pernah mengecap KMI sampai mendapat syahadah. Soal focus ini saya setuju 100%. Karena teman2 yang tidak focus ketika masih di gon-tor, menurut pengamatan saya ternyata masih lebih baik yang mutii’ haqqal itoo’ah. Pertama kali saya masuk gon-tor, benar2 heran, PM yang jauh dari mana2, dengan jalan yang sangat becek cek, kok didatangi dan dicari. Pokoknya sunggu bangga sebagai khirrij (1974). Selamat Akh Fuadi, asykuruka Ya Hery.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s