Perjalanan ke luar negeri memang selalu memberikan sensasi khusus bagiku. Negara pertama yang pernah kusinggahi adalah Singapura, tahun 2001. Saat itu, aku memang hanya tertawan di bandara Changi sehingga dapat dikatakan belum sah disebut pernah mengunjungi Singapura. Saat itu, Changi hanya menjadi tempat transit, sebelum aku mengunjungi Jerman (Frankfurt & Koln), Perancis (Paris) dan Belanda (Amsterdam). Perjalanan ke luar negeri berikutnya adalah saat menunaikan umroh ke tanah suci bersama istri dan bapak/ibu mertua di tahun 2012 (Mekkah, Medinah dan Jeddah).
Nah, kali ini di 6-9 Juni 2014 aku akan mengunjungi negeri jiran Singapura dan Malaysia. Cuti pun aku ajukan jauh2 hari.
Rencananya, aku dan istriku Yuli akan terbang langsung ke Singapura via Bandung, lalu jalan darat dari Singapura ke Johor Bahru, disusul dengan jalan darat dari Johor Bahru ke Kuala Lumpur. Baru kemudian pulang dengan pesawat dari Kuala Lumpur menuju Bandung.
Bulan Maret aku sudah mencari info tiket murah, sekaligus rute perjalanan, tempat yang layak dikunjungi, plus tempat menginap.
Itinerary pun sudah dibuat dan direvisi berkali-kali menyesuaikan dengan info terkini. Semuanya mengacu pengalaman para blogger Indonesia yang sudah ke sana dan tentu saja website pariwisata Singapura dan Malaysia. Rencananya pesawat Tiger dari Bandung berangkat pukul 11.45 di hari Jumat, tapi ternyata direskedul ke pukul 17.45. Sungguh suatu kerugian karena hilang waktu hampir 6 jam.
Begitu juga, pesawat kembali dari Kuala Lumpur ternyata dipercepat, yang seharusnya pukul 19.15 dipercepat menjadi pukul 15.45 (hampir 4 jam hilang kesempatan). Namun apa boleh buat, namanya juga budget arlines, kita nggak bisa protes karena saat pemberitahuan sangat dekat dengan waktu keberangkatan.
Nah, mari kita mulai hikayat perjalanan ini.
Bandara Husein
Pukul 15.00 rencananya kami akan naik taksi ke bandara Husein, namun apa daya perusahaan taksi tidak bisa menyediakan taksi yang diminta. Akhirnya aku memutuskan untuk menggunakan mobil sendiri dan menitipkannya di bandara. Sesampainya di bandara suasana sangat crowded. Untuk sekadar masuk ke tempat parkir saja sudah harus antri. Aku berbagi tugas dengan istri. Dia ke check in counter, sementara aku berputar2 mencari ruang parkir. Setelah menunggu cukup lama (hampir 15 menit) dan hampir pasrah dan menerima parkir paralel, akhirnya ada sebuah mobil yang keluar dari posisi parkir. Alhamdulillah, aku dapat parkir dan merasa lebih aman karena mobil nggak akan didorong2 jika diparkir paralel. O, ya, harga tiket Bandung-Singapore by Tiger hanya Rp435.000 per orang.
Adapun airport tax untuk penerbangan internasional Rp75.000. Relatif murah dibandingkan dengan airport tax bandara Soekarno-Hatta.
Suasana bandara Husein yang sempit semakin sempit dengan banyaknya penumpang yang masuk ke ruang tunggu. Nggak tahu sampai kapan bandara Husein seperti ini. Mungkin tidak akan diperluas karena kabarnya bandara komersial akan dipindah ke Majalengka.
Proses imigrasi berjalan lancar, tidak terlalu ketat seperti di luar negeri. Kita tidak perlu melepas tali pinggang segala.
Tak lama kemudian boarding pun dimulai. Pramugari Tiger Air sepertinya warga negara Singapore semua. Wajah mereka sangat khas. Sebagaimana budget airlines tidak ada makanan gratis di pesawat ini. Jadi, kita harus beli. Itupun hanya makanan ringan. Makanan hangat tidak tersedia.
Tiba di Singapore
Tepat pukul 21.00 waktu Singapore pesawat mendarat dengan mulus di Changi. Penumpang turun melalui belalai gajah, dan langsung dihadang oleh toko-toko bebas pajak yang sangat menggoda. Bandara Changi memang sangat memanjakan penumpang. Taman yang indah disediakan bagi penumpang untuk sekadar melepas penat sehabis perjalanan jauh maupun sekadar berfoto ria sebagai bukti bahwa kita sudah tiba di Singapore. Tempat penukaran uang juga ada di sini dengan rate yang bagus dan pelayanan yang cepat, tidak seperti money changer di negara kita yang cenderung berlama2. Pecahan 1$, 5$, 10$, 20$ dan 50$ aku kantongi di dompet sebagai bekal hidup di Singapore.
Yang menarik, ada foto berwajah Melayu di salah satu pecahan uang. Siapakah dia? Bukankah di Singapore yang berkuasa adalah etnis Cina? Setelah aku googling, baru paham kalau wajah di uang tadi adalah presiden pertama Singapore bernama Yusof bin Ishak. Beliau memang keturunan Melayu beragama Islam. Nenek moyangnya dari pihak ayah masih keturunan Minangkabau, sementara dari pihak ibu keturunan Langkat (wah, kita masih ada hubungan keluarga nih ternyata). Jadi, ternyata Singapura sangat menghargai keragaman suku dan budaya. Minoritas Melayu bisa menjadi presiden. Luar biasa…
Setelah melewati imigrasi, aku agak sedikit galau antara makan dulu di Changi atau langsung mencari MRT. Akhirnya aku putuskan untuk menuju MRT yang letaknya di basement. Untuk tahap awal ini, aku masih gaptek melihat ticket machine. Untunglah ada seorang petugas wanita berwajah oriental yang membantu. Rupanya, mesin ticket tidak bisa menerima uang pecahan 10$, sehingga petugas tadi menukar uangku dengan pecahan 5$. Kami memesan tiket ke Bugis dengan harga 4,6 $ untuk berdua. O, ya kurs saat itu 1 SGD sama dengan sekitar Rp9.600. Kalau dibanding dengan tiket Commuter Line di Jakarta tentu saja MRT Singapura jauh lebih mahal. Di Jakarta tiket termahal dari Bogor ke Jakarta tidak sampai Rp10.000 per orang.
Ada yang luar biasa di MRT Singapura, yaitu di tiap stasiun ada pembatas atau pagar otomatis yang membuka menutup sesuai dengan kebutuhan. Jika kereta berhenti maka pagar akan membuka seiring dengan terbukanya pintu kereta. Jika pintu kereta tertutup, maka pagar pun akan tertutup. Ini merupakan tindak pengamanan yang efektif, yang mencegah penumpang terjatuh. Seingatku di negara Eropa sekalipun pagar di stasiun ini belum ada. Entah kalau saat ini.
Suasana kereta pada pukul 21.25 tidak terlalu ramai. Kami masih bisa memperoleh tempat duduk. Namun ternyata, setelah kereta berhenti di Stasiun Changi Expo banyak penumpang yang masuk sehingga kereta pun penuh. Banyak penumpang berdiri. Masing2 sibuk dengan smartphonenya, sebagian besar merk Samsung. Ada yang mengetik, ada yang mendengarkan musik, ada juga yang hanya membaca. Gadis2 Singapore bercelana super pendek menghiasi hampir setengah gerbong kereta. Singapore memang panas, jadi pakaian juga harus menyesuaikan. He he…
Di stasiun Tanah Merah kami berganti kereta. Perlu diingatkan kepada turis indonesia yang mau ke pusat kota bahwa kereta Changi hanya menuju ke Pasir Ris, jadi kita harus berganti kereta di stasiun Tanah Merah (2 stasiun dari Changi). Setelah melewati 8 stasiun dari Tanah Merah, tibalah kami di Stasiun Bugis. Stasiun ini terhubung dengan Bugis Junction, mall yang cukup lengkap. Langsung kami mencari foodcourt, dan meneliti satu persatu mana gerai yang sesuai dengan selera kami. Setelah berputar kami memutuskan makan di KFC saja biar aman. Eh, ternyata belum sempat memesan, tirai di KFC sudah diturunkan pertanda sudah tutup. Maka kami beralih ke gerai Breadtalk. Niatnya sih mau take away aja. Tanpa pikir panjang aku segera mengambil nampan dan memilih roti abon atau chicken floss yang biasa aku beli di Indonesia. Tapi sekonyong2 aku terkejut karena istriku membaca tulisan Pork di labelnya. Maka kami urungkan untuk membeli Breadtalk. Rupanya, Breadtalk Singapore berbeda dengan yang di Indonesia yang kini sudah memperoleh sertifikat halal dari MUI. Pantaslah kalau dulu pernah ada isu tentang kehalalan Breadtalk. Di luar itu, harga sepotong roti di Breadtalk Singapore relatif mahal, sekitar 1,8 SGD atau Rp17.000. Bandingkan dengan di Indonesia sekitar Rp8.000/9.000.
Karena sudah hampir pukul 10.00, saatnya mall tutup, sehingga kami mencari gerai makan di luar. Untunglah masih ads gerai McD yang buka dan masih ramai dengan pengunjung. Langsung saja kami memesan 2 burger, 1 kentang dan 1 coke seharga 13$ atau setara Rp125.000. Meskipun kami kelaparan, ternyata burger yang dipesan tak habis dimakan. Sisanya kami bungkus untuk sarapan pagi karena di hotel kami tidak memesan paket sarapan.
Dari McD kami berjalan mencari hotel. Berhubung tidak ada wifi, google map tidak bisa diakses, sehingga kami harus bertanya2 kepada orang yang lewat. Untuk lain waktu, mengantisipasi tidak adanya wifi, peta lokasi harus difoto lebih dulu sehingga bisa diakses offline. Berkat arahan seorang petugas kebersihan yang sudah sepuh dan berwajah Cina, kami berhasil menemukan hotel yang terletak di Beach Road. Ternyata tidak terlalu jauh, sekitar 300 meter. Di sepanjang jalan menuju hotel, cafe dan restoran Cina masih buka. Udang dan ikan segar yang dibakar di atas meja sangat menggoda.
85 Beach Garden Hotel terletak di antara pertokoan yang padat. Untuk ke resepsionis saja harus ke lantai 2. Sementara di sampingnya ada dapur sebuah restoran. Resepsionisnya bisa berbahasa Melayu, sehingga komunikasi lebih lancar. Tak lupa, password wifi pun diberikan. Kamarnya ternyata sangat mungil, namun bersih dan kelihatannya baru direnovasi. O ya sewa kamarnya Rp818.000 per malam. Saya memesan via booking.com.
Kalau kita ke singapore dan Malaysia jangan lupa membawa stop kontak berkaki tiga. Jika kelupaan, alamat gadget kita kehabisan nafas dan gagallah kegiatan foto2. Malam ini rencananya mau ke Mustafa Center yang buka 24 jam, tapi khawatir sudah kehabisan bus dan MRT, akhirnya kami putuskan beristirahat saja. Apalagi, agenda besok padat merayap, yaitu:
1. Merlion
2. Esplanade
3. Garden by the Bay
4. Sentosa
5. Orchard
6. Perjalanan ke Johor Bahru


Happy anniversary ya Bro…
Cihuy juga nih merayakan anniversary sambil liburan berduaan kayak begini.. 🙂
Thanks bro…
Jika Anda ingin membuat situs web, Anda lebih baik siap untuk kompetisi. Ada banyak orang di luar sana yang telah memulai bisnis online atau membawa bisnis mereka ke web.Read lebih lanjut klik di sini http://www.ciptakanwebsitegratis.id/