Pada postingan sebelumnya telah diceritakan kalau kami akan bertolak ke Izmir menggunakan transportasi udara. Tujuan kami sebenarnya Kusadasi, bisa ditempuh dengan bus malam selama 9-10 jam. Tapi, semua anggota tim sedari awal sudah menyadari kalau transportasi darat kurang nyaman. Bayangkan jika kami kebelet buang air di tengah jalan, tentu jadi PR tersendiri.
Kami berangkat dengan pesawat Pegasus, sebuah maskapai berbudget rendah milik swasta Turki. Kalau di sini mirip Lion Air. Tiket sudah dipersiapkan oleh travel kami Travelshop Turkey. Lama perjalanan hanya sekitar satu jam. Pemandangan dari atas begitu indahnya. Laut bergantian dengan bukit seraya diselingi dengan sorotan matahari yang ganas.
Setiba di Izmir ternyata airportnya masih sangat sep. Gedungnya baru, tetapi masih banyak yang kosong. Sebagai kota nomor tiga terbesar di Turki, wajarlah jika bandaranya juga besar.
Tampak serombongan anak SD yang baru pulang dari sebuah kegiatan, mungkin di Istanbul. Wajah mereka rupawan semua, identik sekali dengan anak2 Eropa. Mereka disambut oleh orangtua masing-masing, sementara kami dijemput oleh sopir yang ditunjuk pihak travel.
Selama beberapa saat tidak kelihatan ada penjemput kami. Sambil mencari air minum di restoran terdekat akhirnya sopir pun muncul. Malangnya, kami tak bisa langsung keluar karena harus menunggu penumpang lain.
Lama menunggu ternyata penumpang yang diharap-harap tadi tak kunjung tiba. Hatta, sopir memutuskan untuk meninggalkan mereka.
Mobil diparkir di area yang relatif jauh. Kami harus menyeberangi jembatan penyeberangan yang menghubungkan bandara dengan tempat parkir. Di bawah jembatan ini kebetulan ada rel kereta. Barangkali nanti beginilah wajah bandara Soekarno Hatta setelah ada kereta yang masuk bandara.
Lumayan menguras tenaga juga membawa koper besar menyeberangi jembatan. Saat naik eskalator merupakan saat kritis karena kami harus menahan koper agar tidak terjatuh.
Mobil berjalan menuju Kusadasi. Izmir ternyata tidak kami lewati karena arahnya berkebalikan dengan Kusadasi. Perjalanan cukup jauh, hampir 85 km. Terbayang jika kami ketinggalan jemputan seperti yang terjadi dengan penumpang tadi.
Bukit yang tak terlalu tinggi menjadi pemandangan yang kami nikmati sepanjang perjalanan. Jalan laksana tol membuat mobil melaju dalam kecepatan tinggi. Apalagi tak banyak kendaraan yang wara-wiri.
Setelah hanya melewati bukit dan areal pertanian akhirnya kami masuk ke kota Selcuk, tempat dulu Dinasti Selcuk berkuasa. Di Selcuk ini banyak terdapat tempat bersejarah seperti House of Virgin Mary, Isa Bey Mosque, Ephesus, Sirince, dan Arthemis Temple.
Kami sebetulnya bisa saja menginap di Selcuk, tapi suasana kota ini tidak terlalu menarik. Kusadasi, sekitar 20 km dari Selcuk, lebih menarik karena kotanya lebih besar, terletak di pinggir pantai, dan fasilitasnya lebih lengkap. Sementara Selcuk ibarat kota mati.
Menjelang magrib, pukul 20.30 kami tiba di hotel Palm Inn di Kusadasi. Sayang, posisi hotel terletak di bukit, jauh dari pantai, sekitar 3 km, sehingga sulit bagi kami menikmati suasana pantai Kusadasi di malam hari. Akibatnya, setelah makan malam di hotel kami hanya mengeram di kamar.
Virgin Mary Tour
Esok pagi, setelah sarapan kami telah ditunggu oleh bus, pak sopir, bersama seorang tour guide perempuan berumur sekitar 40-an. Tujuan kami ke Ephesus. Sebelumnya kami harus menjemput beberapa peserta tour dari hotel lain.
Salah seorang peserta wajahnya sedikit familiar. Rupanya tak salah lagi, peserta ini ternyata memang orang Indonesia. Namanya Erik, bekerja di Kuwait. Dia tour sendirian ke Turki sebelum pulang kampung ke Indonesia. Usut punya usut ternyata dia anak pondok alumni, mungkin cucunya pondok Gontor.
Erik telah lebih dulu ke Cappadocia dan Pamukkale. Di Istanbul dia sempat bertemu dengan asatiz dari Gontor yang kebetulan sedang berkunjung ke Turki juga dalam rangka kerjasama. Konon kini banyak perguruan tinggi di Turki yang menawarkan beasiswa kepada santri alumni Gontor dan pondok alumninya seperti Darunnajah.
Bus perlahan meninggalkan Kusadasi menuju Selcuk. Dari sini bus merangkak naik lewat jalan yang lebih kecil menuju House of Virgin Mary. Lokasi tempat peristirahatan Bunda Maria ini ada di bukit yang teduh, mirip suasana lereng Gunung Tangkuban Parahu.
Tempat peristirahatan ini merupakan salah satu versi. Adapun versi yang lain ada di Roma atau Yerusalem. Konon bunda Maria pergi bersama seorang santo kepercayaan Yesus. Mereka melarikan diri dari kejaran penguasa yang juga menyalib Yesus.
Tempat ini ditemukan agak belakangan, yakni setelah seorang biarawati bermimpi atau melihat penampakan (vision) sekitar abad 19. Dari vision inilah dibuat tim ekspedisi untuk mencari tempat ini atas persetujuan Paus.
Di tempat ini masih ada gereja bernuansa alami yang aktif melakukan misa setiap minggu. Tampak biarawati berjilbab sedang berdoa. Ada juga air suci yang bisa diminum langsung. Aku ikut minum air ini. Ada juga dinding tempat permohonan doa. Jadi biasanya umat menuliskan doa mereka di atas kain, lalu memasangkannya ke tembok dengan cara mngkaitkannya dengan peniti.
Pengunjung dapat masuk ke rumah persitirahatan secara bergantian. Dilarang memotret di dalam rumah. Terasa suasana hening dan spiritual di dalam rumah ini. Lilin dibiarkan menyala di pojok ruangan. Bagi umat Kristen, tentu berziarah ke tempat ini memiliki makna tertentu.
Di halaman tempat ini, sebagaimana tempat wisata lain ada toilet dan cafe. Kita bisa memesan makanan kecil atau minuman seperti teh manis atau kopi. Air di toilet sangat dingin, mirip air di puncak atau Cipanas.
Tiba-tiba ada kerumunan dan teriakan yang tak jelas artinya dalam bahasa Turki. Seorang perempuan sedang tak sadarkan diri di bawah kaki meja. Mungkin dia terkena maag atau tidak sarapan. Setelah melihat wajahnya baru kami sadar ternyata perempuan ini tour guide kami. Konon, tadi dia membawa minuman bersoda. Mungkin inilah penyebabnya.
Tak lama menunggu, ambulans datang menjemput pasien tadi dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Sangat terkesan kami melihat begitu cepatnya respons dari tim penyelamat. Tinggal kami bengong harus berbuat apa di tempat ini, bak anak ayam kehilangan induk.
Aku mencoba berbicara dengan sopir, tapi rupanya dia tak mengerti apa yang aku tanyakan. Hanya saja dia menyuruh kami naik ke bus dan melanjutkan tour ke Ephesus dengan bahasa Turki campur bahasa Tarzan. Di pertengahan jalan menuju Ephesus tour guide kami yang baru naik ke bus. Kali ini laki-laki bernama Nizam.
Jalan menuju Ephesus agak tersendat karena kami harus berselisih dengan tim balap sepeda. Rupanya sedang ada kejuaraan balap sepeda di tempat ini. Setiap pembalap didukung oleh tim berupa truk yang bisa memuat beberapa unit sepeda.
Itu air sucinya nggak dibotolin, Bro.. Siapa tau bawa berkah.. hihihi.. 🙂
Nggak kepikiran bro. Jadi cuma diminum di tempat.