Dalam postingan yang lalu dikisahkan tentang wisata sejarah di kota berumur lebih dari 3.000 tahun, Ephesus, yang dilanjutkan dengan makan siang di sebuah restoran di pinggiran kota Selcuk. Usai makan siang kami dibawa ke toko yang menjual pakaian berbahan kulit kambing. Toko ini sangat luas untuk ukuran kota kecil seperti Selcuk. Rasanya, kalau tidak ada turis, tak akan ada pengunjung yang berbelanja di sini karena kota ini memang sepi sekali. Jalanan yang lebar hanya sesekali dilalui kendaraan.
Modus tempat wisata belanja di Turki sebenarnya sudah dapat ditebak, karena itu kita harus hati2 agar tidak terjebak. Biasanya kita akan digiring ke sebuah toko karpet, toko pakaian, toko keramik atau penyulingan anggur. Setelah itu pemilik toko akan presentasi dan merayu kita untuk membeli produk mereka. Berbagai jurus mereka gunakan untuk mempengaruhi pengunjung.
Kali ini kami dibawa ke ruangan bawah tanah yang disulap menjadi ajang fashion show, lengkap dengan modelnya. Terlebih dahulu kami dipersilakan duduk di sekitar panggung dan ditanya mau minum apa, teh atau kopi. Tak lupa mereka menyiapkan daftar pakaian laksana menu di restoran beserta pensil agar kita bisa menandai pakaian mana nanti yang akan kita beli setelah fashion show berakhir.
Sejurus kemudian, lampu dipadamkan dan musik berirama menghentak menggelegar. Keluarlah seorang pria tampan dan dua wanita cantik mengenakan jaket kulit yang indah. Jaket berbahan kulit kambing ini menggunakan teknologi tertentu dalam penyamakannya sehingga jaket terlihat lentur, tipis dan enak dipandang. Jangan bayangkan jaket yang tebal seperti jaket Garut, tapi bayangkan seperti pakaian yang sering ditayangkan di acara fashion show tingkat dunia di FTV.
Hampir 4 lagu bergantian disetel sembari model berganti baju pada akhir lagu.
Sekilas aku menyadari waktu menunjukkan pukul 13.30, bersamaan dengan waktu shalat Jumat di wilayah Turki. Luar biasa pengaruh wisata Turki bagi kehidupan warganya. Tak ada yang peduli dengan shalat Jumat. Nizam cuek saja menemani kami, begitu juga dengan sopir.
Demikianlah pengaruh sekularisme yang sudah begitu mengakar. Urusan agama menjadi urusan pribadi. Nggak usah ngurusin masalah agama orang lain. Ini juga mungkin yang membuat wisata di Turki maju. Turis tidak khawatir dengan golongan ekstremis yang akan menyerang mereka.
Usai fashion show, datanglah sekitar 3 orang salesman dengan pakaian rapi berdasi mendekati setiap pengunjung dan membawa mereka ke toko. Pengunjung dipersilakan melihat-lihat jaket yang ada di toko jika belum yakin dengan pilihannya saat fashion show. Aku yang memang tidak niat membeli hanya duduk-duduk dan ngobrol dengan turis lain.
Akhirnya, Yayang tergoda untuk membeli jaket setelah melalui pertimbangan dan negosiasi yang alot. Saranku, kalau kita memang tidak niat dan tidak punya budget, jangan coba-coba memberikan harapan palsu ke para salesman. Mereka dengan semangat empat lima akan berupaya untuk merayu kita agar transaksi terjadi.
Kampung Kuno Sirince
Kampung yang menjadi cagar budaya oleh UNESCO ini terletak sekitar 8 km dari pusat kota Selcuk. Konon, rumah di Sirince sudah berumur sekitar 300 tahun. Dulu, kampung ini didiami oleh warga keturunan Yunani. Setelah jatuhnya Ottoman, warga Sirince memutuskan kembali ke Yunani. Kini Sirince didiami oleh orang Turki.
Menuju kampung ini jalanannya mendaki dan relatif kecil. Di sepanjang jalan tampak kebun anggur dan buah-buahan lainnya.
Menjelang tiba di Sirince parkiran sudah penuh. Bahkan banyak mobil pribadi yang parkir sembarangan di pinggir jalan. Tampaknya penduduk lokal juga senang ke tempat ini untuk sekadar makan siang.
Kontur kampung ini memang tidak rata karena terletak di lereng bukit. Akses di kampung ini hanya gang yang bisa dilalui dengan jalan kaki. Di sepanjang gang inilah berjejer toko-toko yang menjual berbagai cenderamata.
Bahkan, kami dibawa ke sebuah toko perhiasan yang konon menjadi supplier properti untuk film Troy yang dibintangi Brad Pitt. Di toko ini foto Brad Pitt dipajang dalam ukuran besar. Kami dipersilakan mencoba cincin yang bisa berubah warnanya seperti bunglon. Benar saja, ketika kami keluar toko, warna mata cincin berubah menyesuaikan dengan lingkungan sekitar. Wah cincin yang luar biasa, harganya juga luar biasa, sekitar 1.000 euro atau sekitar Rp15 juta. Akhirnya kami mundur secara teratur meninggalkan toko.
Restoran dan cafe memang banyak di kampung ini. Harganya juga relatif murah. Kelihatannya nikmat sekali saat melihat menu dan pengunjung yang sedang bersantap. Sayang, kami sudah makan siang, jadi tak ada yang tersisa untuk bersantap lagi.
Pulang dari Sirince kami harus tertahan di Selcuk karena ada balap sepeda. Akhirnya kami ikut-ikutan menonton balap sepeda tingkat nasional ini. Luar biasa kecepatan sepeda para pembalap. Aku tidak bisa membayangkan jika sedikit saja ada yang tersenggol, maka jatuhlah mereka beramai-ramai karena jarak antar sepeda sangat rapat dan dalam kecepatan tinggi.
Balap sepeda memang olah raga populer di Turki sebagaimana di negara Eropa lainnya. Hampir tiap tahun ada event nasional balap sepeda yang melewati hampir seluruh kota di Turki. Acara balap sepeda ini biasanya disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi.
Sebenarnya, modus menggiring turis ke pusat perbelanjaan tidak hanya di Turki, di Jogja juga banyak banget yang seperti itu. Coba aja ke Malioboro, trus terima tawaran naik becak keliling malioboro-kraton dengan harga Rp. 5.000. Pastilah ujung-ujungnya kita digiring ke pusat oleh-oleh atau kaos untuk berbelanja. Jika ternyata kita tidak belanja, si mas becak akan dengan lihainya meminta ongkos jadi naik beberapa kali lipat, tapi kalau kita belanja, ongkos becak tetap segitu.. 🙂
Iya juga bro. Aku keknya pernah ngalamin hal ini di Yogya. Dulu pas ongkosnya masih Rp3.000. Aku dibawa ke sanggar lukisan, penjual bakpia dan penjual kaos dan batik.