Umroh #4

Hery Azwan di Mesjid Quba
Mesjid Quba, mesjid pertama di Madinah

Setelah empat malam menginap di Mekkah, kami pun harus meninggalkan kota bersejarah ini menuju Madinah Al Munawwarah (Kota Yang Disinari). Kota Mekkah sering diidentikkan dengan kota Nabi Ibrahim, sementara Madinah diidentikkan dengan kota Nabi Muhammad. Kemakmuran kota Mekkah antara lain karena telah didoakan Nabi Ibrahim, sementara kota Madinah telah didoakan Nabi Muhammad agar dua kali lebih makmur dari Mekkah.

Di Madinah Nabi Muhammad disambut dengan hangat oleh penduduknya dan di sinilah Nabi wafat dan dimakamkan. Hampir semua sahabat yang ikut berhijrah dengan Nabi ke Madinah wafat dan dikuburkan di Madinah. Nama pekuburan di Madinah adalah Al Baqi, yang terletak tidak jauh dari Mesjid Nabawi.

Perjalanan kami agak sedikit terlambat karena ada macet di seputar hotel. Jalan di kota Mekkah, terutama di sekitar Masjidil Haram, memang sangat kecil. Tak sesuai dengan begitu banyaknya hotel yang berlokasi di sini. Keluar masuk kendaraan di saat peak season menjadi masalah utama Mekkah.

Rupanya bus kami sudah dua kali berputar menuju hotel, tapi dilarang masuk oleh petugas untuk parkir di depan hotel karena lalu lintas begitu macetnya. Sopir bus yang orang Arab ini lantas ngambek. Harus dibujuk dulu oleh petugas travel agar dia sudi kembali lagi ke hotel.

Seyogyanya bus berangkat pukul 14.00, tetapi akhirnya baru pada pukul 15.00 bus berangkat. Sejurus meninggalkan Mekkah, bus mengisi BBM lebih dulu di sebuah SPBU. Yang unik, tidak terlihat ada petugas yang melayani. Semua dilakukan sendiri oleh sopir atau konsumen. Aku tidak sempat melihat bagaimana konsumen membayar transaksi pengisian BBM tadi.

Setelah mengisi BBM, sopir salat Ashar, sementara kami hanya mengobrol dengan Pak Aam dan kaum Bapak karena sudah menjamak salat Ashar dengan Zuhur saat di Mekkah. Setelah lebih dari 20 menit berhenti, bus jalan kembali.

Sepanjang jalan hanya padang pasir yang terlihat. Terkadang diselingi oleh gunung batu bercadas. Kami juga sempat melewati sebuah lembah tempat pembuangan mobil bekas. Tampak juga pada wilayah yang sedikit berpohon peternakan kambing dan onta.

Di daerah seperti ini pulalah barangkali Nabi Muhammad dulu dibesarkan selama 4 tahun oleh ibu susunya Halimatus Sa’diyah. Kondisi alam kota Mekkah yang gersang bukanlah tempat yang kondusif bagi pertumbuhan seorang bayi saat itu. Karena itu, sangat dipahami jika Nabi dibesarkan di daerah yang lebih subur di pedesaan.

Menjelang magrib, bus berhenti di rest area yang terletak jauh dari pemukiman. Kendaraan melaju kencang di jalur ini. Setelah turun dari bus dan meninjau toilet, alangkah terkejutnya kami karena toiletnya masih sangat primitif. Yang ada hanya barisan WC jongkok ala kadarnya dengan selang air yang terlunta-lunta di lantai. Tidak ada urinoir di toilet laki-laki. Istriku tidak jadi membuang hajatnya karena dia langsung terstimulus untuk muntah.

Di tempat yang terpencil ini tiba-tiba ada yang menawarkan kartu perdana dalam bahasa Indonesia, “Perdana perdana”. Padahal mereka bukan orang Indonesia lho….

Oalah, demikian hebatnya pengaruh bahasa Indonesia di Arab. Sebagai pedagang rupanya mereka sadar kalau mereka harus memahami konsumen dan mendekatkan diri dengan budaya konsumennya.

Ada yang menawarkan Nokia N8 bekas. Tapi tak ada yang menggubris. Hari gini mana ada lagi orang Indonesia yang tertarik dengan Nokia. Lagi pula kita tidak tahu bagaimana kondisi HP tersebut.

Pemilik restoran meneriakkan, “Sholah sholah”. Sepintas seperti kata “salah”. Artinya dia mengajak salat magrib. Saat itu memang sudah masuk waktu magrib. Kami cuek saja menanggapinya karena kami memang sudah merencanakan salat jamak ta’khir setibanya di Medinah nanti. Penyerapan kata Sholah menjadi salat atau sholat dalam bahasa Indonesia memang tidak konsisten. Ini mirip hidayah menjadi Hidayat (nama orang), sunah menjadi sunat. Harusnya, setiap kata yang berakhiran Ta Marbutoh harus menjadi huruf H, bukan T. Contoh, Fatimah, bukan Fatimat.

Hembusan agin di sini begitu kencangnya, sampai-sampai dapat menerbangkan kemasan makanan ringan yang sudah kosong. Terbayang kembali dalam pikiranku peristiwa hijrah beberapa abad silam saat Nabi hanya dengan berkendaraan onta harus mengarungi padang pasir tandus dan angin kencang. Tentu saja saat itu belum ada rest area seperti saat ini.

Jarak Mekkah-Madinah hampir sama dengan jarak Bandung-Yogyakarta. Menurut Pak Machfudin, salah satu jamaah, dulu pas perang kemerdekaan, pasukan Republik menempuh perjalanan Bandung-Yogya dalam waktu 8 hari.

Dus, dengan perjalanan Mekkah-Medinah ini aku bisa menghayati kembali beratnya hijrah yang dilakukan Nabi dan betapa hijrah ini menjadi salah satu titik tolak penyebaran agama Islam. Dalam sejarah, selalu berulang bahwa para nabi tidak diterima di kampungnya sendiri.

Dari Koran local yang saya baca, saat ini sedang dibangun jalur kereta api Mekkah-Madinah yang akan selesai sekitar tahun 2013. Rencananya, jarak sekitar 500 km tersebut dapat ditempuh dalam waktu 105 menit atau 1 jam 45 menit. Bayangkan betapa cepatnya laju kereta ini, sekitar 300 km per jam. Jika proyek ini terwujud, maka kendala transportasi di musim haji dapat terpecahkan.

Tiba di Madinah

Pukul 21.30, bus mulai memasuki pinggiran kota Madinah. Lampu-lampu kota mulai terlihat dari jauh. Agak sedikit macet jalan menuju hotel karena ada perluasan jalan. Akhirnya kami tiba di Madinah pukul 22.00 malam. Tidak ada perbedaan waktu antara Mekkah dan Madinah. Kami langsung diarahkan untuk makan di restoran. Menunya cukup bervariasi, dan kebetulan ada nasi biryani dengan kambing oven di atasnya. Lemak kambing pun meleleh di mulut. Salah satu kokinya kebetulan orang Indonesia.

Setelah itu kami dibagikan daftar kamar dan Alhamdulillah kami dapat kamar berdekatan dengan mertuaku.Tas juga harus dicari sendiri di lantai tertentu agar lebih cepat karena pegawai hotel juga sangat sedikit.

Setelah jam 10.00, Raudah (kompleks kuburan Nabi yang terletak di Mesjid Nabawi) sudah tutup untuk jamaah wanita sehingga mereka tidak bisa ke Raudah sebagaimana dijadwalkan. Adapun untuk jamaah pria, Raudah buka 24 jam.

Aku tidak mau menunggu sampai besok untuk menikmati beribadah di Mesjid Nabawi. Bertiga dengan Pak Mamat dan pak Endang kami segera meluncur ke masjid Nabawi. Saat itu pukul 23.30. Pintu yang masih buka hanya Babussalam yang terletak di depan sebelah kanan, sejajar dengan imam.

Jamaah masih banyak rupanya.Kami menunaikan salat jamak qasar Magrib dan Isya di dekat mihrab. Jamaah yang lain banyak yang sedang mengaji ataupun salat sunnah.

Setelah salat kami mengunjungi kuburan Nabi, Abu Bakar dan Umar yang terletak berdampingan. Kuburannya sangat sederhana. Dulu, kuburan ini sebenarnya terletak di luar Masjid Nabawi. Akan tetapi, setelah ada perluasan, kompleks kuburan ini kini ada di dalam mesjid Nabawi. Adapun Raudah adalah ruangan sempit, sekitar 5×10 meter, yang posisinya sangat dekat dengan kuburan Nabi. Sebagian orang mempercayai bahwa doa di Raudah sangat mustajab.

Setelah itu kami mulai mencari cara untuk masuk ke Raudah yang sangat padat. Akhirnya kami berhasil masuk dan salat dua rakaat. Selesai salat kami buru-buru keluar, tidak sempat doa berpanjang-panjang karena sudah disuruh keluar oleh Askar.

Azan di Masjid Nabawi menurutku lebih merdu dibanding azan di Masjidil Haram. Konon muazin ini, baik yang di Masjidil Haram maupun yang di masjid Nabawi, berasal dari keluarga tertentu yang turun-temurun menjadi muazin.

Pada salat subuh di hari Jumat, biasanya imam membaca ayat sajdah di rakaat pertama. Lalu imam bertakbir, dan kita langsung sujud. Nah, di sini banyak yang kecele, terutama jamaah Indonesia karena tidak terbiasa. Akhirnya banyak yang rukuk, padahal seharusnya kita sujud dan setelah itu berdiri kembali. Imam selanjutnya meneruskan membaca ayat sampai selesai. Baru kemudian rukuk.

Pada salat Jumat khutbah disampaikan dalam bahasa Arab. Di akhir doanya khatib mendoakan Palestina, Afghanistan, Syiria, Yordan, dan negara lain, sementara Indonesia nggak disebut. Saat salat Jumat, khatib tanpa terduga membaca surat pendek yakni Al Falaq dan An Nas setelah sebelumnya terisak-isak. Mungkin karena sedih setelah berdoa pada khutbah tadi memikirkan nasib kaum muslimin di belahan dunia lain yang sedang kurang beruntung.

Hotel Holiday Villa Madinah

Hotel Holiday Villa Madinah sangat sempit kamarnya. Teknologinya memang canggih karena semua aktivitas termasuk penyesuaian AC, menyetel tv, membuka pintu, membuka tabir, dapat dikontrol dengan touch screen. Bagi beberapa jamaah yang sudah sepuh, touch screen ini malah membuat mereka jadi bingung. Beberapa jamaah minta tolong kepadaku untuk diajarkan cara mengoperasikannya.

Holiday Villa Madinah

Hotel ini merupakan hotel lapis tiga dari Mesjid Nabawi. Artinya, ada dua jalan besar yang harus diseberangi. Di dua jalan ini berseliweran mobil-mobil pribadi orang Arab yang biasanya berukuran jumbo. Hati-hati saat menyeberang.

Di depan hotel ada Saha Shopping Center tempat perdagangan oleh-oleh dan keperluan jamaah. Pada setiap hotel di Madinah biasanya ada kios atau pusat perbelanjaan kecil.

Sajian makanan di hotel ini lebih bervariasi dibanding di Mekkah. Persamaannya, selalu ada menu telor rebus yang sudah distempel, padahal bukan telor asin. Telur di Arab warna kulitnya sangat putih. Di hotel ini bumbu Arabnya tidak sepekat seperti yang di Makkah.

Cuaca di Medinah relatif dingin, apalagi pas Subuh. Hembusan angin yang kencang menambah dinginnya cuaca. Karena itu, kalau kita hendak salat Subuh di Mesjid Nabawi alangkah lebih aman melapisi tubuh kita dengan jaket.

Di hotel ini channel tv-nya lebih banyak, tidak seperti di Mekkah. Hampir semua channel tv Negara Arab ada di sini, seperti Kuwait, Syiria, Yordan, Mesir, Dubai. Yang membuatku sedikit terkejut adalah acara Arab Idol yang disiarkan televisi MBC (Middle East Broadcasting Center, televisi yang bermarkas di Dubai, Uni Emirat Arab.

Peserta Arab Idol berasal dari Negara di semenanjung Arab atau Timur Tengah, jadi bukan satu Negara seperti di Indonesia. Lagu yang dibawakan berbahasa Arab dengan iringan musik Arab (irama padang pasir kalau di sini). Tetapi yang membuat aku terkejut adalah busana yang dikenakan pembawa acara dan penyanyi wanita. Busana mereka tidak ada bedanya dengan busana Agnes Monica atau Mulan Jameela.

Aha…. Sebuah perspektif baru bahwa Arab yang ketat itu sepertinya hanya di Mekkah dan Madinah. Adapun kota lain tampaknya sudah mengadopsi nilai-nilai Barat. Ratu Noor Jordan, Ratu Kuwait, Istri Husni Mubarak, atau Asma Al Assad, sebut saja beberapa, tidak lagi menggunakan hijab atau abaya seperti yang kita lihat di Mekkah dan Madinah. Tak ada bedanya lagi antara first lady Negara Arab dengan first lady Amerika Serikat.

City Tour Madinah

Setelah sarapan pagi pertama di Madinah, kami bergegas ke bus untuk mengikuti City Tour. Rutenya masjid Quba, jabal Uhud, percetakan Alquran, dan kebun kurma. Adapun jabal magnet tidak jadi dikunjungi dengan alasan destinasi ini telah ditutup bagi peziarah karena dilarang oleh pemerintah Saudi yang khawatir ada kecenderungan musyrik.

Rupanya ada beberapa jamaah yang mulai berdoa secara berlebihan di tempat ini. Sumber lain menyebutkan kalau di tempat ini telah terjadi kecelakaan sehingga untuk sementara tidak menjadi destinasi bagi peziarah. Sementara percetakan Alquran tutup pada hari Kamis karena di Saudi libur resmi hari Kamis dan Jumat.

Tak sampai setengah jam kami tiba di Mesjid Quba, masjid yang pertama kali didirikan oleh Nabi di Medinah. Di masjid inilah Nabi disambut oleh penduduk Madinah dan kemudian melakukan salat jamaah di sini untuk pertama kalinya.

Di Madinah saat itu ada 2 suku, yakni suku Aus dan suku Khajraj yang selalu bertikai. Ada lagi satu suku, yakni suku Yahudi yang piawai di bidang ekonomi dan cenderung mengadu domba suku Aus dan Khajraj sehingga mereka melupakan perdagangan. Ketika kedua suku ini mendengar ada Nabi di Mekkah dari kaum mereka sendiri, mereka sangat bersemangat. Akhirnya kelak mereka menyambut dakwah Nabi dan tidak bertikai lagi.

Di masjid ini kita berfoto-foto sejenak dan salat sunah 2 rakaat. Di parkiran dan trotoar dekat masjid banyak pedagang oleh-oleh dan kurma muda yang berwarna hijau. Di masjid ini ruang perempuan dan laki-laki dipisah. Perempuan hanya mendapatkan sebagian kecil dari area masjid.

Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan menuju Jabal Uhud, tempat perang Uhud terjadi. Bukit Uhud ini gundul dan tandus. Saat itu pasukan Islam mengalami kekalahan karena sebagian pemanah yang disuruh bersiaga di bukit tergoda dengan pampasan perang yang diumpan oleh pasukan kafir Qurays. Dalam perang ini paman Nabi yang bernama Hamzah tewas, bahkan hatinya dimakan oleh Hindun yang dendam karena suaminya tewas di perang sebelumnya, perang Badar. Dalam perang ini, pasukan Islam kocar-kacir, bahkan Nabi terjatuh sehingga sebagian giginya lepas. Konon, gigi Nabi yang lepas ini dapat ditemukan di museum Istanbul.

Sayang, kami hanya melihat jabal Uhud dari kejauhan, tidak mampir, karena keterbatasan waktu. Begitu juga kami tidak sempat ziarah ke kompleks pekuburan Syuhada Uhud. Pelajaran yang bisa kita ambil dari perang Uhud ini adalah kepatuhan terhadap komando dan jangan tergoda dengan harta benda, apalagi dalam peperangan.

Selanjutnya kami melangkah ke kebun kurma yang ternyata sedang tidak berbuah. Di sini ada pasar yang menjual kurma dan segala derivatifnya seperti coklat korma, dan cake korma. Ada juga kacang-kacangan dan kismis. Banyak jenis korma yang dijual. Yang termahal dalah kurma Ajwa atau kurma Nabi. Harganya SR90 per kilogram.

Di seputar hotel ternyata ada restoran yang menjual makanan Indonesia seperti ikan bakar, tumis kangkung dan bakso. Pengen juga mencoba makanan di sini, tapi perut kenyang karena sudah makan siang di hotel. Akhirnya, agar tidak penasaran, istriku membeli bakso seharga sekitar SR8. Tekstur baksonya lebih lembut dari bakso yang ada di Indonesia.

Medinah-Jeddah

Setelah dua malam di Madinah kami harus meninggalkan kota Nabi ini menuju Jeddah. Bus kembali telat, kali ini karena menunggu beberapa jamaah. Bus akhirnya berangkat pukul 15.00. Bus melintasi jalan tol yang sama seperti jalur Mekkah-Medinah. Hanya saja, jalur ke Jeddah lebih pendek.

Tak lama meninggalkan Medinah, kami melewati masjid Bir Ali, tempat miqot atau zona ihram dalam ibadah haji/umroh bagi warga yang melewati kota Madinah. Mesjidnya cukup besar, tetapi kami tidak turun di sini.

Terbangun dari tidur, tiba-tiba aku melihat dari kejauhan kumpulan pasir yang bergulung. Ini rupanya yang dinamakan badai gurun. Tampak ada dua gulungan. Seru sekali pemandangannya. Rupanya wilayah ini memang tempat terjadinya badai gurun atau sand storm. Di papan penunjuk tertulis WARNING: SAND STORM. Untunglah badai gurun tersebut masih sekitar 1 km dari jalan yang kami lalui. Dapat dibayangkan alangkah beratnya perjalanan dengan onta di padang pasir jika kita kebetulan menghadapi badai gurun.

Menjelang waktu magrib, bus berhenti di rest area. Pedagang martabak berteriak menarik calon pembeli. Aku penasaran seperti apa martabaknya. Aku putuskan untuk membeli martabak seharga SR5. Ternyata tepungnya sangat tebal sehingga telurnya tidak terasa. Sudah begitu, tidak ada bumbu khusus seperti di sini, tapi cukup dicocol dengan saus tomat. Aku membagikan potongan kecil martabak kepada jamaah lain sekadar untuk mencicipi martabak ala rest area Saudi ini.

Di sini juga dijual Pop Mie seharga SR4. Di mini market ini sudah tersedia termos air panas. Petugas membantu menuangkan air dari termos ke pop mie yang kita beli. Tak lama kemudian azan magrib pun berkumandang.

Salah, salah”, teriak salah seorang penunggu mini market yang berewokan mengajak kami untuk mendirikan salat.

Di Jeddah

Sekitar pukul 21.30 kami tiba di Hotel Le Meridien Jeddah. Perjalanan harusnya bisa lebih cepat. Menjelang masuk Jeddah, lalu lintas sangat macet karena bertepatan dengan akhir pekan. Warga Jeddah yang baru liburan ke luar kota serempak masuk Jeddah, mungkin mirip kemacetan di Jagorawi atau pintu tol Pasarebo di hari Minggu. Saat kami masuk hotel, sekilas terlihat dua orang perempuan Arab masuk hotel tanpa hijab. Rambutnya keriwil dan dicat merah.

Hery Azwan di Le Meridien Jeddah
Berpose di Hotel Le Meridien Jeddah

Langsung kami diarahkan oleh petugas ke restoran hotel untuk menikmati makan malam. Makanan di sini lebih enak citra rasanya dibanding hotel di Mekkah dan Madinah. Setelah makan, daftar kamar dibagikan. Diumumkan juga kalau besok pagi pukul 07.30, akan ada tausiyah dari Pak Aam.

Kamar di Le Meridien ternyata sangat lega. Ukuran tempat tidurnya King Size. Kasurnya sangat empuk. Udah gitu ada bath tubnya lagi. Benar-benar akhir yang sempurna.

Di meja sudah tersedia majalah Arab Business dan kupon yang bisa ditukar dengan secangkir Espresso. Channel televisi juga lebih banyak. Hampir semua channel international seperti CNN dan HBO tersedia di hotel. Malam itu aku tidur sangat lelap. Alhamdulillah masih sempat tahajud di kamar hotel. Suasana Jeddah memang sudah tidak mendukung ibadah, tetapi lebih ke arah shopping dan pelesiran.

Sarapan pagi keesokan harinya sangat cocok menunya dengan seleraku. Tak berapa lama, Pak Aam memberikan tausiyah tentang tanda-tanda umroh yang mabrur. Seperti biasa, gaya Pak Aam selalu membuat hadirin tersenyum. Ciri-ciri umroh yang mabrur antara lain bukan dengan cara meng-upload seluruh foto di social media selama 3 bulan berturut-turut, canda Pak Aam.

City Tour Jeddah

Setelah tausiyah, kami dibawa ke toko karpet. Bus berukuran sedang hanya ada dua unit, sehingga sebagian dari kami harus naik taksi. Taksi di Jeddah sangat bervariasi, ada yang realtif mewah seperti Camry tetapi ada juga yang jelek.

Yang unik, di sini merk Yaris bukanlah seperti Yaris di Indonesia, tetapi lebih mirip Vios. Lalu lintas Jeddah sangat ramai. Bahkan di perempatan jalan layang ada lampu lalu lintas.

Sejurus kemudian kami tiba di toko karpet, tetapi sebagian besar jamaah kurang antusias karena tempatnya sedikit kumuh, mirip jalan Otista di Bandung. Kami sebentar saja di sini.

Selanjutnya kami dibawa ke Cornish, pusat perbelanjaan jadul mirip Pasar Baru Jakarta. Di sini banyak toko dengan embel-embel “Murah”. Ada Ali Murah, Kamal Murah, dsb. Pokoknya semua pakai kata “Murah”. Restoran Indonesia juga dapat kita temukan di sini. Menunya ada gule, sop, bakso, rendang dan balado. Penjual parfum juga berseliweran menawarkan dagangannya.

Hampir dua jam di sini, kami akhirnya kembali ke hotel. Setelah makan siang di hotel, kami berkemas mengepaki barang untuk selanjutnya menuju bandara King Abdul Aziz. Sebelum mencapai bandara, kami mampir di masjid terapung yang terletak di pinggir Laut Merah.

Di pantai terlihat keramaian yang ternyata seorang penjual bakso sedang dikerubuti jamaah. Ibu penjual bakso tadi ternyata berasal dari Garut. Semangkuk bakso dihargai SR5. Laris manis….

Bandara King Abdul Aziz

Setelah puas berfoto dan menikmati angin laut di masjid terapung, bus pun kembali melanjutkan perjalanan menuju Bandar King Abdul Aziz. Yang membedakan maskapai Garuda dan Saudi Airlines salah satunya adalah terminalnya. Garuda ditempatkan di terminal haji yang lebih sederhana, sementara Saudi Airlines ditempatkan di terminal khusus layaknya terminal bandara yang normal.

Ternyata pesawat delay 2 jam, sehingga kami harus menunggu lebih lama. Seperti biasa, Mr Sate yang sudah dipesan pihak travel menjadi santapan kami. Menunya teteup: ayam bakar, tempe, lalap timun dan sambal dadak.

Berikutnya, kami berbaris ke imigrasi. Di sini jamaah perempuan juga harus disertai mahramnya. Setelah lolos dari imigrasi, penumpang diperiksa sangat ketat. Tak ada satu logam pun boleh lolos. Bapak mertuaku yang menyimpan kunci di dompet harus berkali-kali mengulangi proses scanning. Setelah tiga kali bolak-balok akhirnya beliau bisa lolos. Bingung juga, mengapa di Saudi bisa terdeteksi, padahal waktu di Jakarta tidak.

Suhu di dalam ruang tunggu bandara sangat dingin. Aku menyesal tidak membawa jaket. Sesekali aku berlari kecil untuk menghangatkan badan. Minum kopi panas juga salah satu solusi untuk menghangatkan badan. Beruntung ada teman mentraktir saat persediaan riyalku sudah habis. Terimakasih ya Bung Renaldy.

Yang sangat disayangkan, musholla di dalam terminal tidak dilengkapi dengan tempat wudu sebagaimana mushola di bandara Indonesia. Penumpang harus mengambil wudu di toilet umum yang lumayan jauh. Toilet umum ini juga tidak menyediakan tempat khusus wudu. Tak jarang kita melihat jamaah Indonesia menaikkan kakinya ke wastafel. Alamaakkkk….

Untunglah di dalam terminal ada duty free shop sehingga kebosanan menunggu bisa terobati. Di sini dijual parfum, kurma, mainan anak, bahkan alat elektronik seperti iPad dan handphone. Harga iPad dan Samsung Galaxy Notes relatif sama dengan di Indonesia

Pukul 12.00 malam akhirnya pengumuman boarding bergema. Penumpang masuk ke pesawat secara acak, tidak diurutkan berdasar nomor sebagaimana terjadi di Cengkareng. Akibatnya, terjadi antrian cukup panjang di tangga bagian belakang. Seandainya petugas Saudi Airlines bisa lebih sistematis pasti antrian tidak terlalu panjang.

Dalam perjalanan pulang, yang sangat menjadi perhatianku adalah toilet pesawat yang kotor. Tisu berserakan di lantai toilet. Mungkin banyak penumpang yang tidak paham di mana letak keranjang sampah. Begitu juga, banyak jamaah yang lupa atau tidak tahu cara men-slot atau mengunci toilet. Akibanya, sering terjadi seorang penumpang membuka pintu toilet, sementara di dalamnya masih ada orang. Di masa mendatang, biro perjalanan haji/umroh sudah selayaknya memberikan pengarahan mengenai hal sepele ini. Anggap saja semua jamaah belum paham sehingga tidak terjadi hal-hal yang memalukan seperti ini. Untuk jamaah umroh saja sudah seperti ini. Bayangkan apa yang terjadi dengan jamaah haji, yang biasanya sudah relatif tua dan banyak yang seumur-umur belum pernah naik pesawat.

Pukul 10.00 WIB pesawat mendarat dengan mulus di Cengkareng. Sebagaimana biasa, kami harus melewati petugas imigrasi. Paspor distempel, kemudian kami menuju tempat pengambilan bagasi.

Bus dari travel sudah menunggu, meski agak telat. Air zamzam sebanyak 10 liter per orang dibawa bersama dalam pesawat, bukan dikirim via cargo. Bus kemudian meluncur ke Bandung di tengah gerimis yang menghiasi jalan tol Cipularang. Beberapa saat kemudian, bus berhenti di km 57. Wah, kontras sekali asrinya tempat ini dibanding rest area yang ada di jalur Mekkah-Madinah. Jika orang Arab Saudi berkunjung ke sini, pasti dia akan bilang,”Subhanallah, hadza jannah. Maha suci Allah, ini surga bro…”.

Demikianlah kisah umrohku yang terbagi dalam 4 seri. Semoga bisa memberi gambaran dan inspirasi bagi teman-teman yang berniat untuk umroh dalam waktu dekat. Juga, bisa memberikan wawasan mengenai apa saja yang terjadi saat umroh, dan hikmah apa yang bisa kita ambil dari rangkaian umroh dan ziarah ke tempat bersejarah.

Doakan semoga aku dan istriku dapat ke sana lagi untuk menunaikan ibadah haji. Maunya sih kami bisa pergi dengan ONH Plus, meski kini aku sudah membuka tabungan haji untuk ONH biasa dan tinggal mendaftar saja di Kemenag. Nabung lagi ah buat tambahan….

7 tanggapan untuk “Umroh #4

  1. subhanallah, hadzihi hikayah mumtazah ya akhi…. 🙂
    Perjalanan spiritualbseperti ini tidak bisa tidak untuk dikagumi, apapun kejadiannya…

    Semoga suatu saat akupun bisa menapakkan kaki di sana

    Alhamdulillah bro. Aku punya rezeki ke baitullah dan punya waktu untuk menuliskannya. Mungkin banyak teman kita yang sudah ke sana, tapi tidak banyak yang telah menuliskannya sehingga bisa dinikmati orang lain.

  2. makasih pa, cerita panjangnya tentang umroh. semoga niat umroh bisa terlaksana bulan depan dan bisa menjalaninya dengan khusu. jujur, deg-degan, lagi banyak kebiasaan jelek yang sulit dirubah nih, padahal sudah daftar 😦

  3. Alhamdulillah sy ketemu blog ini… sedikit byk sdh menggambarkan suasana di tanah haram…doakan ya pak..semoga sy bisa berangkat haji tahun ini…amin

    Jawab: Saya doakan…. Semoga menjadi haji yang mabrur

Tinggalkan Balasan ke rahmats77 Batalkan balasan