Ceritanya bermula saat kami bermaksud mengunjungi Designer Oulet yang terletak jauh di luar kota Berlin. Mengunjungi factory outlet di luar negeri tampaknya menjadi tujuan wisata baru.
Sebelum check in hotel kami sudah bertanya kepada resepsionis hotel mengenai akses ke tempat ini. Dia tidak menyarankan kami ke tempat ini karena lokasinya sangat jauh, bisa menempuh waktu lebih dari 1,5 jam. Sebagai gantinya dia merekomendasikan pertokoan di dekat Kebun Binatang. Kami pun akhirnya menuruti nasehatnya, daripada menunggu waktu check in yang masih sejam lagi.
Setelah tiba di tempat memang ada pusat perbelanjaan dengan tenant merk ternama (sebenarnya semuanya ada di Indonesia), tapi tak ada diskon besar seperti yang diharapkan. Akhirnya kami pulang dengan tangan hampa. Kami makan di sebuah restoran Turki di dekat hotel yang untungnya cukup cocok di lidah.
Setelah makan siang, kami sudah boleh check in. Usai check in, kami langsung bertolak menuju Reichstag Building, gedung parlemen Jerman yang sangat masyhur itu. Berhubung cuaca sedikit gerimis, kami tak bisa lama2 di sini. Hanya berfoto2 sejepret dua jepret kami pun bergeser ke stasiun besar Berlin (Berlin Haupbanhoff) dengan menggunakan becak.
Nah, becak di Berlin hampir mirip dengan becak di Paris. Memang digowes, tapi ada bantuan tenaga batere. Jalannya sih tetap aja kayak keong. Trotoar yang terkadang berbatu koral harus dijalani becak ini dengan susah payah. Dengan jarak hampir 1 km ongkosnya lumayan juga, 10€.
Dunia memang unik. Di Jakarta becak dimusnahkan sejak beberapa tahun lalu, eh di kota2 Eropa dan Amerika, malah jadi kendaraan wisata.
Setiba di Berlin Hbh yang gede banget ini kami mencari info kereta yang menuju Designer Outlet. Ternyata jadwalnya masih lama, sekitar sejam lagi dengan kereta RE4. Dari sini saya sudah sedikit curiga. Padahal kereta dalam kota biasanya 4-10 menit sekali. Jaraknya sih kata Om Gugel cuma 5 stop, gak sampai 30 menit. Stasiun yang dituju bernama Elstal.
Tadi kami sudah beli Tageskarte atau kartu pas harian seharga 7€. Dengan membeli kartu ini kita dapat naik kereta, tram atau bus sepuasnya asal masih di wilayah Berlin dalam 2 zona (AB). Nah aturan zona ini tidak saya pahami dengan baik, sehingga ragu2 apakah ke Elstal perlu beli tiket lagi atau tidak.
Untuk memastikan ini saya pergi ke bagian informasi yang jaraknya cukup lumayan dan susah ditemukan di tempat yang luas ini. Namun petugas di bagian informasi juga tidak yakin. Akhirnya dia menyuruh saya bertanya langsung ke bagian tiket. Malangnya setelah turun naik lantai saya tidak berhasil menemukan kantor petugas yang dimaksud. Di stasiun kereta di Jerman ini memang sangat sedikit ditemukan petugas. Bahkan penumpang bebas masuk ke peron tanpa pengawasan. Petugas kontrol atau kondektur biasanya ada di kereta jarak jauh. Kereta dalam kota hanya dicek secara acak. Kalau ketahuah tanpa tiket dendanya sangat mahal, kalau nggak salah sekitar 800€.
Dengan hati antara yakin dan gak yakin akhirnya kami memberanikan diri untuk masuk kereta tanpa membeli tiket baru dengan asumsi tiket sudah tercover oleh tageskarte yang sudah kami miliki. Kalau ada pemeriksaan ya sudah nasib. Ngeri ngeri sedap juga.
Tepat pukul 18.00 sore kereta pun berjalan. Sementara Outlet akan tutup pukul 20.00 (sesuai jadwal di internet). Kereta berjalan dengan kecepatan tinggi dan suara yang mulus, bisingnya nyaris tak terdengar. Kereta ini juga terdiri dari dua lantai, sehingga membuatku makin khawatir kalau kereta ini tidak dicover lagi dengan Tageskarte. Setiap 5 menit sekali kereta berhenti, hingga akhirnya berhenti di stasiun Elstal sekitar pukul 16.28. Di layar kereta terpampang jadwal bus ke Outlet pukul 18.32.
Hari mulai gelap, dengan gerimis terus mengalir tanpa henti. Sementara jalan dari stasiuns Elstal ke halte bus harus menyeberang jembatan yang tak beratap. Aneh juga di negara semaju Jerman ada jembatan seperti ini.
Udara dingin dan gerimis memang perpaduan sempurna.
Penumpang turun bergegas mengejar bus. Sebagian besar penglaju yang bekerja di pusat kota Berlin. Elstal ini mungkin seperti stasiun Citayam. Stasiunnya ala kadarnya. Bahkan halte tempat berteduh pun hanya ada untuk dua penumpang saja. Yang lainnya harus berdiri. Kebayang kan kalau hujan turun. Sudah begitu, tak ada vending machine yang menjual tiket, apalagi loket yang dijaga petugas. Benar2 stasiun tanpa manusia.
Dari atas jembatan yang menyeberangi jajaran rel kereta, kami sekelebat melihat bus. Kami berdoa dalam hati semoga bus tidak meninggalkan kami. Setelah tergopoh2 akhirnya kami tiba di bus dan mengucap alhamdulillah. Bus pun menunggu penumpang terakhir sekitar 2 menit sebelum meninggalkan halte. Mobil penglaju yang parkir tampak semakin berkurang.
Sejurus bus melewati pertigaan. Aku sempat membaca kalau ke kanan ada petunjuk ke Designer Outlet sejauh 1,7 km, tapi bus malah belok ke kiri. Akupun berpikir optimis kalau bus mencari jalan memutar mengantarkan warga lebih dulu. Tiba di halte pertama kami sebenarnya tidak yakin. Tetapi karena petunjuk Om Gugel mengatakan kalau kami harus turun di halte pertama, maka keputusan diambil: kami turun. Yang bodohnya, kami tidak berupaya bertanya atau sekadar mengkonfirmasi kebenarannya kepada sopir atau penumpang lain. Padahal ini yang sering aku lakukan kalau ragu.
Di tengah gerimis, kami pun turun. Perasaan mulai tidak enak karena tidak ada gedung gemerlap dalam radius 100 meter. Yang ada hanya lampu di kejauhan. Seorang ibu berpayung dan berkacamata kebetulan juga turun di halte ini. Kami bertanya di manakah Designer Outlet yang kami cari. Hmmmm…. jawabannya sungguh membuat kami sakit perut. Menurutnya, sudah banyak korban salah turun halte. Lalu dia mengarahkan kami ke outlet. Jaraknya kalau jalan sekitar 15 menit.
Sambil disirami rintik hujan kami mengikuti saran sang ibu berkacamata. Kami berjalan dengan langkah cepat ingin segera tiba di tempat tujuan. Sementara, suasana malam semakin kelam, tak ada kendaraan yang lewat. Sesekali lewat sepeda penduduk lokal. Kami berjalan terus hingga akhirnya bertemu sejenis toko. Kami mulai optimis. Mungkin ini tempatnya, tapi kok kecil banget dan sepi. Kami mencoba masuk ke sebuah swalayah, tapi tak seorang pun di dalamnya.
Kami mundur sejenak dan masuk ke warung kebab yang dijaga dua orang bermata sipit. Kami bertanya dalam bahasa Inggris, namun mereka menjawab dengan bahasa Cina. Yang aku tangkap cuma kata otoban. Mungkin stasiun kereta yang mereka maksud.
Kata keduanya, otoban ada di sebelah kiri gedung. Aku pun mulai optimis lagi, tapi bukan untuk ke outlet, melainkan untuk pulang saja. Apa lacur, setelah kami mengikuti saran orang ini kok gak menemukan apapun. Akhirnya kami menemukan halte bus di depan toko. Saat menunggu kebetulan ada seoarang berpayung lewat. Dengan sikap yang ramah dia mencek jadwal bus dan mengatakan kalau bus tiba setengah jam lagi. Tapi dia tidak yakin.
Setelah berdiskusi dengan si nyonya kami memutuskan kembali ke stasiun saja, dan tidak berniat lagi ke outlet. Kami semakin takut kalau kereta terakhir dari Elstal juga luput. Mau pulang ke mana? Ini ternyata kampung banget. Kutaksir sekitar 30 km dari kota Berlin. Taksi tak tampak sedikit pun bempernya.
Daripada menunggu bus yang tak pasti akan lewat di halte ini, kami pun terus bergerak mengikuti arah yang disarankan pria berpayung tadi. Ketika ada persimpangan kami mulai bingung. Sekali kami mengikuti mobil yang belok kanan. Eh, pas kami ikuti ternyata jalan buntu.
Perjalanan kami ini benar2 seperti di film horor. Kami melewati rumah penduduk tapi tak satupun yang membuka pintu. Ada seorang yang baru mau masuk ke rumah dan mau kami tanya, tapi terlambat. Dia telah masuk ke rumah. Kami tak berani mengetok.
Karena salah arah kami kembali ke jalan semula dan mengikuti jalur utama. Setiap mendapati halte bus kami gembira karena berarti kami berada di jalur yang benar. Kami terus berjalan bagai Hajar yang mencari air dari Sofa ke Marwa bolak-balik. Dinginnya air hujan tak kami hiraukan. Si nyonya mendapatkan energi entah dari mana. Langkahnya begitu kuat mengikuti langkahku, termasuk pegangannya.
Setelah berjalan lagi (total sudah 20 menit) tanpa yakin berada di arah yang tepat kami bertemu lagi dengan seorang pria. Kami bertanya lagi ke mana jalan menuju stasiun Elstal. Dia mengisyaratkan kalau sudah tiba di stasiun pemadam maka kami harus belok kanan. Nah, masalahnya kami sedikit tak yakin karena jalannya kecil. Dengan langkah ragu kami belok kanan dan terus berjalan.
Sementara, rumah2 mulai menjauh, dan jadilah kami berjalan di pinggir pepohonan. Kegelapan dari rimbunan pohon menambah horor perjalanan kami. Tiba di pertigaan kami kembali ragu apakah harus belok kiri atau ke kanan. Sayup2 mulai terdengar kereta yang lewat. Pas kami belok kiri tiba2 ada dua sosok yang membawa anjing dari kejauhan. Kami memutuskan berhenti dan bertanya kepada keduanya. Malangnya, ibu dan anak ini tak bisa berbahasa Inggris, hanya berbahasa Jerman. Dengan hanya menyebut nama Elstal si anak remaja menunjukkan arah ke kanan. Ternyata kami tadi telah mengambil jalan yang salah.
Setelah belok kanan kami menemukan jalan yang lebih besar. Akhirnya kami menemukan pertigaan lagi. Ke kanan atau ke kiri. Tampaknya di sebelah kanan lampunya lebih terang daripada di kiri. Kami pun memutuskan ke kanan.
Di kejauhan tampak mobil berhenti. Mungkin mobil mogok. Setelah kami mendekat ternyata bus yang lagi istirahat. Kami bertanya ke sopir bus arah selanjutnya ke stasiun. Ternyata tinggal sedikit lagi belok kiri. Maka legalah kami yang sudah berhujan-hujanan berjalan kaki selama 45 menit lebih.
Saat tiba di stasiun Elstal, hanya kami berdua yang ada. Setelah menunggu sekitar 10 menit datanglah rombongan turis yang habis berbelanja. Setiap orang membawa barang belanjaan. Hati si nyonya hancur berkeping2. Benar2 malam yang naas. Untunglah akhirnya kami bisa pulang kembali ke Berlin kota dengan selamat.
Moral cerita:
1. Jangan terlalu percaya dengan om Gugel. Perlu konfirmasi dengan warga sekitar atau driver atau petugas setempat.
2. Kalau sudah merasa nggak enak atau ragu dari awal, jangan diteruskan.